Kita tahu, Taman Ismail Marzuki (TIM) didirikan Gubernur Ali Sadikin pada 10 November 1968, didekasikan untuk seniman Indonesia. Artinya, TIM adalah pusat kesenian nasional, wadah untuk insan seni dari seluruh tanah air, meski pengelolaannya berada di tangan Gubernur DKI Jakarta.
Dalam konteks revitalisasi, Nanang Ribut Supriyatin mengaku pernah membaca, bahwa desain bangunan Revitalisasi TIM terinspirasi dari lirik lagu Rayuan Pulau Kelapa karya Ismail Marzuki tersebut. Dan, itu diterjemahkan ke dalam bentuk tinggi rendah bangunan, mengacu kepada not balok karya sang komponis.
Dengan kata lain, Revitalisasi TIM bukan hanya sebatas memodernkan pusat kesenian secara bangunan fisik, tapi sekaligus me-revitalisasi spirit Gubernur Ali Sadikin sebagai pendiri, termasuk me-revitalisasi spirit komponis Ismail Marzuki, yang namanya diabadikan di sana.
Bangkitkan Kesadaran Berbangsa
TIM adalah pusat kesenian nasional, menjadi salah satu cermin dari keberagaman budaya bangsa. Maka, terpilihnya Gus Dur sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 1982-1985, sesungguhnya sebagai wujud penegasan, bahwa TIM adalah bagian penting untuk merawat keberagaman bangsa ini.
Nanang Ribut Supriyatin sangat terkesan dengan keberadaan Gus Dur di TIM, karena DKJ adalah lembaga yang melekat dengan pusat kesenian tersebut. Apalagi, sikap Gus Dur yang nyeleneh, membuat sosok tersebut dengan cepat intens berkolabarasi bersama seniman. Wawasannya luas. Pemikirannya cemerlang.
"Berbagai forum diskusi di TIM yang dihadiri Gus Dur, selalu mencerahkan para seniman. Saya mendapat banyak pelajaran, karena sejak tahun 1980-an, saya selalu menghadiri beragam kegiatan yang berlangsung di TIM," lanjut Nanang Ribut Supriyatin, yang tempat tinggalnya relatif cukup dekat dengan pusat kesenian tersebut.
Praktis, sejak tahun 1980-an, Nanang hampir tiap hari ke TIM. Selain menonton pertunjukan teater, menonton pembacaan serta diskusi puisi, juga membaca buku-buku sastra di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, yang berada dalam kawasan TIM. Semua itu semakin menyuburkan minatnya menekuni kesusasteraan, khususnya puisi.
Boleh dibilang, Nanang mengikuti denyut nadi perkembangan TIM, sejak tahun 1980-an hingga kini. Bukan hanya sebagai penonton, tentunya. Nanang Ribut Supriyatin bahkan terlibat aktif dalam berbagai kegiatan sastra di TIM. Baik dalam diskusi sastra, maupun dalam berbagai acara pembacaan puisi.
Pada tahun 1988, misalnya, Nanang Ribut Supriyatin diundang untuk membaca puisi di TIM bersama Wahyu Prasetya  dan Gus Mus, dalam acara Tiga Penyair Jakarta Baca Puisi. Setelah pembacaan, dilanjutkan dengan diskusi sastra, yang dipandu oleh Abdul Hadi WM. "Pembacaan puisi dan diskusi sastra itu sangat berkesan bagi saya," ungkap Nanang.