Petugas bergamis putih menyambut kami kemudian memberikan topi khas Arab untuk berfoto. Jika ada bapak ibu yang mau berfoto dengan baju ala-ala petani Arab, selalu ditanya,"Suami istri?" Jadi merasa tenang dan nyaman. Baju pria sama dengan baju tradisonal yang ada di bagian dalam museum. Keffiyehnya bermotif hitam putih. Baju perempuannya abaya hitam lengan pendek dengan corak bunga yang dipadukan kain warna coklat. Topinya dari anyaman daun kurma dengan ujungnya yang runcing.Â
Kami berfoto dengan masing-masing memegang pedang terhunus di depan miniatur unta. Kata teman, pose foto kami ini seperti pertemuan antara putri salju dan pangeran Arab, seserahannya unta. Wkwkwk. Sekalian saja seserahannya kilang minyak, yah. Suamiku sering dikira warga Pakistan. Wajahnya memang kearab-araban. Tapi pas lihat wajah istrinya yang Asia banget, baru deh sadar kalau suamiku bukan orang Arab. Â
Yang menarik dari Museum Alamoudi adalah pengunjung dapat menggunakan semua properti yang tersedia untuk berfoto secara gratis. Foto yang diminati adalah berpakaian ala suku Badui, ala raja-raja, maupun ala tentara Arab. Tiket masuk museum cukup murah. Tiketnya dihargai 3 riyal saja atau setara dengan Rp. 12.000.
Menikmati Museum Alamoudi seperti menelusuri peradaban bangsa Arab di masa lampau. Sayang, informasi tertulis di setiap benda yang dipamerkan masih kurang. Baik informasi dalam Bahasa Arab maupun Bahasa Inggris. Sehingga wisatawan asing tak mengetahui secara pasti hal-hal detail tentang benda-benda yang dipamerkan. Petugas museum juga tak banyak memberikan penjelasan, mungkin karena kendala bahasa.Â
Brosur museum juga masih ditulis dalam Bahasa Arab. Sementara pengunjung umumnya berasal dari berbagai negara di dunia yang belum tentu mengerti Bahasa Arab.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H