Inilah Rodiah. Perempuan yang sudah bercucu ini, menjadi sosok penting di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Ia bersama kaum perempuan desa itu, menunjukkan wajah serta karakter Desa Wadas yang sesungguhnya: ramah, rukun, dan saling menghormati
Dapur Umum untuk Sesama
Kami beberapa jurnalis dari Jakarta, memasuki Desa Wadas, pada Selasa, 15 Februari 2022. Itu untuk pertama kalinya kami menapaki desa tersebut, setelah insiden Desa Wadas, pada Selasa, 8 Februari 2022, pekan sebelumnya. Kami menyusuri jalanan desa, dengan kendaraan roda empat. Jalan aspal itu tidak terlalu lebar, tapi di beberapa bagian jalan, cukup untuk berpapasan dua kendaraan pribadi.
Di pekarangan sebuah rumah, ada sebuah tenda yang difungsikan sebagai Dapur Umum. Di sana, beberapa perempuan desa sibuk memasak. Ada yang merebus telur. Ada pula yang mengiris sayuran. Sementara, di teras rumah tersebut, para ibu-ibu desa dengan cermat membungkus nasi beserta lauk-pauk yang ada.
Rodiah menyebut, bahan makanan tersebut berasal dari para donatur, yang bersimpati kepada warga Desa Wadas. Setelah nasi beserta lauk-pauk dibungkus, masing-masing dimasukkan ke dalam kantong plastik. Kemudian, dibagikan kepada warga desa, juga kepada para tamu desa, yang berdatangan setelah insiden Desa Wadas, pada Selasa, 8 Februari 2022 lalu.
Dengan mata berbinar, Rodiah menuturkan, "Memasak bersama, makan bersama, serta berbagi makanan kepada tamu desa, membuat perasaan kami lega." Sebagai warga asli Desa Wadas, Rodiah mengungkapkan, warga desa selama ini guyub, memiliki jalinan silaturahmi yang erat. Saling sapa, saling mengunjungi, sekaligus saling tolong-menolong.
Seingat Rodiah, sejak konstruksi proyek Bendungan Bener dimulai pada tahun 2018, lalu-lintas orang luar Desa Wadas, makin lama makin meningkat. Proyek Bendungan Bener berjarak sekitar 12 kilometer dari Desa Wadas. Interaksi orang luar dengan warga Desa Wadas, mulai terasa berdampak, ketika batu andesit menjadi buah bibir warga.
Rodiah bersama suaminya, menjadi petani di Desa Wadas. Mereka menggarap lahan sekitar 2.000 meter, warisan orangtua Rodiah. Sebagai warga yang lahir, beranak, serta bercucu di Desa Wadas, ia mengenal serta memahami betul karakter tanah desa tersebut.
"Kalau disebut subur, ya lumayan subur. Pohon-pohon keras seperti durian, jati, dan albasia, tumbuh di lahan kami. Tapi, dari pengalaman kami, sayur-sayuran tidak cocok ditanam di Desa Wadas," ujar Rodiah, yang kalau sedang musim durian, menjadi pedagang pengepul durian, dari para warga yang memiliki pohon durian.