Beberapa hari menjelang Ramadhan, saya berbincang tentang TIM dengan penyair Nanang Ribut Supriyatin. Ia Juara I Lomba Cipta Puisi Kenangan Tentang TIM.Â
Nanang beberapa kali menyebut Gus Dur, Abdurrahman Wahid. "Gus Dur itu tokoh panutan bagi para seniman," ujar Nanang. Apa korelasinya dengan Revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM)?
Revitalisasi Fisik, Sekaligus Revitalisasi Spirit
Kami berbincang pada suatu sore, dalam kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM), Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat.Â
Persisnya, hanya beberapa langkah dari Toko Buku Bengkel Deklamasi milik penyair sekaligus deklamator ulung, Jose Rizal Manua. Bengkel Deklamasi-lah yang menjadi penyelenggara Lomba Cipta Puisi Kenangan Tentang TIM tersebut.
Jose Rizal Manua menjadi Ketua Dewan Juri lomba itu, bersama Acep Zamzam Noor dan Sunu Wasono. "Puisi karya Nanang menunjukkan, bahwa ia adalah penyair yang paling paham tentang TIM, dibanding puisi karya peserta lainnya," ungkap Jose Rizal Manua, beberapa saat sebelum saya berbincang-bincang dengan Nanang Ribut Supriyatin.
Lomba Cipta Puisi tersebut, diikuti oleh 417 peserta dari berbagai wilayah di Indonesia. Juga, dari luar Indonesia, di antaranya berasal dari Malaysia dan negara-negara Asean lainnya.Â
Sebagai Juara I lomba itu, Nanang Ribut Supriyatin tentulah menjadi sosok yang kompeten untuk bicara tentang perjalanan TIM, sekaligus tentang Revitalisasi TIM.
Rayuan Pulau Kelapa di Taman Ismail Marzuki, itu judul puisi Nanang Ribut Supriyatin yang memenangkan lomba tersebut. "Rayuan Pulau Kelapa adalah lagu ciptaan Ismail Marzuki, yang namanya diabadikan sebagai pusat kesenian ini," tutur Nanang Ribut Supriyatin.
Kita tahu, Taman Ismail Marzuki (TIM) didirikan Gubernur Ali Sadikin pada 10 November 1968, didekasikan untuk seniman Indonesia. Artinya, TIM adalah pusat kesenian nasional, wadah untuk insan seni dari seluruh tanah air, meski pengelolaannya berada di tangan Gubernur DKI Jakarta.
Dalam konteks revitalisasi, Nanang Ribut Supriyatin mengaku pernah membaca, bahwa desain bangunan Revitalisasi TIM terinspirasi dari lirik lagu Rayuan Pulau Kelapa karya Ismail Marzuki tersebut. Dan, itu diterjemahkan ke dalam bentuk tinggi rendah bangunan, mengacu kepada not balok karya sang komponis.
Dengan kata lain, Revitalisasi TIM bukan hanya sebatas memodernkan pusat kesenian secara bangunan fisik, tapi sekaligus me-revitalisasi spirit Gubernur Ali Sadikin sebagai pendiri, termasuk me-revitalisasi spirit komponis Ismail Marzuki, yang namanya diabadikan di sana.
Bangkitkan Kesadaran Berbangsa
TIM adalah pusat kesenian nasional, menjadi salah satu cermin dari keberagaman budaya bangsa. Maka, terpilihnya Gus Dur sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 1982-1985, sesungguhnya sebagai wujud penegasan, bahwa TIM adalah bagian penting untuk merawat keberagaman bangsa ini.
Nanang Ribut Supriyatin sangat terkesan dengan keberadaan Gus Dur di TIM, karena DKJ adalah lembaga yang melekat dengan pusat kesenian tersebut. Apalagi, sikap Gus Dur yang nyeleneh, membuat sosok tersebut dengan cepat intens berkolabarasi bersama seniman. Wawasannya luas. Pemikirannya cemerlang.
"Berbagai forum diskusi di TIM yang dihadiri Gus Dur, selalu mencerahkan para seniman. Saya mendapat banyak pelajaran, karena sejak tahun 1980-an, saya selalu menghadiri beragam kegiatan yang berlangsung di TIM," lanjut Nanang Ribut Supriyatin, yang tempat tinggalnya relatif cukup dekat dengan pusat kesenian tersebut.
Praktis, sejak tahun 1980-an, Nanang hampir tiap hari ke TIM. Selain menonton pertunjukan teater, menonton pembacaan serta diskusi puisi, juga membaca buku-buku sastra di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, yang berada dalam kawasan TIM. Semua itu semakin menyuburkan minatnya menekuni kesusasteraan, khususnya puisi.
Boleh dibilang, Nanang mengikuti denyut nadi perkembangan TIM, sejak tahun 1980-an hingga kini. Bukan hanya sebagai penonton, tentunya. Nanang Ribut Supriyatin bahkan terlibat aktif dalam berbagai kegiatan sastra di TIM. Baik dalam diskusi sastra, maupun dalam berbagai acara pembacaan puisi.
Pada tahun 1988, misalnya, Nanang Ribut Supriyatin diundang untuk membaca puisi di TIM bersama Wahyu Prasetya  dan Gus Mus, dalam acara Tiga Penyair Jakarta Baca Puisi. Setelah pembacaan, dilanjutkan dengan diskusi sastra, yang dipandu oleh Abdul Hadi WM. "Pembacaan puisi dan diskusi sastra itu sangat berkesan bagi saya," ungkap Nanang.
Selain itu, setiap 17 Agustus, Nanang Ribut Supriyatin selalu tampil membaca puisi di Teater Arena TIM, bersama sejumlah penyair lainnya. Itu memang agenda tahunan TIM, dalam memperingati Hari Kemerdekaan. Melalui pembacaan puisi dan diskusi sastra, TIM nyaris tak pernah absen membangkitkan kesadaran berbangsa. Dan, Nanang Ribut Supriyatin senantiasa menjadi bagian dari aktivitas tersebut.
Mencermati Tiga Fase TIM
Dalam puisi Rayuan Pulau Kelapa di Taman Ismail Marzuki, yang membuat Nanang Ribut Supriyatin tampil sebagai Juara I, ia membagi TIM ke dalam tiga fase.Â
Fase pertama, tentang keberadaan TIM yang ia kenal sejak tahun 1980-an. Oh, ya Lomba Cipta Puisi Kenangan Tentang TIM tersebut meliputi kenangan di rentang tahun 1968 hingga tahun 2018. Ini petikan puisi Nanang Ribut Supriyatin di fase pertama:
Seperti bangunan rumah sakit yang berdiri di atas tanah basah
Dalam sebuah ladang besar, kebun sayur yang tak terawat
Dimana cacing-cacing dan kecoa berlarian di atas rerumputan
Demikian sang penyair mencatat keberadaan TIM, di masa awal Taman Ismail Marzuki (TIM) didirikan oleh Gubernur Ali Sadikin, pada 10 November 1968. Selanjutnya, pada fase kedua, Nanang Ribut Supriyatin mencatat dalam puisi-nya tentang berbagai aktivitas kesenian di TIM yang ia tonton dan yang ia terlibat dalam sejumlah aktivitas tersebut. Ini petikan fase kedua:
Diskusi demi diskusi, argumentasi dengan nalar faktual dan imajinasi
Bahasa linier yang padat dan terus berkembang seperti tak henti
Memecah ruang-ruang tertutup dan sunyi, bagai mikrofon pecah
Di fase kedua tersebut, Nanang Ribut Supriyatin mencatat dalam puisi-nya, betapa maraknya aktivitas di TIM. Tak bisa diingkari, TIM telah menjelma menjadi ruang ekspresi yang sangat dinamis. Berbagai pertunjukan dan diskusi, senantiasa menampilkan tokoh-tokoh penting, yang karya-karya mereka menggema ke seluruh tanah air.
Selanjutnya, pada fase ketiga, Nanang Ribut Supriyatin mencatat dalam puisi-nya tentang bagaimana TIM mengembangkan segala sumber daya kesenian Indonesia, demi memajukan negeri ini dari sektor seni budaya. Ini petikan fase ketiga:
Matahari akan selalu bersinar di antara gedung-gedung tinggi
Bangunan-bangunan seni tanpa sekat, serpihan lampu pada kaca
Destinasi yang berubah di antara Planetarium dan
---Gedung Arsip
Revitalisasi menghadirkan Perpustakaan dan Wisma Pelatihan
Gallery Anex, Graha Bhakti Budaya dan Teater Halaman
Pusat Latihan Seni serta Masjid Amir Hamzah
Di fase ketiga puisi-nya ini, Nanang Ribut Supriyatin sudah menarasikan Revitalisasi TIM. "Saya optimis, TIM tentu akan menjadi lebih baik. Sama-sama kita lihat nanti, bagaimana Pemprov DKI Jakarta dan Jakpro mengelola TIM sebagai pusat kesenian dan sebagai ruang ekspresi para seniman," ujar  Nanang Ribut Supriyatin, dalam perbincangan, pada Senin, 24 Januari 2022 tersebut.  Â
Jakpro yang dimaksud Nanang adalah PT Jakarta Propertindo (Jakpro), yang merupakan badan usaha DKI Jakarta, yang ditugaskan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk merevitalisasi TIM. Total anggaran untuk revitalisasi ini mencapai Rp 1,64 triliun. Peletakan batu pertama atau groundbreaking revitalisasi, dilaksanakan pada 3 Juli 2019.
Jakarta, 11 April 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H