Dalam konteks peringatan Hari Anak Nasional pada Selasa (23/07/2019) kemarin, nyaris tidak terdengar suara tentang, bagaimana cara meningkatkan industri mainan anak dalam negeri, agar anak-anak bangsa tidak didominasi oleh mainan impor. Ingat, produsen dalam negeri baru mampu mengisi 30 persen pasar lokal. Nampaknya, kedodoran tersebut belum menjadi perhatian dari para pemangku kepentingan.
Padahal, kita tahu, mainan anak cukup berpengaruh pada perkembangan anak. Baik perkembangan fisik, psikis, maupun perkembangan otaknya. Keberadaan produk mainan impor, tentulah tidak sepenuhnya mampu dikontrol aparat berwenang. Dampak negatif dari mainan impor tersebut, memang tidak bisa kita lihat seketika. Tapi, secara jangka panjang, akan terlihat.
Secara ekonomi, 70 persen mainan impor, yang 60 persennya berupa produk mainan impor dari China, tentulah berpengaruh pada neraca perdagangan kita. Dengan adanya gerakan pemasaran seperti Indonesia International Toys and Kids Expo 2019 (IITE) tersebut, saya prediksi, dominasi mainan impor akan meningkat. Artinya, kedodoran kita kian bertambah.
Dalam skala impor yang lebih luas, ada pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menohok. "Begitu banyak seminar, pertemuan, diskusi, dan banyak tulisan tentang ini [industri 4.0], tapi tetap saja kita impor barang dari China," ujar Jusuf Kalla. Itu ia ungkapkan pada Diskusi Persatuan Wartawan Indonesia [PWI] terkait Making Indonesia 4.0 VS Super Smart Society 5.0, di Hotel Arya Duta Jakarta Pusat, pada Kamis (11/07/2019).
Kenapa saya sebut menohok? Menurut Jusuf Kalla, tidak semua negara relevan menerapkan industri 4.0 secara massif. Negara dengan penduduk yang didominasi usia lanjut seperti Jepang, memang lebih tepat menerapkan pola otomatisasi ini secara luas. Sedangkan negara seperti Indonesia, hanya di industri tertentu yang membutuhkan penerapan industri 4.0 secara menyeluruh.
Saya sepakat dengan Jusuf Kalla. Jepang sudah kekurangan orang muda untuk menjadi pekerja. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, Jepang mendatangkan dari luar negeri. "Secara total pada tahun ini, Jepang membutuhkan 345.150 tenaga kerja asing. Kami (Kemenaker) mendorong agar banyak pekerja Indonesia yang bisa mengambil peluang ini," kata Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dhakiri, pada Selasa (25/06/2019).
Sebaliknya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terdapat 7,04 juta orang pengangguran di seluruh Indonesia. "Itu semua adalah yang tercatat, yang tidak tercatat tentu bisa jauh lebih banyak dari itu," ujar Ronny P. Sasmita, Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct), pada Rabu (11/07/2018). Artinya, sebagaimana dituturkan Jusuf Kalla, hanya di industri tertentu yang membutuhkan penerapan industri 4.0 secara menyeluruh. Kalau tidak, jutaan pengangguran itu, tentu tidak akan terserap.
Nah, dalam konteks industri mainan anak, Kemenperin mencatat, setidaknya terdapat 90 perusahaan industri mainan di tanah air. Kemampuan mengisi pasar lokal pun, baru 30 persen. Jika saja para pemangku kepentingan memberi perhatian, tentulah 90 perusahaan industri mainan tersebut, bisa naik kelas. Produksi akan meningkat, pengisian pasar juga bertambah, dan otomatis serapan tenaga kerja juga bertambah.
Jika perhatian itu diberikan, tentu merupakan kado terindah untuk peringatan Hari Anak Nasional.
isson khairul - dailyquest.data@gmail.com