Di tahun 2019 yang tengah berjalan ini, PLN mencatat laba sebesar Rp 4,2 triliun. Tahun 2018 lalu, PLN mencatat laba sebesar Rp 11,6 triliun. Nilai ganti rugi untuk kompensasi hanya sebesar Rp 839,88 miliar. Kenapa gaji karyawan PLN harus dipotong?
Kompensasi dan Gaji di PLN
Rabu (07/08/2019) ini, akun instagram resmi Perusahaan Listrik Negara (PLN) melansir tentang kompensasi. Intinya, PLN akan memberikan kompensasi sebagai wujud permintaan maaf.Â
Acuannya, Peraturan Menteri ESDM No. 27 tahun 2017. Ini akibat listrik padam pada Minggu (04/08/2019), yang berlanjut padam pada Senin (05/08/2019) lalu.
Lansiran akun Instagram PLN UID Jakarta Raya @pln_disjaya tersebut, tentu saja menimbulkan kontroversi. Karena, Peraturan Menteri ESDM No. 27 tahun 2017 di atas, tidak mengatur tentang pemotongan gaji karyawan, karena listrik padam. Yang diatur, antara lain, mekanisme kompensasi serta model penghitungan berdasarkan durasi waktu listrik padam.
Pada Rabu (05/12/2018), Ketua Umum Serikat Pekerja PLN, Jumadis Abda, menyebut, PLN memiliki 50.000 karyawan di seluruh Indonesia. Dan, 35.000 di antaranya, tergabung dalam serikat pekerja. Sejauh ini, saya belum tahu, apa reaksi puluhan ribu karyawan PLN terhadap rencana potong gaji tersebut.
Selain itu, ada sederet tunjangan yang bisa diraih karyawan. Dari penelusuran saya, rata-rata fresh graduate di PLN menerima gaji sebesar Rp 6-7 juta per bulan. Staf administrasi menerima gaji rata-rata Rp 7-10 juta per bulan.
Ada 16 grade untuk jenjang penggajian di PLN. Karyawan yang sudah masuk grade tertinggi yaitu grade 16, menerima gaji rata-rata sebesar Rp 39.000.000,- per bulan. Itu belum termasuk berbagai tunjangan.Â
Pada Selasa (06/08/2019), Direktur Pengadaan Strategis II PLN, Djoko Rahardjo Abumanan, menyebut, tunjangan atau insentif kesejahteraan, tergantung pada kinerja pegawai yang bersangkutan.
Detail tentang mekanisme potong gaji tersebut, memang belum diungkapkan PLN kepada publik. Saya pikir, kalaupun potongan itu benar dieksekusi, sepertinya tidak akan menyentuh gaji pokok karyawan. Boleh jadi, PLN hanya akan meniadakan tunjangan tertentu kepada karyawan, dalam kurun waktu tertentu.
Kinerja PLN Turun
Ada yang menggelitik pikiran saya, mendengar penjelasan Djoko Rahardjo Abumanan di kawasan DPR/MPR RI, pada Selasa (06/08/2019) itu. Ia menyebut, besaran nilai ganti rugi kepada pelanggan, berpotensi negatif terhadap keuangan PLN.Â
Karena itulah pemotongan gaji karyawan dilakukan. Bagian dari cara penghematan. Padahal, nilai ganti rugi untuk kompensasi hanya sebesar Rp 839,88 miliar. Tidak sampai Rp 1 triliun.
Bukankah di tahun 2019 yang tengah berjalan ini, PLN mencatat laba sebesar Rp 4,2 triliun? Bukankah tahun 2018 lalu, PLN mencatat laba sebesar Rp 11,6 triliun? Mari kita cermati. Kini sudah memasuki bulan Agustus, berarti tinggal 5 bulan lagi untuk tutup tahun. Sementara, laba yang tercatat baru Rp 4,2 triliun.
Artinya, untuk menyamai laba tahun 2018 lalu, PLN harus mencetak laba sekitar Rp 7 triliun, dalam 5 bulan ke depan. Mungkinkah itu tercapai? Mari kita lihat data awal tahun.Â
Pada semester I/2019, konsumsi listrik industri besar pada tegangan tinggi dengan daya 30.000 kVA (golongan I-4), menurun sebesar 4,58 persen. Ini bila dibandingkan dengan konsumsi listrik pada semester I/2018.
