"Ketika memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP), serangan bully-an tersebut masih terus berlanjut. Sebagian teman-teman di SD, adalah juga teman-teman semasa SMP," lanjut Siskaeee, yang untuk kesekian kalinya menyeka air matanya.
Di masa Sekolah Menengah Atas (SMA), meski Siskaeee sekolah di Madrasah, serangan bully-an tak juga mereda. Intensitasnya kian tajam. Frekuensinya juga makin meningkat. Maklum, masa-masa SMA adalah masa teman-temannya sangat gandrung mengeksplorasi media sosial. Sekali lagi, Siskaeee sama sekali tidak punya daya untuk membalas semua serangan bully-an tersebut.
"Puncaknya, ketika saya tidak bisa ikut studi tur ke Bali, karena tidak punya uang untuk membayar biayanya. Saya anak miskin. Nenek saya hanya buruh tani," ujar Siskaeee, dengan mata menerawang. Sampai di sini, ia cukup lama tercenung. Selintas saya melihat, ia beberapa kali menelan air ludahnya sendiri. Seolah hendak menghapus jejak hidup yang pahit, namun apa hendak dikata ... Siskaeee tak kuasa.
Di-Bully di Kampung, Dirangkul di Rantau
Setamat sekolah Madrasah di desa--sengaja tidak saya tuliskan nama desanya--di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Siskaeee memilih pergi dari sana. Ia ingin lepas dari serangan bully-an. Ia nyaris tak kuat menanggung guncangan serta beban psikis yang selama bertahun-tahun menderanya. Pilihannya: Bali, Pulau Dewata.
"Ketika itu, saya berfikir sederhana saja. Bali kan destinasi wisata favorit. Banyak turis di sana. Tentu banyak pula peluang kerja yang tersedia," ujar Siskaeee, kali ini dengan mata berbinar. Tanpa persiapan, tak lama setelah lulus Madrasah, Siskaeee pergi ke Bali. Tak ada saudara di sana. Tak ada pula kenalan. Secara door to door, ia mengajukan diri untuk bekerja.
Akhirnya, pengelola sebuah rumah makan, menerimanya bekerja sebagai tukang cuci piring. Itu karir pertama Siskaeee di Bali. Rekan-rekan kerjanya menerima kehadirannya dengan ramah serta penuh kekeluargaan. Secara serabutan, ia bekerja dari satu usaha kuliner ke usaha kuliner yang lain. Sekitar 3,5 tahun Siskaeee hidup dan bekerja di Bali.
Di sana, ia bukan hanya bekerja. Tapi, juga menimba ilmu pengetahuan. Sebagian dari penghasilannya, ia gunakan untuk kursus Bahasa Inggris. Ia juga mengikuti berbagai seminar internet marketing dan berbagai kursus tentang berbisnis secara online. Kepercayaan dirinya tumbuh pesat. Beberapa kali ia pulang ke kampung, karena ada adik laki-lakinya yang masih sekolah di kampung dan tinggal bersama neneknya.
"Saya sangat terharu, ternyata Bali sangat toleran. Padahal, agama yang saya anut berbeda dengan agama mayoritas di Bali. Mereka justru menerima saya dengan penuh suka-cita. Sebaliknya, di desa saya di Sidoarjo, yang merupakan tanah kelahiran saya, yang mayoritas beragama sama dengan saya, justru mem-bully saya bertahun-tahun tanpa henti. Padahal, saya tidak bikin ulah. Tidak bikin onar," kembali Siskaeee terisak, tak kuasa membendung air matanya.
Lebih dari satu jam berbincang dengan Siskaeee di Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), saya menemukan energi yang kuat dalam sosok wanita tersebut. Jika saja ia wanita yang rapuh, mungkin ia sudah terjerumus ke dalam lembah prostitusi dan lembah narkoba yang mengenaskan.