Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mainan Anak? Sayang, Kita Kedodoran

24 Juli 2019   23:22 Diperbarui: 24 Juli 2019   23:48 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mainan mobil-mobilan di salah satu stan dalam pameran Indonesia International Toys & Kids Expo 2019 di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, pada Kamis-Sabtu (18-20/07/2019). Pameran ini menampilkan lebih dari 40.000 produk, termasuk berbagai jenis mainan elektronik. Foto: republika/prayogi

Selasa (23/07/2019), kita peringati sebagai Hari Anak Nasional. Tapi, nyaris tidak terdengar gagasan: bagaimana cara meningkatkan industri mainan anak dalam negeri, agar anak-anak bangsa tidak didominasi oleh mainan impor. Mainan produksi lokal, hanya mampu mengisi pasar 30 persen. Selebihnya, impor.

Fiber Glass Tidak Aman

Tiap tahun, hampir 5 juta bayi, lahir di Indonesia. Mereka pastilah membutuhkan mainan anak. Yang membutuhkan mainan anak, bukan hanya anak secara personal. Tapi, juga wahana bermain [playground], yang jumlahnya di negeri kita sangat banyak. Playground itu, antara lain, ada di taman, hotel, mall, pusat rekreasi, sekolah, dan tempat relevan lainnya. Boleh dibilang, keberadaan playground di berbagai tempat tersebut, sudah jadi kebutuhan. Bahkan, menjadi wajib.

Sutjiadi Lukas menyebut, hingga kini industri mainan dalam negeri, belum mampu memproduksi mainan untuk playground yang memenuhi standar. Akibatnya, sebagian besar hotel, mall, dan pusat rekreasi, menggunakan mainan impor. Kenapa? Karena, pabrikan dalam negeri masih menggunakan bahan fiber glass, yang tidak aman bagi anak-anak.

Itu diungkapkan Sutjiadi Lukas, Ketua Umum Asosiasi Mainan Indonesia (AMI), pada Minggu (21/04/2019). Dalam konteks ini, ada dua kedodoran yang terjadi. Pertama, jumlah produksi yang tidak memadai. Hanya mampu mengisi 30 persen pasar lokal. Kedua, kualitas yang tidak memadai. Bahan fiber glass, yang tidak aman bagi anak-anak.

Kedua kedodoran tersebut, sekaligus mencerminkan kualitas produsen mainan dalam negeri. Kualitas teknologi pabrikan yang mereka gunakan dan kualitas tenaga kerja yang mengeksekusinya. Dari penelusuran saya, data Kementerian Perindustrian Republik Indonesia (Kemenperin) menunjukkan, setidaknya terdapat 90 perusahaan industri mainan di tanah air.

Dari 90 produsen tersebut, yang terbanyak adalah industri kecil, yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Inilah sesungguhnya yang menjadi tantangan industri mainan lokal. 

Mereka terbatas modal, terbatas teknologi. Dengan demikian, terbatas pula kapasitas produksi. Untuk meningkatkan kemampuan mengisi pasar lokal dari 30 persen tersebut, dibutuhkan perhatian banyak pihak. Kalau tidak, negeri ini hanya akan menjadi pasar bagi mainan impor.

Direktur Usaha Kecil Menengah Pangan, Produk Kayu, dan Furnitur Kementerian Perindustrian Sri Yunianti (kedua kiri) didampingi Ketua Umum Asosiasi Mainan Indonesia Lukas Sutjiadi (kanan), meninjau stan saat membuka Pameran 3 in 1 Industri Mainan, Taman Hiburan, dan Peralatan & Dekorasi Rumah, di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (18/07/2019). Foto: koran-sindo.com
Direktur Usaha Kecil Menengah Pangan, Produk Kayu, dan Furnitur Kementerian Perindustrian Sri Yunianti (kedua kiri) didampingi Ketua Umum Asosiasi Mainan Indonesia Lukas Sutjiadi (kanan), meninjau stan saat membuka Pameran 3 in 1 Industri Mainan, Taman Hiburan, dan Peralatan & Dekorasi Rumah, di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (18/07/2019). Foto: koran-sindo.com
Belum Menjadi Perhatian 

Kedodoran lain tentang industri mainan anak kita, bisa kita lihat pada Indonesia International Toys and Kids Expo 2019 (IITE), yang digelar pada Kamis-Sabtu (18-20/07/2019) di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat. Ada dua seminar di tempat tersebut, yang langsung menohok. Pertama, Cara Mengimpor 5 Produk Gift dan Produk Rumahan Paling Diminati dari China. Kedua, Cara Menemukan dan Mengimpor Mainan dari China dengan Mudah.

Dari kedua seminar dengan dua tema itu, China dengan tegas memosisikan diri sebagai negara produsen mainan anak. Dari kedua seminar tersebut, juga jelas agenda besar China: meluaskan pasar mainan anak mereka. Kita tahu, ada 70 persen mainan anak impor merangsek pasar kita. Dan, 60 persennya adalah produk mainan impor dari China.