Penurunan itu singkron dengan laba saat ini, yang baru Rp 4,2 triliun, tidak sampai separuh laba tahun 2018. Padahal, ini sudah lewat pertengahan tahun. Maka, dengan hitungan per semester, sesungguhnya kinerja keuangan PLN, menurun. Masih berlaba tapi jumlah laba menurun, dibanding semester tahun 2018. Secara bisnis, penurunan laba adalah sinyal awal untuk melakukan evaluasi.
Tujuannya, agar di sisa waktu menjelang tutup tahun, dilakukan gerakan signifikan untuk meraih lompatan yang juga signifikan. Setidaknya, mampu menyamai jumlah laba tahun lalu. Meski, kita tahu, menyamai laba bukanlah suatu prestasi bisnis.Â
Grafik keuangan akan berada di posisi stagnan. Atas kondisi tersebut, kesimpulan yang muncul adalah manajemen gagal meningkatkan laba perusahaan. Memang tidak merugi, tapi laba tidak tumbuh.
Jika laba PLN tidak meningkat di akhir tahun 2019, tentu sangat menggelikan. Kenapa? Karena, PLN kan perusahaan monopoli. Hanya PLN yang memonopoli perlistrikan di Indonesia.Â
Dengan demikian, antisipasi penurunan laba, bisa dilakukan dengan leluasa, jauh-jauh sebelumnya. Termasuk, strategi peningkatan laba. Itulah salah satu keuntungan perusahaan monopoli.
Sayang Minim AntisipasiÂ
Nampaknya, antisipasi bukan hal utama di PLN. Pernyataan Presiden Joko Widodo ketika mendatangi kantor pusat PT PLN pada Senin (05/08/2019), semakin menegaskan minimnya antisipasi di perusahaan setrum tersebut.Â
Begini lengkapnya: "Pertanyaan saya, Bapak, Ibu, semuanya kan orang pintar-pintar, apalagi urusan listrik dan sudah bertahun-tahun. Apakah tidak dihitung, apakah tidak dikalkukasi kalau akan ada kejadian-kejadian sehingga kita tahu sebelumnya. Kok tahu-tahu drop," ujar Presiden Joko Widodo saat itu.
Secara blak-blakkan, Joko Widodo mempertanyakan kemampuan PLN dalam mengantisipasi. Teknologi sudah demikian canggih. Tahun 2018 ada laba sebesar Rp 11,6 triliun.Â
Saya bergumam dalam hati, kenapa sebagian laba itu tidak digunakan untuk membeli teknologi? Tujuannya untuk mendeteksi segala kemungkinan, agar listrik tidak padam tiba-tiba.
Seperti pertanyaan Presiden Joko Widodo: apakah tidak dihitung, apakah tidak dikalkukasi, kok tahu-tahu drop. Ini semakin meyakinkan kita bahwa antisipasi bukan hal utama di PLN. Contoh lain, tentang turunnya konsumsi listrik industri besar sekitar 4,58 persen di semester I/2019.
Padahal, pada Rabu (30/01/2019), Direktur Pengadaan Strategis PLN, Supangkat Iwan Santoso, menyebut, untuk mengejar target penjualan listrik tahun 2019, PLN akan mengandalkan sektor industri sebagai pengguna listrik terbesar. Lha, apakah tidak diteliti terlebih dahulu, situasi dan kondisi yang tengah dihadapi industri? Apakah tidak diantisipasi sebelum menetapkan target?
Sampai di sini, saya kembali bergumam, dengan turunnya konsumsi listrik di industri besar, apa mungkin laba PLN bisa digenjot Rp 7 triliun, dalam 5 bulan ke depan? Saya pikir, itu sangat tidak mudah.Â
Kenapa? Pertama, konsumsi listrik industri besar, berpengaruh signifikan terhadap konsumsi listrik secara nasional. Artinya, penurunan konsumsi listrik tersebut, signifikan pula menurunkan laba PLN.
Kedua, trend yang kini berkembang di sektor industri adalah mengoptimalkan pembangkitnya sendiri, karena dinilai lebih murah dibanding tarif listrik PLN.Â
Dalam konteks bisnis, hal tersebut dikenal sebagai efisiensi. Dan, industri yang sehat, selalu mengedepankan efisiensi. Mengutamakan efisiensi. Saya pikir, kondisi ini tidak diantisipasi oleh PLN. Karena, PLN kan memang minim antisipasi.
Isson khairul -dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 07 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H