Hubungan Bung Karno dan Bung Hatta adalah kekayaan Indonesia. Dinamika hubungan mereka mestinya menjadi inspirasi anak bangsa. Mereka kerap berbeda pendapat, tapi tetap satu semangat untuk membangun republik ini.
Intim, Bukan Hanya Akrab
Foto yang saya tampilkan dalam tulisan ini, saya repro dari Majalah TEMPO edisi 10 Juni 2001, halaman 76-77. Saya memang menyimpan majalah ini secara fisik. Pertama, karena ini adalah Edisi Khusus untuk menyambut hari kelahiran Bung Karno, yang lahir di Surabaya, 6 Juni 1901. Kedua, karena edisi ini banyak sekali menampilkan foto yang menggambarkan minat serta keseharian Bung Karno. Foto-foto tersebut menambah pemahaman saya tentang sosok sang Proklamator.
Foto di atas, misalnya. Itu foto yang dijepret pada 25 November 1957, dalam suatu jamuan makan. Nampak piring di tangan kiri Bung Karno masih kosong dan piring Bung Hatta sudah berisi nasi dan lauk. Dengan santai, Bung Karno meraih lauk dari piring Bung Hatta, dengan tangan kanannya. Bung Hatta tersenyum. Bung Karno seperti sedang mengucapkan sesuatu.
Foto koleksi Ipphos tersebut juga menangkap ekspresi beberapa orang yang berada di sekitar Bung Karno dan Bung Hatta. Ada seorang pria berpeci hitam yang menyaksikan peristiwa berbagi lauk itu dengan penuh konsentrasi. Matanya tertuju ke arah piring Bung Hatta. Ada juga beberapa pria di belakang Bung Karno dan Bung Hatta, yang tertegun menyaksikan berbagi lauk itu.
Saya tidak punya data, di mana peristiwa berbagi lauk itu terjadi. Gambar menunjukkan, ada sebuah jendela kayu dengan tirai putih yang dikuakkan. Juga, ada pintu kayu yang terbuka. Saya pikir, ini di rumah warga, karena yang tampak dalam gambar adalah sejumlah warga dengan pakaian sehari-hari, berada di sekitar kedua tokoh tersebut.
Berbagi lauk sembari memegang piring makan, tentulah sesuatu yang tak lazim, untuk ukuran Presiden dan Wakil Presiden. Apalagi itu dilakukan di rumah warga, disaksikan pula oleh sejumlah warga. Bagi saya, ini simbol kerukunan bangsa. Bung Karno dan Bung Hatta bukan hanya akrab, tapi intim. Keintiman kedua tokoh itu tentulah menumbuhkan ketenangan di hati rakyat secara luas.
Perilaku yang demikian, lebih dari sekadar kesantunan politik. Spirit keintiman yang demikian, tidak tampak pada Presiden dan Wakil Presiden, setelah Bung Karno dan Bung Hatta. Yang tampil di ruang publik hanyalah keakraban secara seremoni. Hanya karena kebutuhan formal, hanya karena tuntutan protokoler untuk tampil bersama. Ruh keintiman sama sekali tidak tercermin.
Deteksi Tanda Intim
Membandingkan hubungan Bung Karno dan Bung Hatta dengan hubungan Presiden dan Wakil Presiden setelah mereka, memang tidak sepenuhnya tepat. Suasana bangsa serta kondisi politik di era perjuangan kemerdekaan dengan setelah Indonesia merdeka, tentulah jauh berbeda. Meski demikian, jika memang keintiman Presiden dan Wakil Presiden itu memang ada, tentulah warga bisa mendeteksi tanda-tandanya.
Salah satu contohnya, hubungan Presiden Joko Widodo dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada Sabtu (22/12/2018), Joko Widodo dan Jusuf Kalla bersantap siang di kediaman pribadi Jusuf Kalla, di Jalan Haji Bau, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Itu untuk pertama kalinya Joko Widodo bertemu dengan Jusuf Kalla di kediaman pribadi. Media wartakota.tribunnews.com melansir content dengan judul yang rada bikin kaget Hampir Lima Tahun Berduet, Ternyata Jokowi Baru Sekali Sambangi Rumah Jusuf Kalla di Makassar pada Sabtu (22/12/2018) pukul 22:06.
Dari penelusuran saya, ada satu foto di acara santap siang itu, yang hampir mirip dengan foto Bung Karno dan Bung Hatta di atas. Jokowi-JK sama-sama menghadap meja hidangan. Bedanya, Bung Hatta di sebelah kanan Bung Karno. Sementara, JK posisinya di sebelah kiri Jokowi. Joko Widodo memegang piring dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya hendak mengambil lauk.
Tapi, bukan dari piring Jusuf Kalla. Karena, JK tidak memegang piring. Raut wajah keduanya nampak normal saja. Tidak tersenyum, juga tidak tertawa. Bibir kedua tokoh itu nampak terkatup, artinya tidak sedang bercakap-cakap. Beda dengan Bung Karno yang posisi bibirnya nampak mengucapkan sesuatu dan Bung Hatta tersenyum.
Dari foto Bung Karno dan Bung Hatta serta foto Jokowi-JK di atas, meski sama-sama berada di momen makan, tingkat keintiman mereka berbeda levelnya. Ini menurut pencermatan saya. Bung Karno dan Bung Hatta mengekspresikan keintiman mereka, secara perilaku maupun secara bahasa tubuh. Sebaliknya, ekspresi Jokowi-JK ya datar-datar saja. Nyaris tanpa ekspresi.
Menatap kedua foto di atas, tiap orang tentu punya penafsiran masing-masing. Kesan saya, Jusuf Kalla lebih memposisikan diri sebagai tuan rumah, yang menemani Joko Widodo memilih makanan yang sudah terhidang. Wujud kesantunan tuan rumah ini merupakan perwujudan dari rasa hormat terhadap tamu. Dalam hal ini, Joko Widodo memang tamu yang berkunjung ke kediaman pribadi Jusuf Kalla.
Tonggak Literasi Bangsa
Sejumlah momen politik menandai hubungan Bung Karno dan Bung Hatta. Kita tahu, pada 1 Desember 1956, Bung Hatta mengajukan surat pengunduran diri sebagai Wakil Presiden. Kemudian, pada 5 Februari 1957, Bung Karno mengeluarkan Surat Keputusan No. 13/1957, yang intinya memberhentikan Bung Hatta sebagai Wakil Presiden.
Peristiwa politik tersebut merupakan peristiwa besar untuk ukuran sebuah negara yang baru merdeka seperti Indonesia. Namun, sikap kedua tokoh tersebut dalam menyikapi berbagai perbedaan, tak membuat republik ini terbelah. Sekali lagi, bagi saya, hubungan Bung Karno dan Bung Hatta itu adalah kekayaan Indonesia. Kekayaan pikiran, sekaligus kekayaan batin.
Hingga hari ini Sabtu (17/08/2019), publik luas leluasa mencermati kekayaan pikiran kedua tokoh bangsa tersebut. Karena, keduanya rajin menuliskan pikiran-pikiran mereka. Baik di media massa, maupun dalam wujud buku. Semua itu adalah warisan kekayaan yang sangat bernilai. Membaca tulisan mereka adalah salah satu jalan bagi kita untuk lebih memahami bangsa ini.
Dalam konteks tersebut, Bung Karno dan Bung Hatta adalah role model penting untuk kita jadikan acuan di tiap gerakan literasi yang kita lakukan. Bagaimana Bung Karno dan Bung Hatta membaca? Bagaimana mereka menulis? Saya pikir, kedua hal tersebut perlu dieksplorasi sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Kedua tokoh tersebut adalah tonggak literasi bangsa.
Mereka sudah melakukannya, sudah mencontohkannya, jauh sebelum Indonesia merdeka. Di masa perjuangan kemerdekaan, aktivitas membaca dan menulis tak pernah lepas dari keseharian Bung Karno dan Bung Hatta. Begitu juga setelah kemerdekaan. Menurut saya, sangat banyak gagasan bernas mereka tentang bangsa, yang belum sepenuhnya kita eksplorasi.
Maka, hari ini Sabtu (17/08/2019), bertepatan dengan HUT RI ke-74, mari kita luangkan waktu untuk mengeksplorasi gagasan kebangsaan kedua tokoh tersebut. Kemudian menuliskannya untuk publik. Dengan cara itu, setidaknya kita telah turut menebarkan warisan Bung Karno dan Bung Hatta, sebagai bagian dari upaya untuk mempertebal rasa berbangsa. Â Â Â Â Â Â
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 17 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H