Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

KPK Ditanduk, KPK Menampar

14 September 2019   14:02 Diperbarui: 15 September 2019   07:21 2367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ini cuitan Harian Kompas melalui akun twitter @hariankompas pada 13 September 2019 pukul 9.03 AM. Publik tentulah mencermati sejumlah tanda-tanda tersebut sebagai kode keras tentang skenario pelemahan KPK. Foto: capture dari laman twitter @hariankompas

Empat petinggi KPK, frustrasi. Mereka sangat tertekan. Kondisi tersebut dibidik Sigid Kurniawan dengan tepat. Picture messages dari fotografer Antara itu, menunjukkan nasib KPK, setelah ditanduk DPR dan pemerintah. KPK pun bereaksi, memberikan tamparan.

Monumen Berantas Korupsi

KPK kembalikan mandat pengelolaan lembaga antirasuah, ke Presiden Joko Widodo. Beberapa detik sebelum pengembalian mandat itu diucapkan Ketua KPK Agus Rahardjo, Sigid Kurniawan membidikkan kamera.

Bagi saya, itu momen yang sangat penting, yang secara gambar menjelaskan, betapa kuat tekanan yang dihadapi para petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Itu sekaligus menunjukkan, betapa berat tantangan yang dihadapi petinggi KPK dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Pengembalian mandat KPK ke Presiden, baru pertama kali terjadi.

"Ini tamparan keras bagi Presiden maupun pihak-pihak lain yang tidak memahami konteksnya (revisi UU KPK) adalah pelemahan," ujar Bivitri Susanti pada Jumat (13/09/2019).

Ahli Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu menyebut, KPK ditempatkan di bawah Presiden dan ada Dewan Pengawas, itu melemahkan. Jadi, kalau ada argumen mau menguatkan, itu menyesatkan masyarakat.

Dari pencermatan saya, argumen Bivitri Susanti tersebut singkron dengan sikap KPK kembalikan mandat ke Presiden Joko Widodo.   

Sikap KPK itu menjadi monumen pemberantasan korupsi. Dalam konteks penegakan hukum, independensi tentulah sangat penting. Mencampurkan DPR dan pemerintah ke dalam urusan penegakan hukum di KPK, sama saja dengan meruntuhkan KPK sebagai lembaga anti korupsi.

Ketua KPK Agus Rahardjo pada Jumat (06/09/2019) memaparkan data korupsi sampai Juni 2019.

Pelaku korupsi terbanyak adalah anggota DPR dan DPRD, mencapai 255 perkara. Kepala daerah berjumlah 110 perkara. Pejabat tinggi di instansi, setingkat eselon I, II, dan III berjumlah 208 perkara. Menteri dan kepala lembaga, ada 27 perkara.

Maka, tidak mengherankan, masyarakat mencurigai DPR dan pemerintah secara bersama-sama bersekongkol untuk melemahkan KPK. Melakukan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah salah satu cara yang mereka tempuh.

Menurut Agus Rahardjo, revisi UU KPK tersebut, sama sekali tidak pernah melibatkan KPK sebagai lembaga.

Ini cuitan Harian Kompas melalui akun twitter @hariankompas pada 13 September 2019 pukul 9.03 AM. Publik tentulah mencermati sejumlah tanda-tanda tersebut sebagai kode keras tentang skenario pelemahan KPK. Foto: capture dari laman twitter @hariankompas
Ini cuitan Harian Kompas melalui akun twitter @hariankompas pada 13 September 2019 pukul 9.03 AM. Publik tentulah mencermati sejumlah tanda-tanda tersebut sebagai kode keras tentang skenario pelemahan KPK. Foto: capture dari laman twitter @hariankompas
Kode Keras Operasi
Menjelang Jumat (13/09/2019) pagi, pukul 05:24 WIB, kompas.com memposting Firli Bahuri Dipilih Seluruh Anggota Jadi Ketua KPK, Komisi III Bantah Ada Operasi. Ada petikan menarik di postingan tersebut: wartawan bertanya, apakah ada operasi senyap atau kesepakatan sebelumnya di antara anggota Komisi III, untuk memilih Firli Bahuri?

"Itu pernyataan media yang sangat tendensius," ujar Herman Hery, Wakil Ketua Komisi III DPR, yang merupakan politisi PDI Perjuangan.

Bagi saya, jawaban Herman Hery tersebut, bukan jawaban yang diplomatis. Jawaban itu justru semakin memperkuat dugaan publik, bahwa memang ada skenario pelemahan KPK yang beberapa pekan belakangan memenuhi laman media sosial.

Jawaban yang tidak diplomatis, juga datang dari Masinton Pasaribu, anggota Komisi III DPR, yang juga dari Fraksi PDI Perjuangan.

Saat giliran Irjen (Pol) Firli Bahuri diuji kelayakan dan kepatutannya, beberapa anggota Komisi III DPR bahkan tak segan langsung menyampaikan akan memilih Firli Bahuri. Itu dinyatakan politisi dari PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Kita tahu, keempat partai politik tersebut adalah sebagian dari sembilan partai politik yang mendukung Joko Widodo dalam Pilpres 2019 lalu.

Selain itu, politisi Komisi III DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), juga tak segan langsung menyampaikan akan memilih Firli Bahuri. PAN dan PKS bukan bagian dari sembilan partai politik tersebut.

Agaknya, pertanyaan wartawan apakah ada operasi senyap, cukup relevan. Yang dimaksud dengan operasi senyap, tentulah kong-kalingkong antar politisi. Operasi senyap lebih mengarah kepada adanya politik transaksional di kalangan politisi.

Nah, apakah jawaban Masinton Pasaribu terkait tak segan langsung menyampaikan akan memilih Firli Bahuri tersebut?

"Ya sudahlah. Biasa itu di DPR," ujar Masinton Pasaribu.

Menurut saya, ungkapan Herman Hery dan Masinton Pasaribu, yang sama-sama berasal dari Fraksi PDI Perjuangan, sesungguhnya merupakan kode keras tentang skenario pelemahan KPK. Publik tentulah mencermati sejumlah tanda-tanda tersebut.

Reaksi publik atas sejumlah kontroversi terhadap KPK, terutama karena publik menaruh kepercayaan besar terhadap KPK.

Kontroversi, Kian Memuncak
Terpilihnya Irjen Firli Bahuri sebagai Ketua KPK Periode 2019-2023, ternyata semakin menaikkan tensi kontroversi tentang skenario pelemahan KPK. Pada hari terpilihnya Firli Bahuri, yaitu pada Jumat (13/09/2019), pimpinan KPK menyerahkan mandat pengelolaan lembaga antirasuah itu, ke Presiden Joko Widodo.

"Kami menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK ke Bapak Presiden," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo, dalam konferensi pers yang digelar pada Jumat (13/09/2019). Pada hari itu juga, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyampaikan pengunduran dirinya sebagai Pimpinan KPK periode 2015-2019.

Ketua KPK Agus Rahardjo merasa, saat ini KPK diserang dari berbagai sisi, khususnya menyangkut revisi Undang-Undang KPK. Agus Rahardjo menilai, KPK tidak diajak berdiskusi oleh pemerintah dan DPR dalam revisi tersebut. Dalam konteks pemberantasan korupsi, ini tentu kabar buruk.

Bivitri Susanti selaku Ahli Hukum Tata Negara menyebut, tentu saja yang membuat undang-undang adalah DPR dan Presiden. Tetapi, dalam pembentukan UU, setiap stakeholder harus diikutsertakan. KPK tak pernah diikutsertakan.

Siasat buruk yang demikian, semakin mempertegas adanya persekongkolan DPR dan pemerintah untuk melemahkan KPK.

Oce Madril selaku Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, juga menyuarakan hal serupa. Oce Madril menilai, janji Joko Widodo untuk memperkuat KPK, tak terbukti.

Penilaian Oce Madril tersebut mengacu kepada proses pemilihan capim KPK serta langkah Presiden Jokowi yang menyetujui revisi UU KPK dengan poin-poin yang dianggap bisa melemahkan lembaga tersebut.

Itu diungkapkan Oce Madril, sebagaimana dilansir kompas.com "Presiden Mulai Ingkar Janji, Ikut dalam Orkestra Pelemahan KPK..." pada Jumat (13/09/2019) pukul 14:30 WIB.

Apapun yang akan terjadi selanjutnya, revisi UU KPK tanpa melibatkan KPK dan pengembalian mandat KPK ke Presiden akan menjadi catatan sejarah penting di negeri ini. Aksi penolakan masyarakat atas revisi UU KPK tersebut, sama sekali tidak dihiraukan DPR dan pemerintah.

Hmmm jadi ingat cuitan Presiden Joko Widodo melalui akun twitter @jokowi pada 10 Oktober 2018 pukul 3:36 PM: Korupsi itu kejahatan yang luar biasa, maka pemberantasannya juga harus dengan cara-cara yang luar biasa. Kita ingin ada partisipasi masyarakat luas.

isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 14 September 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun