Tahun 2019 ini, 52.000 guru bakal pensiun. Mendikbud Muhadjir Effendy belum bisa memastikan, apakah pemerintah bisa merekrut guru PNS sebanyak itu pada tahun ini. Bagaimana tata kelola SDM pendidikan kita?
Belum Bisa Memastikan
Jumlah guru yang bakal pensiun tahun ini, sudah diketahui. Itu bagus. Artinya, manajemen data guru di Kemendikbud, sudah berfungsi. Data guru sudah dikelola sesuai dengan tujuannya. Sayangnya, tata kelola data guru tersebut tidak dibarengi dengan perencanaan, dalam konteks merespons data tersebut. Buktinya, Mendikbud Muhadjir Effendy belum bisa memastikan, apakah pemerintah bisa merekrut guru PNS sebanyak itu pada tahun ini.
Kalimat belum bisa memastikan, menunjukkan bahwa Kemendikbud belum memiliki perencanaan. Belum punya action plan untuk menghadapi kondisi guru kosong, ketika 52.000 guru tersebut pensiun. Pada Rabu (14/08/2019), Mendikbud Muhadjir Effendy berada di Istana Presiden, Jakarta Pusat. Katanya, Kemendikbud meminta guru-guru yang sudah pensiun untuk memperpanjang masa pengabdian mereka.
Sampai kapan? Belum jelas batas tanggal-bulan-tahunnya. Muhadjir Effendy hanya menyebut, sambil menunggu diangkatnya guru pengganti melalui rekrutmen ASN. Dengan demikian, ada dua fakta yang patut kita cermati. Pertama, belum bisa memastikan, apakah pemerintah bisa merekrut guru PNS sebanyak itu pada tahun ini. Kedua, sambil menunggu diangkatnya guru pengganti melalui rekrutmen ASN.
Jadi, tidak ada acuan waktu yang pasti. Tidak ada perencanaan yang matang. Kedua fakta tersebut menjadi bukti, betapa parahnya pengelolaan SDM pendidikan kita secara nasional. Pantaskah kita berharap kualitas pendidikan akan meningkat? Menurut saya, tidak. Karena, tata kelola guru yang buruk di Kemendikbud, dapat dipastikan berimbas lebih buruk terhadap murid di kelas.
Oh, ya, secara teknis, bagaimana cara Kemendikbud meminta guru-guru yang sudah pensiun untuk memperpanjang masa pengabdian mereka? Dari penelusuran yang saya lakukan, saya tidak menemukan petunjuk teknis. Apakah guru yang sudah pensiun, disurati? Siapa yang menyurati? Sudah berapa banyak guru pensiun yang sudah disurati? Ada berapa banyak guru pensiun yang bersedia memperpanjang masa pengabdian mereka?
Saya tidak menemukan satu pun jawaban atas pertanyaan tersebut di media. Padahal, semua jawaban itu adalah informasi publik, yang kalau ada, mestinya dilansir oleh media. Realitas ini tentulah mencemaskan, dalam konteks tata kelola SDM pendidikan kita secara nasional. Bulan Agustus sudah setengah jalan. Artinya, tahun 2019 hanya tersisa 4,5 bulan lagi.
Tawaran Bukan Peraturan
Ada satu penanda yang bisa dijadikan petunjuk. Pada Selasa (07/08/2019) Mendikbud Muhadjir Effendy menyebut, ia tengah mempersiapkan sebuah peraturan tentang pensiunan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang akan diperbantukan sebagai tenaga honorer. Mereka akan diminta sebagai tenaga honorer, sampai ASN yang baru tersedia. Itu diungkapkan Muhadjir Effendy di Konvensi Nasional I Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) di Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur.
Detail peraturan yang akan dibuat itu, belum diungkapkan ke publik. Meski demikian, mari kita cermati. Usia pensiun guru 60 tahun. Itu diatur oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Artinya, guru berhak pensiun di batas usia tersebut. Nah, peraturan setingkat apa yang akan dibuat oleh Mendikbud Muhadjir Effendy? Dapat dipastikan, level dan kekuatan hukumnya berada di bawah undang-undang.
Dengan demikian, para guru pensiun bisa mengabaikan peraturan yang akan dibuat itu. Mereka berhak pensiun, sesuai undang-undang. Maka, boleh jadi yang akan dibuat Mendikbud Muhadjir Effendy bukan peraturan, tapi penawaran. Tawaran kepada guru pensiun untuk memperpanjang masa pengabdian. Maka, guru pensiun bisa menerima tawaran tersebut, bisa pula menolak.
Retno Listyarti, Ketua Dewan Pengawas Federasi Serikat Guru Indonesia (FGSI) menilai, apa yang dikemukakan Mendikbud Muhadjir Effendy, bukan sebagai sebuah permintaan, melainkan penawaran yang wajar. "Menurut saya, pemerintah menawarkan bukan mengharuskan, dan itu wajar saja," ujar Retno Listyarti kepada Kompas.com, pada Rabu (14/08/2019) siang.
Di kalangan guru sudah beredar isu, bahwa guru yang masa baktinya diperpanjang, rencananya akan dibayar seperti tenaga honorer, tanpa menerima tunjangan sertifikasi. Kalau uang pensiun ya pasti mereka terima setiap bulan. Itu kan memang sudah hak mereka, sesuai undang-undang. Memperpanjang pengabdian atau tidak, tidak berpengaruh pada uang pensiun.
Dengan lugas, Retno Listyarti berkata, mungkin tidak ada guru pensiun yang bersedia. Kecuali, kalau honornya setara tunjangan sertifikasi, satu kali gaji pokok. Selaku Ketua Dewan Pengawas Federasi Serikat Guru Indonesia (FGSI), Retno Listyarti paham tentang faktor psikis yang melingkupi guru pensiun. Menurut Retno Listyarti, mereka umumnya ingin menikmati kebersamaan dengan cucu-cucunya dan tidak mau dikejar-kejar administrasi mengajar yang rumit dan berat.
Problema Tata Kelola GuruÂ
Sampai di sini saya melihat, belum ada solusi yang pasti untuk mengatasi 52.000 guru yang bakal pensiun pada tahun 2019 ini. Padahal, tahun 2019 hanya tersisa 4,5 bulan lagi. Proses belajar-mengajar tentu akan terganggu, jika tidak segera dicarikan solusinya. Menurut saya, itu menjadi salah satu indikator yang menunjukkan, betapa bertumpuknya permasalahan dalam hal tata kelola guru di negeri ini.
Kita tahu, saat ini jenjang pendidikan SD-SMP dikelola oleh Kabupaten dan Kotamadya. Sementara, jenjang SMA-SMK dikelola oleh Provinsi. Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB-PGRI) Unifah Rosyidi, mengusulkan sentralisasi tata kelola guru. Maksudnya, ditangani pemerintah pusat sepenuhnya.
Kenapa? Unifah Rosyidi menilai, kapasitas pemerintah daerah (pemda) dalam mengelola pendidikan, amat bervariasi. Ada pemda yang cakap, kurang cakap, dan tidak cakap. Karena itu, Unifah Rosyidi meminta pembagian kewenangan mengelola sekolah berdasarkan jenjang pendidikan tersebut, dikaji ulang. Kebijakan itu, katanya, membuat Pemprov tidak peduli dan tidak merasa bertanggung jawab atas pendidikan dasar di wilayahnya. Sebaliknya, Pemkab/Pemkot merasa tidak memiliki urusan dengan siswa sekolah menengah.
Akibatnya, tata kelola guru cenderung kurang efisien. Ini berdampak pada kualitas guru. Padahal, kualitas guru menjadi salah satu faktor utama yang harus diperhatikan, untuk menjamin sistem pendidikan yang bermutu dan berdaya saing. Unifah Rosyidi bukan sekadar beropini. Hal itu ia kemukakan dalam orasi ilmiahnya sebagai syarat pengukuhan Guru Besar bidang Manajemen Ilmu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, di kampus Universitas Negeri Jakarta, pada Senin (24/06/2019).
Kondisi tata kelola guru yang diungkapkan Unifah Rosyidi di atas, tentulah membuat kita miris. Tidak mengherankan, jika belum ada solusi yang pasti untuk mengatasi 52.000 guru yang bakal pensiun pada tahun 2019 ini. Sebenarnya, Provinsi, Kabupaten, dan Kotamadya tidak sendirian mengelola guru. Ada sejumlah lembaga non-pemerintah, yang juga turut andil. Kontribusi mereka terhadap tata kelola guru, tidaklah kecil.
USAID Prioritas, misalnya. Sejak tahun 2013, lembaga non-pemerintah ini aktif mendampingi kabupaten/kota dalam penerapan program tata kelola guru. Di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, misalnya, USAID Prioritas mengembangkan pembelajaran kelas rangkap untuk sekolah kecil, yang tidak dapat digabung. Di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, dan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, lembaga ini memilih menggabungkan ratusan SD negeri untuk efisiensi, efektivitas, dan demi memenuhi kebutuhan guru kelas.
Itu hanya beberapa contoh. Kita bisa mencermati berbagai inovasi tata kelola guru lainnya, yang sudah dihimpun USAID Prioritas dalam buku Praktik yang Baik Tata Kelola Guru. Buku berbahasa Indonesia tersebut, dapat diunduh melalui link berikut: prioritaspendidikan.org.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 15 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H