Tiap karya memiliki takdirnya sendiri. Tiap pengarang juga punya takdirnya sendiri. Bagaimana dengan kematian? "Manusia hidup menunggu untuk mati. Kehidupan justru terasakan dalam menunggu. Makin bisa menikmati cara menunggu, makin tenang dalam hati," demikian Arswendo Atmowiloto menuliskannya dalam novel Canting.
Novel setebal 408 halaman tersebut, diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pertama kali tahun 1986. Sementara, Keluarga Cemara pada awalnya ditulis Arswendo sebagai serial di Majalah HAI. Ini majalah remaja di grup Kompas Gramedia, dengan Arswendo sebagai Pemimpin Redaksi. Kemudian, berkembang menjadi antologi cerita berseri.
Ketika diterbitkan pertama kali sebagai buku tahun 1981, Keluarga Cemara memuat 15 cerita tentang keluarga Abah dan Emak. Kemudian dijadikan serial sinetron, yang tayang pertama kali  pada 6 Oktober 1996. Setelah selama dua tahun tayang di RCTI, Keluarga Cemara pindah tayang ke TV7, sampai berakhir tayang pada Februari 2005. Lalu, dijadikan film layar lebar, yang tayang pertama kali pada 3 Januari 2019.
Proses yang dilalui Keluarga Cemara, dari serial di majalah, kemudian menjadi buku, terus dijadikan serial sinetron, lantas digarap menjadi layar lebar, sesungguhnya proses edukasi dalam konteks berkarya. Dengan kata lain, karya kreatif adalah sesuatu yang terus tumbuh dan berkembang. Proses edukasi dalam berkarya itulah yang ditunjukkan Arswendo, sepanjang hidupnya.
Karena hal tersebut, sangat pantas guru sejati setingkat Prof. Dr. Mudji Sutrisno, SJ. dengan sungguh-sungguh mengucapkan terima kasih kepada Arswendo Atmowiloto. Ia bukan hanya mengedukasi publik melalui content dari karyanya, tapi sekaligus mengedukasi publik tentang proses penciptaan karya.
Guru, sebagaimana dituturkan Romo Mudji Sutrisno, ya mengedukasi dalam artian yang sesungguhnya. Bahkan, ketika memberikan hukuman kepada murid, landasannya ya harus tetap mengedukasi. Romo Mudji Sutrisno bercerita tentang mantan guru-gurunya di SD Pangudi Luhur, Surakarta, Jawa Tengah. Mereka menghukum murid dengan cara memberikan kertas dan pensil berwarna.
Artinya, dalam keadaan dihukum, murid bisa melukis. Melukis apa saja. Mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan pensil berwarna ke kertas. Pertanyaannya, apakah ada guru sekarang yang menerapkan cara mengedukasi seperti itu? Kini kita justru berhadapan dengan realitas yang menyakitkan. Konflik guru dan murid, terjadi di mana-mana.
Melepas kepergian Arswendo Atmowiloto serta menyimak penuturan Romo Mudji Sutrisno, saya sangat terkesan bisa berada dalam situasi demikian. Saya mendapat kesempatan untuk mengacai diri. Dapat peluang untuk mengoreksi perbuatan diri. Saya gumamkan apa yang dituliskan Arswendo: Kehidupan justru terasakan dalam menunggu. Makin bisa menikmati cara menunggu, makin tenang dalam hati.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 22 Juli 2019