Dalam konteks peringatan Hari Anak Nasional pada Selasa (23/07/2019) kemarin, nyaris tidak terdengar suara tentang, bagaimana cara meningkatkan industri mainan anak dalam negeri, agar anak-anak bangsa tidak didominasi oleh mainan impor. Ingat, produsen dalam negeri baru mampu mengisi 30 persen pasar lokal. Nampaknya, kedodoran tersebut belum menjadi perhatian dari para pemangku kepentingan.

Padahal, kita tahu, mainan anak cukup berpengaruh pada perkembangan anak. Baik perkembangan fisik, psikis, maupun perkembangan otaknya. Keberadaan produk mainan impor, tentulah tidak sepenuhnya mampu dikontrol aparat berwenang. Dampak negatif dari mainan impor tersebut, memang tidak bisa kita lihat seketika. Tapi, secara jangka panjang, akan terlihat.

Secara ekonomi, 70 persen mainan impor, yang 60 persennya berupa produk mainan impor dari China, tentulah berpengaruh pada neraca perdagangan kita. Dengan adanya gerakan pemasaran seperti Indonesia International Toys and Kids Expo 2019 (IITE) tersebut, saya prediksi, dominasi mainan impor akan meningkat. Artinya, kedodoran kita kian bertambah.

Pameran ini melibatkan lebih dari 350 produsen besar dari China, Indonesia, Thailand, Jepang, dan Malaysia. Pameran ini fokus di sektor B2B (business to business), memberikan kesempatan kepada para pemain industri untuk dapat saling bertukar informasi dan menemukan peluang untuk dapat berkolaborasi dalam mengembangkan usaha dalam jangka panjang. Foto: republika/prayogi
Pameran ini melibatkan lebih dari 350 produsen besar dari China, Indonesia, Thailand, Jepang, dan Malaysia. Pameran ini fokus di sektor B2B (business to business), memberikan kesempatan kepada para pemain industri untuk dapat saling bertukar informasi dan menemukan peluang untuk dapat berkolaborasi dalam mengembangkan usaha dalam jangka panjang. Foto: republika/prayogi
Naik Kelas, Serap Tenaga Kerja

Dalam skala impor yang lebih luas, ada pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menohok. "Begitu banyak seminar, pertemuan, diskusi, dan banyak tulisan tentang ini [industri 4.0], tapi tetap saja kita impor barang dari China," ujar Jusuf Kalla. Itu ia ungkapkan pada Diskusi Persatuan Wartawan Indonesia [PWI] terkait Making Indonesia 4.0 VS Super Smart Society 5.0, di Hotel Arya Duta Jakarta Pusat, pada Kamis (11/07/2019).

Kenapa saya sebut menohok? Menurut Jusuf Kalla, tidak semua negara relevan menerapkan industri 4.0 secara massif. Negara dengan penduduk yang didominasi usia lanjut seperti Jepang, memang lebih tepat menerapkan pola otomatisasi ini secara luas. Sedangkan negara seperti Indonesia, hanya di industri tertentu yang membutuhkan penerapan industri 4.0 secara menyeluruh.

Saya sepakat dengan Jusuf Kalla. Jepang sudah kekurangan orang muda untuk menjadi pekerja. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, Jepang mendatangkan dari luar negeri. "Secara total pada tahun ini, Jepang membutuhkan 345.150 tenaga kerja asing. Kami (Kemenaker) mendorong agar banyak pekerja Indonesia yang bisa mengambil peluang ini," kata Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dhakiri, pada Selasa (25/06/2019).

Sebaliknya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terdapat 7,04 juta orang pengangguran di seluruh Indonesia. "Itu semua adalah yang tercatat, yang tidak tercatat tentu bisa jauh lebih banyak dari itu," ujar Ronny P. Sasmita, Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct), pada Rabu (11/07/2018). Artinya, sebagaimana dituturkan Jusuf Kalla, hanya di industri tertentu yang membutuhkan penerapan industri 4.0 secara menyeluruh. Kalau tidak, jutaan pengangguran itu, tentu tidak akan terserap.

Nah, dalam konteks industri mainan anak, Kemenperin mencatat, setidaknya terdapat 90 perusahaan industri mainan di tanah air. Kemampuan mengisi pasar lokal pun, baru 30 persen. Jika saja para pemangku kepentingan memberi perhatian, tentulah 90 perusahaan industri mainan tersebut, bisa naik kelas. Produksi akan meningkat, pengisian pasar juga bertambah, dan otomatis serapan tenaga kerja juga bertambah.

Jika perhatian itu diberikan, tentu merupakan kado terindah untuk peringatan Hari Anak Nasional.

isson khairul - dailyquest.data@gmail.com

Jakarta, 24 Juli 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun