Mohon tunggu...
Istanti Surviani
Istanti Surviani Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumah tangguh yang suka menulis

Purna bakti guru SD, traveler, pejuang kanker

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Adukan Ibu pada Tuhan

9 November 2021   16:07 Diperbarui: 9 November 2021   16:40 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kala itu tengah hari belum mencapai puncaknya. Suasana hati alam sedang tidak bersahabat. Awan hitam menggantung di atas gunung. Perlahan turun ke kaki bukit. Bulir mata langit mulai merinai. Membasahi pucuk-pucuk dedaunan. Jatuh tepat di permukaan mercapada. Lalu bertambah lebat. 

Sungai besar di seberang sana. Tak lagi mampu menampung derasnya air. Sungai-sungai kecil di belakang rumah mulai meluap. Masuk ke perkampungan. Kilat menyambar. Petir menggelegar. Musibah itu datang lagi.

Belum sempat kami bersiap-siap menyelamatkan diri. Tembok rumah kami retak, jebol, dan ambrol diterjang longsor. Semua terjadi dalam hitungan detik saja. Kucoba selamatkan Jaka, anak lelakiku. Ia memeluk erat kedua pahaku. 

"Ibu ... Ibu ... tolong Jaka, Bu!"

"Iya sayang. Bertahan ya ..." Lumpur, tanah, dan air mengalir semakin ganas. Setinggi perut Jaka.

"Ibu ... Jaka kedinginan."

"Iya, sayang. Dekap Ibu, ya Nak ..."

Pertolongan tak kunjung datang. Kini, lumpur merendam kakiku. Aku tidak dapat bergerak. Masih kudekap Jaka. Mencoba memberinya kehangatan.

Tak ada suara. Tak terdengar erangan. Sesaat kurasakan tubuh Jaka dingin. Sedingin es. Kutepuk pipinya. Kupanggil namanya.

"Jaka ... Jaka ... Jaka ..." Jakaku membisu dengan bibir membiru.

Oh, anak lelakiku telah mati. Kedua tangannya masih mendekapku. Duh, Gusti Allah. Ibu macam apa aku ini? Tak bisa selamatkan anak sendiri.

Siang keesokannya, kudampingi jasad anakku menemui Tuhannya. Diantar sanak kadang.

Wajah Jaka bagai sedang tidur saja. Tampan, nyenyak dan damai tanpa huru-hara. Namun, ia tak tahu aku menyimpan ketakutan yang sangat. Takut kalau-kalau Jaka mengadu pada Tuhan bahwa aku ibu yang tak bertanggung jawab. "Nak, jangan adukan ibu pada Tuhan, ya!

Cimahi, 03 Februari 2002/16:00. Untuk ibu yang kehilangan putranya saat terjadi tanah longsor di Jateng. Meskipun cerita ini sudah kutulis sejak belasan tahun yang lalu, tetapi emosi jiwanya masih terbawa sampai sekarang. Mata berkaca-kaca setiap kali membacanya.   

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun