Dari penelusuran saya, ada satu foto di acara santap siang itu, yang hampir mirip dengan foto Bung Karno dan Bung Hatta di atas. Jokowi-JK sama-sama menghadap meja hidangan. Bedanya, Bung Hatta di sebelah kanan Bung Karno. Sementara, JK posisinya di sebelah kiri Jokowi. Joko Widodo memegang piring dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya hendak mengambil lauk.
Tapi, bukan dari piring Jusuf Kalla. Karena, JK tidak memegang piring. Raut wajah keduanya nampak normal saja. Tidak tersenyum, juga tidak tertawa. Bibir kedua tokoh itu nampak terkatup, artinya tidak sedang bercakap-cakap. Beda dengan Bung Karno yang posisi bibirnya nampak mengucapkan sesuatu dan Bung Hatta tersenyum.
Dari foto Bung Karno dan Bung Hatta serta foto Jokowi-JK di atas, meski sama-sama berada di momen makan, tingkat keintiman mereka berbeda levelnya. Ini menurut pencermatan saya. Bung Karno dan Bung Hatta mengekspresikan keintiman mereka, secara perilaku maupun secara bahasa tubuh. Sebaliknya, ekspresi Jokowi-JK ya datar-datar saja. Nyaris tanpa ekspresi.
Menatap kedua foto di atas, tiap orang tentu punya penafsiran masing-masing. Kesan saya, Jusuf Kalla lebih memposisikan diri sebagai tuan rumah, yang menemani Joko Widodo memilih makanan yang sudah terhidang. Wujud kesantunan tuan rumah ini merupakan perwujudan dari rasa hormat terhadap tamu. Dalam hal ini, Joko Widodo memang tamu yang berkunjung ke kediaman pribadi Jusuf Kalla.
Tonggak Literasi Bangsa
Sejumlah momen politik menandai hubungan Bung Karno dan Bung Hatta. Kita tahu, pada 1 Desember 1956, Bung Hatta mengajukan surat pengunduran diri sebagai Wakil Presiden. Kemudian, pada 5 Februari 1957, Bung Karno mengeluarkan Surat Keputusan No. 13/1957, yang intinya memberhentikan Bung Hatta sebagai Wakil Presiden.
Peristiwa politik tersebut merupakan peristiwa besar untuk ukuran sebuah negara yang baru merdeka seperti Indonesia. Namun, sikap kedua tokoh tersebut dalam menyikapi berbagai perbedaan, tak membuat republik ini terbelah. Sekali lagi, bagi saya, hubungan Bung Karno dan Bung Hatta itu adalah kekayaan Indonesia. Kekayaan pikiran, sekaligus kekayaan batin.
Hingga hari ini Sabtu (17/08/2019), publik luas leluasa mencermati kekayaan pikiran kedua tokoh bangsa tersebut. Karena, keduanya rajin menuliskan pikiran-pikiran mereka. Baik di media massa, maupun dalam wujud buku. Semua itu adalah warisan kekayaan yang sangat bernilai. Membaca tulisan mereka adalah salah satu jalan bagi kita untuk lebih memahami bangsa ini.
Dalam konteks tersebut, Bung Karno dan Bung Hatta adalah role model penting untuk kita jadikan acuan di tiap gerakan literasi yang kita lakukan. Bagaimana Bung Karno dan Bung Hatta membaca? Bagaimana mereka menulis? Saya pikir, kedua hal tersebut perlu dieksplorasi sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Kedua tokoh tersebut adalah tonggak literasi bangsa.
Mereka sudah melakukannya, sudah mencontohkannya, jauh sebelum Indonesia merdeka. Di masa perjuangan kemerdekaan, aktivitas membaca dan menulis tak pernah lepas dari keseharian Bung Karno dan Bung Hatta. Begitu juga setelah kemerdekaan. Menurut saya, sangat banyak gagasan bernas mereka tentang bangsa, yang belum sepenuhnya kita eksplorasi.
Maka, hari ini Sabtu (17/08/2019), bertepatan dengan HUT RI ke-74, mari kita luangkan waktu untuk mengeksplorasi gagasan kebangsaan kedua tokoh tersebut. Kemudian menuliskannya untuk publik. Dengan cara itu, setidaknya kita telah turut menebarkan warisan Bung Karno dan Bung Hatta, sebagai bagian dari upaya untuk mempertebal rasa berbangsa. Â Â Â Â Â Â