Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gitu Doang Kok. Gampang, Kan? Please, Deh!

14 Agustus 2019   20:07 Diperbarui: 14 Agustus 2019   20:13 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ini cuitan Widha Karina yang menggelitik saya. Kompleksitas pekerjaan orang lain, tentulah tidak sepenuhnya kita pahami. Maka, kita harus pertimbangkan banyak hal, sebelum berkata: gitu doang kok, gampang kan? Foto: dicapture dari laman twitter.com

Tanpa sadar, kita kerap meremehkan orang lain. Kita takar orang lain dengan ukuran kita, meski seringkali meleset. Padahal, banyak orang hebat di sekitar kita, yang mampu mengendalikan diri dengan tidak meremehkan kita.

Mengerti Setelah Stroke

Rabu (14/08/2019) sore, saya membaca cuitan b. e. widha karina @bewidha di twitter. Begini cuitan itu: karena perlu diingat bahwa tidak semua orang dianugerahi kemampuan memproyeksikan kompleksitas pekerjaan orang lain. Widha Karina mencuitkannya pada Selasa (13/08/2019) pukul 10.20 post meridiem (PM). Hmmm memproyeksikan kompleksitas pekerjaan orang lain?   

Pikiran saya langsung melayang ke Putu Wijaya, tokoh teater yang saya kagumi. Seniman yang kini berusia 74 tahun itu, dapat serangan stroke pada tahun 2012. Ia sakit. Tapi, itu tak membuatnya berhenti berkarya. Setelah stroke, Putu Wijaya lebih banyak melukis, dibanding menulis dan mementaskan karya di panggung teater.

Aktivitas melukis memang sudah cukup lama ia tinggalkan, karena keasyikan menulis cerita pendek, novel, lakon, dan esai. Juga, karena keasyikan menjadi sutradara sekaligus pemain di pentas teater. Ia mendirikan Teater Mandiri pada tahun 1971. Pada Jumat hingga Minggu (01-03/03/2019) lalu, Putu Wijaya menggelar pameran seni rupa dan arsip di Gedung Pusat Pengembangan Kebudayaan (PPK) Jalan Naripan, Kota Bandung, Jawa Barat.

Di kesempatan tersebut, Putu Wijaya bertutur: setelah saya sakit, sesuatu yang dulu mudah, sekarang sulit. Akan tetapi, sesuatu yang dulu biasa, tiba-tiba menjadi indah. Sakit seakan mengajarkan saya untuk lebih mengetahui, apa yang sebelumnya tidak pernah saya ketahui.

Penuturan Putu Wijaya itulah yang saya pikir berkorelasi dengan cuitan Widha Karina. Jangankan untuk memproyeksikan kompleksitas pekerjaan orang lain, bahkan untuk mengerti tentang diri sendiri pun, bukan hal yang mudah. Putu Wijaya, misalnya, baru setelah dapat serangan stroke, jadi tahu apa yang dulu mudah, sekarang sulit. Yang dulu biasa, sekarang indah.

Artinya, ada faktor tertentu, yang membuat seseorang mengerti sesuatu. Ini sebenarnya merupakan sinyal pengingat bagi kita, agar tak serampangan menuding orang lain. Juga, agar tak seenaknya meremehkan kemampuan orang lain. Karena, ketika kita menilai orang lain, tentulah ada faktor tertentu di diri orang tersebut, yang tak sepenuhnya kita mengerti.

Inilah sebatang pohon di Stasiun Gang Sentiong, Jakarta Pusat. Ada beberapa sangkar burung serta kicauan burung-burung di sana. Meski gampang tapi sang pohon tidak ditebang. Pohon dan pagar saling berkolaborasi menjaga keamanan stasiun. Berdampingan tapi tidak saling meremehkan. Foto: isson khairul
Inilah sebatang pohon di Stasiun Gang Sentiong, Jakarta Pusat. Ada beberapa sangkar burung serta kicauan burung-burung di sana. Meski gampang tapi sang pohon tidak ditebang. Pohon dan pagar saling berkolaborasi menjaga keamanan stasiun. Berdampingan tapi tidak saling meremehkan. Foto: isson khairul
Mengerti, Mau Mengerti        

Suatu hari, saya turun di Stasiun Gang Sentiong, salah satu stasiun yang disinggahi kereta Cummuter Line. Ini adalah stasiun kecil yang peronnya tak cukup panjang untuk menampung rangkaian 12 kereta. Lokasinya di perbatasan antara Kecamatan Senen dan Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat. Di ujung jalur 1 arah selatan, ada sebatang pohon yang condong ke arah stasiun.

Ketika pagar stasiun dibangun, pohon itu tidak ditebang. Sang pagar yang mengalah, hingga pohon dan pagar saling berkolaborasi menjaga keamanan stasiun. Di bawah pohon yang cukup rindang itu, di bagian luar stasiun, ada bangku kayu kecil untuk tempat duduk. Warga di sana kemudian menggantungkan beberapa sangkar burung di pohon itu.

Maka, ketika duduk di bangku kayu tersebut, kita akan dihibur oleh kicauan burung-burung. Alangkah bermanfaat sang pohon bagi publik. Padahal, kalau mau, pohon itu bisa ditebang saja. Seperti petikan di cuitan Widha Karina: "Gitu doang kok. Gampang kan?" Ya, memang gampang menebang pohon itu. Tapi, petugas stasiun tak mau menggampangkan sang pohon. Tak meremehkan keberadaan sang pohon.

Petugas stasiun nampaknya mengerti bahwa pohon itu dibutuhkan. Setidaknya, oleh warga sekitar, sekadar tempat untuk berlindung dari terik matahari. Meski hanya sebatang, keberadaan pohon itu sama sekali tidak dipandang remeh. Tidak dengan gampang ditebang. Ini menjadi penanda bagi kita, bahwa untuk bisa mengerti sesuatu, ya cobalah pertimbangkan dari sisi orang lain.

Tentu kurang elok, kalau semua kita ukur dengan ukuran yang kita punya. Karena dalam kenyataannya, ukuran baju kita saja belum tentu cocok untuk orang lain. Sebaliknya pun demikian. Berbeda ukuran, berbeda takaran, juga berbeda sudut pandang, bukan otomatis kita lebih hero dari yang lain. Bukan dengan serta-merta kita bisa leluasa berkata: "Gitu doang kok. Gampang kan?"

isson khairul --dailyquest.data@gmail.com

Jakarta, 14 Agustus 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun