Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Loper Koran Masih Ada, Menjaja Kata di Antara Debu Kota

18 Agustus 2019   16:02 Diperbarui: 19 Agustus 2019   03:09 4158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Loper koran ini saya temukan di Malang, Jawa Timur. Menurutnya, pelanggan media cetak masih ada, meski jumlahnya tidak sebanyak dulu. Dengan sepeda, loper ini menjajakan media cetak tiap hari. Ia berkeliling di pusat kota Malang dengan penuh semangat, meski ia tahu penerbit media cetak sudah memasuki senjakala. Foto: isson khairul

Loper koran itu istimewa. Setidaknya bagi saya, generasi jadul yang mengenal mesin tik, sebelum move on ke komputer dan smartphone. Dulu, mereka adalah ujung tombak media cetak, dari penerbit ke pembaca. Kini, sesekali mereka masih terlihat, menyelinap di antara debu kota.    

Ketika Loper Dimanjakan 

Ya, mereka masih ada. Senjakala tak serta-merta membuat mereka tiada. Gutenberg masih dikenang dan dicatat. Orang masih membaca Shakespeare di kertas yang menguning. 

Apakah kita terlalu cepat berpaling dari kertas? Entahlah. Seingat saya, tahun 2010 adalah tahun terakhir penerbit media memanjakan para loper koran. Sebelumnya, tiap tahun, para penerbit media selalu bikin event spesial untuk para loper.

Kenapa? Karena loper adalah ujung tombak yang mengantarkan media ke pembaca. Dengan berjalan kaki, naik sepeda, atau pakai motor, mereka menyusuri jalanan. Masuk dari komplek perumahan yang satu ke komplek perumahan yang lain. Melintasi lorong dan gang di berbagai kota. Naik-turun kendaraan umum. Mereka berpeluh, kadangkala basah oleh gerimis.

Para loper menggantungkan hidup dari berjualan media. Para penerbit media menggantungkan hidup dari para loper. Tanpa mereka, media tak kan sampai ke tangan pembaca. Model hubungan penerbit-loper itulah yang membuat para penerbit media selalu bikin event spesial untuk para loper. Setidaknya, setahun sekali.

Untuk apa? Sebagai ucapan terima kasih penerbit kepada loper. Sebagai penyemangat, agar loper makin giat jualan media. Dan, di tahun 2010 itu, tepatnya pada Sabtu (10/07/2010), penerbit Kompas Gramedia memanjakan loper, dengan mengajak mereka jalan-jalan ke Dunia Fantasi, Ancol, Jakarta Utara. Sebanyak 11.500 peserta, yang berasal dari 408 agen media di Jabodetabek, tumpah ruah di area Dunia Fantasi (Dufan). Mereka bersuka-ria.

Dari 11.500 peserta tersebut, 10.592 adalah loper dan pengecer yang sehari-hari menjajakan Harian Kompas di wilayah perumahan, perkantoran, dan di jalanan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Demikian banyak jumlah para loper tersebut. Itu baru sebagian dari loper yang ada di Jabodetabek. Alangkah banyaknya, jika dijumlahkan dari 34 provinsi di Indonesia.

Dan, alangkah banyaknya saudara kita yang menggantungkan hidup mereka dari berjualan media. Kemudian, zaman berubah. Berjuta tangan di mana-mana menggenggam smartphone. Berjuta informasi melalui berjuta link, menyerbu mereka. Bahkan tanpa mereka cari. Tanpa mereka beli. 

Akibatnya, kebutuhan akan media cetak, surut. Sejumlah penerbit media cetak menjadi senjakala. Banyak yang sudah menutup usaha. Para loper pun banyak yang tak lagi berjualan media.

Loper ini saya temukan di Solo, Jawa Tengah. Ia turun-naik angkutan umum menjajakan media cetak. Katanya, meski jumlah pembeli menurun, tapi penghasilannya sebagai loper cukuplah untuk menghidupi keluarganya. Ia tetap semangat jualan, karena memang itulah pekerjaannya. Foto: isson khairul
Loper ini saya temukan di Solo, Jawa Tengah. Ia turun-naik angkutan umum menjajakan media cetak. Katanya, meski jumlah pembeli menurun, tapi penghasilannya sebagai loper cukuplah untuk menghidupi keluarganya. Ia tetap semangat jualan, karena memang itulah pekerjaannya. Foto: isson khairul
Penggerak Ekonomi Rakyat             

Mencermati banyaknya loper di seluruh Indonesia pada masa lalu, tak bisa diingkari, keberadaan mereka pernah menjadi bagian dari gerakan ekonomi rakyat. Itu kemudian menjadi obyek penelitian kalangan akademik. 

Ini beberapa di antaranya. Desi Indriani, mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat, meneliti tentang kehidupan sosial ekonomi loper koran di Kota Padang tahun 1998-2016.

Sylvia Dewi, mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Jawa Timur, tahun 2005 meneliti tentang aspirasi loper koran usia remaja dan persepsinya terhadap peran orangtua. 

Kemudian, Asep Mohamad Sumarna, mahasiswa Universitas Komputer Indonesia, Bandung, Jawa Barat, pada tahun 2006 meneliti tentang rute distribusi koran untuk menentukan jarak minimum menggunakan metode Traveling Salesman Problem (TSP).

Penelitian Desi Indriani, Sylvia Dewi, dan Asep Mohamad Sumarna di atas, hanya beberapa contoh dari sekian banyak contoh, sebagai penanda bahwa loper memang pernah eksis di negeri kita, menjadi salah satu penggerak ekonomi rakyat. Rahmat Budiarto adalah contoh dari sisi lain. 

Ia adalah lulusan terbaik Program Magister Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor (IPB), dengan nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) sempurna 4,00. Ia diwisuda di Kampus IPB Bogor, Jawa Barat, pada Rabu (25/04/2018).

Rahmat Budiarto dan dua adiknya dibesarkan oleh keluarga yang sederhana, dari seorang ayah, Gatot Subagyo, yang bekerja sebagai loper koran di Jember, Jawa Timur. Saya pikir, dari beberapa contoh di atas, kita bisa memprediksi, betapa besarnya kontribusi ekonomi para loper terhadap perekonomian rakyat Indonesia.

Zaman memang telah berubah. Sejumlah penerbit media cetak telah menjadi senjakala. Banyak yang sudah menutup usaha. Para loper pun banyak yang tak lagi berjualan media. Namun, para loper belum sepenuhnya lenyap dari bumi negeri ini. Kita masih melihat mereka berjualan media, meski jumlah mereka dan jumlah media yang mereka jajakan, tidak sebanyak dulu.

Pada November 2018 lalu, Sutio, seorang agen media di Tangerang, Banten, bercerita tentang pengalamannya. Ia dulu loper pakai sepeda, kemudian berkembang menjadi agen media. Berkat kerja kerasnya, Sutio berhasil mengembangkan agennya ke beberapa wilayah seperti Bumi Serpong Damai (BSD), Alam Sutera, dan Lippo Karawaci. Katanya, dulu tahun 2010, lopernya sampai 35 orang. Kini, hanya tersisa 15 orang saja.

Bermula dari New York

Untuk tingkat dunia, loper koran pertama, bermula di New York, Amerika Serikat, pada tahun 1833. Itu dicatat oleh Bruce J. Evensen dalam Journalism and the American Experience. Ide tentang loper koran itu, datang dari Benjamin Day, seorang penerbit surat kabar di New York, bernama New York Sun. Nah, yang menjadi loper koran pertama, namanya Barney Flaherty.

Di Indonesia? Tidak ada yang mencatatnya. Meski di sini ada Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), tapi institusi itu tidak mencatat, sebagaimana Amerika Serikat melakukannya. Bahkan, saya belum pernah membaca, beralih ke mana ribuan agen koran dan puluhan ribu loper, setelah media cetak memasuki senjakala? Padahal, di masa jayanya, kontribusi loper terhadap gerakan ekonomi rakyat, tidaklah kecil.

Padahal lagi, itu merupakan jejak penting bagi bangsa ini, dalam konteks tenaga kerja dan literasi. Kita memang sering abai, mengabaikan mereka yang bekerja secara non-formal, meski secara kontribusi ekonomi cukup besar. Dari penelusuran saya, sebagian agen koran, move on menjadi agen pulsa. Itu pun tidak bertahan lama. Ketika pulsa bisa dibeli secara daring, para agen pulsa itu pun berguguran.

Loper, ke mana mereka? Tak ada satu institusi pun di negeri ini, yang mencatat mereka. Kecuali, para penerbit media yang terhubung dengan loper, melalui agen media. Bagaimana nasib agen koran dan nasib loper koran, dalam konteks ketersediaan lapangan kerja, seingat saya tidak pernah dibahas para pemangku kepentingan. Padahal, jumlah mereka ribuan, bahkan puluhan ribu.

Di hari-hari Peringatan Proklamasi Kemerdekaan ini, saya ingat Bung Karno. Ingat pidatonya yang sangat terkenal Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah. Itu pidato Bung Karno yang terakhir, pada Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus 1966. 

Dan, loper adalah bagian dari sejarah ekonomi rakyat, meski belum sepenuhnya lenyap. Bukan hanya dalam konteks ekonomi, tapi yang jauh lebih penting adalah konteks literasi.

Literasi? Tingkat literasi warga kita sangat rendah: peringkat 62 dari 70 negara yang diteliti. Itu berdasarkan penelitian Program for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2015. 

Kemudian, tahun 2016, tingkat literasi kita: peringkat ke-60 dari 61 negara di dunia. Itu berdasarkan penelitian organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO). Hasil studi tersebut dipublikasikan dengan nama The World's Most Literate Nations.

isson khairul --dailyquest.data@gmail.com

Jakarta, 18 Agustus 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun