Budi Susilo. Inilah sosok pebisnis yang patut kita cermati. Ia mengelola lebih dari 1.500 hektar perkebunan kayu manis di Kabupaten Kerinci, Povinsi Jambi. Karyawannya lebih dari 4.000 orang. Semuanya warga setempat. Penduduk lokal. Bisnis tumbuh, ekonomi warga pun bangkit.
Peduli Komoditi, Peduli Ekonomi Warga
Kayu manis, bahasa kerennya Cinnamon. Kayu manis adalah salah satu jenis rempah-rempah kekayaan Indonesia. Industri makanan dan minuman, pasti membutuhkan kayu manis. "Kebutuhan nasional akan kayu manis, sangat banyak. Produksi dalam negeri, baru sekitar 13 persen dari kebutuhan nasional. Tiap tahun Indonesia mengimpor dari Vietnam untuk memenuhi kebutuhan tersebut," ujar Budi Susilo, yang kini tengah menyelesaikan S-3 di Washington University, Amerika Serikat.
Ia menilai, perhatian pengusaha perkebunan kita terhadap perkebunan kayu manis, relatif masih rendah. Nyatanya, produksi nasional baru sekitar 13 persen dari kebutuhan nasional. Padahal, industri makanan dan minuman, pasti membutuhkan kayu manis. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, PDB industri makanan dan minuman naik 3,57 persen pada kuartal III/2022. Dan, Industri makanan minuman berkontribusi sebesar 37,82 persen terhadap PDB industri pengolahan non-migas.
Artinya, kayu manis sebagai salah satu bahan baku penting industri makanan minuman, sangatlah strategis. Strategis dalam konteks ketahanan pangan nasional, strategis pula dalam hal menyediakan lapangan kerja. "Perkebunan kayu manis menyerap banyak tenaga kerja. Saat ini saya mempekerjakan lebih dari 4.000 orang. Semuanya warga setempat, warga lokal. Tidak ada seorang pun tenaga kerja yang saya datangkan dari luar Kabupaten Kerinci," ungkap Budi Susilo, yang sejak awal peduli pada komoditi pangan dan kehidupan ekonomi warga.
Dalam konteks kepedulian pada komoditi pangan dan kehidupan ekonomi warga itulah, Budi Susilo memulai bisnis perkebunan serta pengolahan kayu manis di Kabupaten Kerinci, pada tahun 2017. Investasi perkebunan serta pengolahan kayu manis, tidaklah kecil. Budi Susilo menuturkan, satu mesin pengolah, harganya minimal 17 miliar rupiah. "Saat ini kami punya 6 mesin, yang beroperasi secara penuh," tambahnya, dalam wawancara pada Kamis, 23 Februari 2023 lalu di Jakarta Selatan.
Ke-6 mesin canggih itu, ia import dari China. Tapi, ia sama sekali tidak mendatangkan tenaga kerja dari China. "Tidak, sama sekali tidak," sergah Budi Susilo. "Bahkan, kami juga tidak mendatangkan tenaga kerja dari Pulau Jawa. Ke-4.000 lebih tenaga kerja kami, semuanya warga lokal. Benar-benar orang lokal yang selama ini bermukim di sekitar perkebunan kami," lanjutnya.
Dengan kata lain, perusahaan perkebunan serta pengolahan kayu manis Budi Susilo, secara nyata menyediakan lapangan kerja secara langsung kepada warga setempat. Pertumbuhan ekonomi warga setempat pun, naik signifikan. "Karena itu, tokoh adat, warga setempat, dan Pemda Kabupaten Kerinci mendukung keberadaan kami," kata Budi Susilo.
Social Approach, Economic Approach
Â
Mempekerjakan warga lokal, apalagi dalam jumlah ribuan orang, tentulah tidak mudah. Banyak contoh konflik yang telah terjadi di tanah air terkait hal tersebut. Tapi, sejak berbisnis kayu manis tahun 2017 di Kerinci hingga kini, Budi Susilo sama sekali tidak pernah mengalami konflik dengan ribuan karyawannya. Tidak pernah ada konflik dengan warga sekitar.
Inilah salah satu kepiawaian Budi Susilo, dalam konteks leadership bisnis. Ia paham kebutuhan warga desa, karena intens berdialog dengan mereka. Budi Susilo menempatkan ribuan karyawan tersebut benar-benar sebagai asset perusahaan. "Kami mengedepankan pertumbuhan ekonomi warga. Kami ingin kelak akan lahir sumber daya manusia unggul dari Kabupaten Kerinci. Unggul secara kesehatan, unggul pula secara pendidikan," ungkap Budi Susilo penuh optimis. Â Â Â Â Â
Dalam tataran peduli warga itulah, Budi Susilo mengelola bisnis perkebunan dan pengolahan kayu manis di Kabupaten Kerinci. Hal itu merupakan cermin dari perjalanan edukasi yang ia tempuh sepanjang hidupnya. Edukasi yang mencerahkan, sekaligus menumbuhkan spirit hidup kepada sesama.Â
Secara akademik, S-1-nya dari Universitas Taruma Negara Jakarta, S-2-nya dari London School of Economic Inggris, dan kini ia tengah menjalani tahap akhir S-3 di Washington University, Amerika Serikat. Dengan kata lain, Budi Susilo mengolaborasikan ilmu ekonomi yang ia peroleh di dunia akademik dengan realitas sosial di lapangan.
Agaknya, inilah yang disebut sebagai Social Approach, Economic Approach. Sejauh ini, Budi Susilo meyakini, kolaborasi kedua pendekatan tersebut adalah pilihan yang tepat untuk bisnis perkebunan dan pengolahan kayu manis. Menghadapi warga, melibatkan warga, serta mengelola spirit hidup warga, itulah kunci pentingnya.
Budi Susilo menduga, minimnya pengusaha perkebunan masuk ke bisnis perkebunan dan pengolahan kayu manis, terutama karena ketidaksiapan dalam menghadapi warga. "Pebisnis kan umumnya lebih suka menghadapi mesin. Otomatisasi. Sementara, kalau dengan warga, yang kita hadapi kan manusia ... perlu pendekatan sosial sekaligus pendekatan ekonomi, agar bisnis berkelanjutan," ungkap Budi Susilo.
Jakarta, 27 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H