Kala itu tengah hari belum mencapai puncaknya. Suasana hati alam sedang tidak bersahabat. Awan hitam menggantung di atas gunung. Perlahan turun ke kaki bukit. Bulir mata langit mulai merinai. Membasahi pucuk-pucuk dedaunan. Jatuh tepat di permukaan mercapada. Lalu bertambah lebat.Â
Sungai besar di seberang sana. Tak lagi mampu menampung derasnya air. Sungai-sungai kecil di belakang rumah mulai meluap. Masuk ke perkampungan. Kilat menyambar. Petir menggelegar. Musibah itu datang lagi.
Belum sempat kami bersiap-siap menyelamatkan diri. Tembok rumah kami retak, jebol, dan ambrol diterjang longsor. Semua terjadi dalam hitungan detik saja. Kucoba selamatkan Jaka, anak lelakiku. Ia memeluk erat kedua pahaku.Â
"Ibu ... Ibu ... tolong Jaka, Bu!"
"Iya sayang. Bertahan ya ..." Lumpur, tanah, dan air mengalir semakin ganas. Setinggi perut Jaka.
"Ibu ... Jaka kedinginan."
"Iya, sayang. Dekap Ibu, ya Nak ..."
Pertolongan tak kunjung datang. Kini, lumpur merendam kakiku. Aku tidak dapat bergerak. Masih kudekap Jaka. Mencoba memberinya kehangatan.
Tak ada suara. Tak terdengar erangan. Sesaat kurasakan tubuh Jaka dingin. Sedingin es. Kutepuk pipinya. Kupanggil namanya.
"Jaka ... Jaka ... Jaka ..." Jakaku membisu dengan bibir membiru.
Oh, anak lelakiku telah mati. Kedua tangannya masih mendekapku. Duh, Gusti Allah. Ibu macam apa aku ini? Tak bisa selamatkan anak sendiri.