Kedatangan Paus Fransiskus ke Jakarta, jauh dari seremoni. Padahal, Paus adalah Pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia. Jumlah pemeluk Katolik dan Kristen mencapai 2,38 miliar orang. Itu setara dengan 33 persen dari total penduduk di seluruh dunia. Apa kaitannya dengan anak-anak?
Berbaju Jawa, Berbaju Papua
Selasa, 3 September 2024, sekitar pukul 11.25 WIB, Paus Fransiskus beserta rombongan, tiba di Bandar Udara (Bandara) Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Mereka menggunakan pesawat komersial ITA Airways A330-900, yang langsung terbang dari Bandara Internasional Leonardo da Vinci, Fiumicino, Roma.
Paus yang sudah berusia 87 tahun itu, benar-benar menempuh perjalanan jauh untuk sampai ke Jakarta. Rombongan dari Roma itu terbang di udara selama 13,15 jam, melewati 11 negara, dengan jarak tempuh 11.354 kilometer.
Di Bandara Soekarno-Hatta, dua anak Indonesia memberikan karangan bunga kepada pemimpin tertinggi gereja Katolik sedunia itu. Â Yang satu, Irfan Wael, berusia 12 tahun, mengenakan baju adat Papua. Berasal dari Kabupaten Buru, Maluku. Kedua, Mary Lourdes Wicaksono Atmojo, berusia 6 tahun, mengenakan baju adat Jawa. Berasal dari Jakarta Pusat.
Sebagai balasannya, Paus Fransiskus menghadiahi Rosario kepada Irfan Wael dan Mary Lourdes. Selanjutnya, Paus bersama rombongan bertolak dari Soekarno-Hatta menuju Gedung Kedubes Vatikan di kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Dengan menggunakan mobil Toyota Innova Zenix berwarna putih, Paus tiba di Kedubes pada pukul 12.25 WIB.
Di Kedubes Vatikan, sudah ada anak-anak yang menanti. Mereka, antara lain, berasal dari Panti Asuhan Pondok Si Boncel, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Ada 5 anak dari panti tersebut, yang terdiri dari: anak yatim piatu, anak yang hanya punya bapak, anak yang cuma punya ibu, dan ada dua anak yang masuk kategori telantar.
Setelah menampilkan nyanyian, anak-anak itu mendekati Paus dengan riang-gembira sekaligus haru. Paus memeluk mereka. Kenapa haru? Karena, tidak setiap umat Katolik mendapat kesempatan untuk bertemu langsung serta bersentuhan langsung dengan Paus.
Momen tersebut menjadi momen yang tak kan terlupakan seumur hidup oleh anak-anak itu. Juga oleh Irfan Wael dan Mary Lourdes. Mereka menyapa Paus Fransiskus dengan sapaan Bapak Paus.
Paus Bersama 50 Ribu Anak Dunia
Bagi saya, pertemuan Paus dengan anak-anak di hari pertama kedatangannya itu, tentulah sangat bermakna. Apalagi, selain anak-anak panti, ada juga anak-anak pengungsi dari berbagai negara, yang menyambut Paus di Kedubes Vatikan. Mereka kerap disebut sebagai anak-anak imigran.
Dua anak di antara mereka memberikan lukisan bergambar pohon, lengkap dengan bendera berbagai negara. Di lukisan itu ada tangan saling berjabatan yang disertai tulisan "Our World." Mereka memeluk lengan Paus Fransiskus. Paus memeluk mereka dengan tersenyum.
Saya pikir, tentu akan ada sesi perbincangan tentang anak-anak Indonesia, antara Paus dengan perwakilan Indonesia. Kenapa? Paus Fransiskus adalah sosok yang sangat peduli anak-anak. Pada Sabtu, 25 Mei 2024 lalu, misalnya, Paus bertemu dengan 50 ribu anak perwakilan dari seluruh dunia.
Pertemuan itu berlangsung di Stadion Olimpic, Roma, Italia. Mereka secara bersama-sama menyerukan perdamaian dalam acara World Children's Day (WCD). Boleh dibilang, itu event terbesar dan perdana, yang melibatkan anak-anak.
Event itu digagas oleh Paus Fransiskus di bawah pengawasan Vatican's Dicastery for Culture and Education. Lembaga itu dibantu oleh beberapa mitra utama, salah satunya 5P Global Movement asal Indonesia. Media sindonews.com pada Rabu, 29 Mei 2024 | 16:08 WIB, melansir berita tentang WCD tersebut.
Di berita itu ditampilkan foto Paus Fransiskus berjongkok, hingga berdiri sejajar dengan seorang anak perempuan. Paus memeluknya serta mengelus kepala bocah tersebut. Wajah Paus ekspresif, menebarkan spirit positif. Sang bocah tertawa riang.
Nah, karena event World Children's Day itulah, saya menduga, akan ada sesi perbincangan tentang anak-anak Indonesia, antara Paus dengan perwakilan Indonesia. Apalagi, Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, dalam struktur penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2022, persentase anak-anak lebih tinggi.
Jumlah anak miskin di bawah lima tahun, usia 0-4 tahun, mencapai 12,93 persen dari total penduduk miskin pada Maret 2022. Jumlah itu melampaui persentase kemiskinan semua umur, yang secara total mencapai 9,54 persen.
Miskin, 13 dari 100 Anak
Ada Kesimpulan yang sangat menyesakkan dada. Sekitar 13 dari 100 anak, baik pada kelompok umur bayi maupun balita, termasuk kategori miskin. Itu berdasarkan data BPS dalam laporan Kesejahteraan Anak Indonesia: Analisis Kemiskinan Anak Moneter 2022. Secara jumlah, anak-anak miskin di Indonesia mencapai 26,16 juta jiwa.
Kemiskinan, erat kaitannya dengan stunting. Pada Senin (28/05/2018), Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, menyebut, saat ini, 1 dari 3 anak balita Indonesia, menderita stunting. Rerata sebanyak 4,5 juta anak tiap tahun, lahir di Indonesia.
Â
Apa itu stunting? Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita, akibat kekurangan gizi. Orang kampung menyebutnya, kuntet. Penyebab utama anak kurang gizi, karena orangtuanya miskin, tidak mampu membeli pangan yang bergizi. Tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi anak mereka.
Dengan kata lain, mereka tidak mampu mencukupi jumlah kebutuhan kalori, yang dibutuhkan anak mereka untuk tumbuh secara normal. Nah, apakah seorang ayah, dengan tanggungan satu istri dan dua anak balita, mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarganya, dengan pendapatan Rp 401.220 per bulan? Itu batas garis kemiskinan yang ditetapkan, yaitu Rp 401.220 per kapita per bulan, atau sekitar Rp 13.374 per hari.
Mari kita konversikan, dengan kondisi keluarga kita masing-masing. Jawaban atas pertanyaan di atas, akan menjawab, apakah acuan pendapatan Rp 401.220 per bulan itu, sesuai dengan kenyataan atau tidak. Di DKI Jakarta, misalnya, standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) untuk tahun 2017, sebesar Rp 3.149.631 per bulan.
Dalam konteks stunting, badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan, batas toleransi stunting, maksimal 20 persen atau seperlima, dari jumlah keseluruhan balita. Di Indonesia, tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita, menderita stunting. Itu artinya, sekitar 35,6 persen. Toleransi WHO, bolehnya hanya 20 persen.
Dalam diskusi di Kementerian PPN/Bappenas, pada Senin (28/05/2018), jumlah penderita stunting di Indonesia, disebut 9 juta balita. Artinya, lebih dari perhitungan di atas. Lebih dari 35,6 persen. Padahal, batas toleransi stunting menurut WHO, maksimal 20 persen atau seperlima, dari jumlah keseluruhan balita.
Karena itulah, World Health Organization (WHO) menetapkan Indonesia, sebagai Negara dengan status gizi buruk. Pada Rabu (04/07/2018), Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim menguakkan tentang gizi buruk Indonesia itu, kepada  Presiden Joko Widodo. Hal itu dikuakkan Jim Yong Kim di Kompleks Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat.
Ada data lain, yang relevan dengan kemiskinan. Yaitu, masalah sanitasi sehat. Saat ini, dari 200 juta penduduk Indonesia, sebanyak 55 juta warga, belum terakses sanitasi sehat. Artinya, mereka masih Buang Air Besar (BAB) sembarangan. Bukan di toilet, sesuai standar sanitasi sehat. Data itu dikemukakan Iing Mursalin, dari Millennium Challenge Account (MCA) -- Indonesia.
Mengacu ke sejumlah paparan data di atas mengenai kondisi anak-anak Indonesia, makanya saya berpikir, tentu akan ada sesi perbincangan tentang anak-anak Indonesia, antara Paus dengan perwakilan Indonesia.
Jakarta, 3 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H