Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ingat Christian Ansaka, Sahabat Saya dari Papua

18 Agustus 2019   20:36 Diperbarui: 18 Agustus 2019   21:04 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya bersama dua saudara dari Papua. Kami saling berbagi cerita dalam suasana suka-ria. Hidup ini indah, bila kita senantiasa berlapang dada. Ada begitu banyak orang baik di penjuru negeri. Mereka bagian dari kita, kita bagian dari mereka. Kebhinekaan itulah yang membuat negeri ini menjadi kuat, semakin kuat. Foto: iskandar zulkarnain

Semarak peringatan 17 Agustus, sangat kuat gemanya. Tiba-tiba, saya ingat Christian Ansaka, sahabat saya dari Papua. Sudah sangat lama kami tidak bertemu. Juga, sudah berbilang tahun tidak saling berkabar. Sehat-sehat kah dirimu, Crist?

Kabar Tentang Bendera

Hari Sabtu (17/08/2019) ini, ada sejumlah kabar tentang Papua. Kabar itu menyelinap di antara ribuan content tentang meriahnya peringatan Hari Proklamasi. Ada tentang pasangan suami istri Rudolf Yan Karubaba dan Hermelina Rumbiat dari Manokwari, Papua Barat. Mereka datang ke Jakarta untuk menyaksikan putra mereka, Menno Asyopan Waray Karubaba, yang menjadi pasukan pengibar bendera pusaka di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, pada Sabtu (17/08/2019).

Melihat senyum mereka, saya bisa merasakan, betapa bangga kedua orang tua itu menyaksikan prestasi sang putra. Saya juga turut bangga, karena pasukan pengibar bendera pusaka itu mencerminkan keragaman Indonesia. Juga menunjukkan, betapa kuatnya kebhinekaan bangsa ini. Dengan semangat kebersamaan, anak-anak muda Indonesia itu mengibarkan Merah Putih, di tiang yang menjulang ke langit tinggi.

Tapi kemudian saya terhenyak. Karena, pada Sabtu (17/08/2019) itu juga, saya membaca 43 mahasiswa Papua dibawa ke Mapolrestabes Surabaya, Jawa Timur, dari Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya. 

Mereka terdiri dari 40 mahasiswa laki-laki dan 3 orang perempuan. Polisi membawa mereka, untuk mendalami perusakan dan pembuangan bendera Merah Putih ke dalam selokan, yang diduga dilakukan oleh oknum mahasiswa Papua.

Keterhenyakan saya berlanjut, karena pada Sabtu (17/08/2019) itu juga, saya membaca tentang bendera Bintang Kejora yang ditemukan berkibar di tower navigasi, Jalan Yos Sudarso, Kota Agats, Asmat, Papua. 

Bendera yang diikat di atas tower setinggi 30 meter itu menjadi perhatian warga yang melintasi jalan tersebut, usai menyaksikan upacara HUT ke-74 Republik Indonesia. Kejadian itu diketahui sekitar pukul 10.40 WIT.

Rentetan bacaan itulah yang membuat saya langsung teringat Christian Ansaka, sahabat saya dari Papua. Kami beberapa tahun satu kampus di Jakarta, sama-sama studi ilmu komunikasi. 

Ia banyak bercerita tentang Papua kepada saya. Bahasa Indonesia-nya bagus dan jernih artikulasinya. Kami bersahabat dan kerap menjelajahi sudut-sudut Jakarta bersama. Kadang siang, kadang malam, bahkan kerap hingga larut malam.

Kabar Tentang Keragaman

Barangkali, Christian Ansaka, entah sedang berada di mana, juga membaca apa yang sudah saya baca itu. Sungguh, saya ingin mendengar, apa pendapatnya tentang semua itu. Saya yakin, ia pasti juga bangga dengan putra Manokwari, yang menjadi pasukan pengibar bendera pusaka di Istana Merdeka tersebut.

Di saat yang bersamaan, ia tentu sangat sedih, kalau benar oknum mahasiswa Papua yang merusak dan membuang bendera Merah Putih ke dalam selokan di Surabaya. Kesedihannya tentulah berlanjut akibat ulah oknum yang mengibarkan bendera Bintang Kejora di tower navigasi, Jalan Yos Sudarso, Kota Agats.

Beberapa tahun sekampus dengan Christian Ansaka di Jakarta, nyaris tidak ada yang terasa ganjil. Bagi saya, ia sama pentingnya dengan teman-teman saya yang lain, yang berasal dari Medan, Pontianak, Makassar, dan Tulungagung. Kebersamaan kami terjalin sebagai kebersamaan Indonesia, yang masing-masing suku memiliki keunikan sendiri-sendiri.

Kadangkala kami memang saling ledek-ledekan tentang kebiasaan orang dari daerah asal kami. Tapi, itu sebatas gurauan semata, tak mengurangi rasa hormat kami pada kebhinekaan negeri. 

Bagi saya, berteman dengan mereka yang berasal dari berbagai wilayah, sangat mengesankan. Saya jadi tahu tentang banyak daerah, yang diceritakan langsung oleh warga asli daerah yang bersangkutan.

Sebagai orang yang senang menulis, beragam cerita itu turut menambah inspirasi saya dalam menulis. Kadang saya mengonfirmasi beberapa hal kepada teman yang berasal dari suatu wilayah. Itu menambah pemahaman saya tentang hal tersebut, meski sebelumnya saya sudah mengetahuinya lewat bacaan. Proses klarifikasi kreatif tersebut, banyak gunanya bagi saya, dalam konteks penulisan.

Makanya, saya sangat ingin bertemu dengan Christian Ansaka, sahabat Papua saya tersebut. Saya tak habis pikir, mengapa pembuangan Merah Putih ke selokan di Surabaya dan pengibaran bendera Bintang Kejora di Kota Agats itu, terjadi saat berjuta anak bangsa sedang memperingati Hari Proklamasi? Tindakan tersebut tentulah mencederai kekhidmatan. Juga, melukai kebersamaan yang selama ini sudah terbangun.

Kabar Perairan Fakfak

Beberapa waktu lalu, saya ada pekerjaan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan. Sebelum terbang dari Jakarta ke sana, saya mencari berbagai informasi tentang tempat itu. Termasuk, dari beberapa teman yang berasal dari Makassar. Saya pun mendapat gambaran, seperti apa situasi TPI yang berada di Jalan Sabutung, Kelurahan Camba Berua, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar, tersebut.

Aktivitas pelelangan ikan di TPI Paotere, lumayan sibuk. Beberapa bandar ikan di sana menyebut, rerata per hari ada sekitar 10 ton ikan yang diperdagangkan di sana. Berbagai jenis ikan laut bisa kita temukan. Mulai dari kerapu, baronang, tongkol, tuna, ikan terbang, pari, tenggiri, kembung, teri, hingga cumi dan udang. Semuanya dalam keadaan segar.

Kalau mau membeli ikan di TPI Paotere dan ingin mendapatkan ikan segar dengan harga miring, datanglah ke sana pukul 04.00 WITA. Kita bisa membeli ikan yang baru diturunkan dari kapal. Artinya, ikan itu belum berpindah tangan ke penjual ikan yang lain. Kita tahu, dalam hitung dagang, berpindah tangan itu berarti ada kenaikan harga jual. Karena, tiap tangan kan akan mengambil laba.

Ketika ngopi di sebuah warung di sekitar TPI Paotere, saya ngobrol dengan beberapa nelayan, yang juga sedang ngopi di sana. Aroma kopi Toraja menguap ke udara, membangkitkan selera. Asap rokok mengepul. Obrolan kian seru, ketika mereka menceritakan tentang berburu ikan terbang dan telur ikan terbang. Itu adalah kekayaan perairan Kabupaten Fakfak, salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat.

Christian Ansaka pernah bercerita tentang ikan terbang itu ke saya. Tapi, ia kan bukan nelayan. Kali ini saya mendengar cerita langsung dari nelayan, yang memang biasa bertarung di perairan Fakfak tersebut. Dari mereka saya tahu, hanya nelayan dari Sulawesi Selatan yang bernyali ke sana. Kenapa? Karena, ombak di sana tinggi dan anginnya kencang.

Serunya, para nelayan tersebut yakin, justru ketika musim ombak tinggi itulah sebagai waktu yang tepat untuk berburu telur ikan terbang di laut. Menurut mereka, saat ombak normal, ikan terbang tidak akan bertelur. Sensasinya sangat menggiurkan, karena telur ikan terbang yang sudah dibersihkan, bisa dijual dengan harga Rp 450.000 per kilogram. Telur ikan itu berupa butiran bulat, dengan diameter 0,5 centimeter.

Pembeli telur ikan ini umumnya berasal dari Jakarta dan Surabaya. Pembelinya kemudian akan mengekspor ke Jepang. Kabarnya, telur ikan terbang itu dijadikan menu utama di restoran dan ada juga yang digunakan sebagai bahan baku kosmetik. Cerita para nelayan Sulawesi Selatan tersebut, makin menguatkan keinginan saya untuk bertemu dengan Christian Ansaka. Di samping ingin ngobrol tentang pembuangan Merah Putih ke selokan di Surabaya dan tentang pengibaran bendera Bintang Kejora di Kota Agats tersebut.

isson khairul --dailyquest.data@gmail.com

Jakarta, 18 Agustus 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun