Tiap karya memiliki takdirnya sendiri. Dari Keluarga Cemara karya Arswendo Atmowiloto, kita bisa banyak belajar. Belajar mengacai diri, mengoreksi perbuatan diri. Juga, belajar menghadapi realitas, agar tidak terkubur dalam rasa sesal yang berkepanjangan.
Bangkit dengan Spirit
Kita tahu, Keluarga Cemara bercerita tentang sebuah keluarga, yang semula kaya raya, namun mendadak bangkrut dan mereka mesti hidup di desa, dengan rumah warisan nan sederhana. Anggota keluarga itu adalah Abah, Emak, dan tiga anak perempuan mereka: Euis, Cemara, dan Agil. Mereka menjalani hari-hari setelah bangkrut, dengan kebersamaan yang penuh spirit.
"Dia memang membuat keluarga ini dahsyat sekali ya," ujar Prof. Dr. Mudji Sutrisno, SJ., budayawan terkemuka kita, sekaligus rohaniawan Katolik yang mengesankan. Dia yang dimaksud Romo Mudji Sutrisno, tentulah Arswendo Atmowiloto. Makna keluarga ini dahsyat, antara lain, karena Keluarga Cemara menyemaikan nilai-nilai edukasi, dengan pendekatan yang sangat edukatif.
Aspek edukasi, memang menjadi salah satu titik perhatian Romo Mudji Sutrisno. Semua itu tidak lepas dari ruang lingkup yang dilakoninya. Selama ini, publik mengenalnya sebagai Guru Besar Bidang Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta Pusat. Iya, sejatinya Romo Mudji Sutrisno memang seorang guru.
Ia pernah menjadi guru di Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, hingga Perguruan Tinggi. Karena itulah, dengan cermat ia menangkap substansi edukasi dalam Keluarga Cemara. Selain itu, spirit hidup yang dibangun Arswendo Atmowiloto, melalui Abah, Emak, dan tiga anak perempuan mereka: Euis, Cemara, dan Agil, mampu menginspirasi banyak keluarga di Indonesia. Â Â
Spirit hidup untuk bangkit, setelah mengalami kebangkrutan. Proses edukasi dalam keluarga, yang berlangsung secara alamiah. Setidaknya, karena dua komponen tersebut, Prof. Dr. Mudji Sutrisno, SJ. dengan sungguh-sungguh mengucapkan terima kasih kepada Arswendo Atmowiloto, yang telah menciptakan Keluarga Cemara. Karya ini menjadi pendidikan penting untuk publik.
Sekali lagi, tiap karya memiliki takdirnya sendiri. Bahkan, melampaui prediksi sang pengarang. Sebelum Arswendo Atmowiloto wafat pada Jumat (19/07/2019) petang, Romo Mudji Sutrisno sempat menjenguk ke rumahnya, di Kompleks Kompas B-2, Jalan Damai, Petukangan Selatan, Jakarta Selatan. Mereka sempat berbincang-bincang tentang pendidikan kehidupan.
Sebelum pamit pulang, Arswendo Atmowiloto memberikan buku Keluarga Cemara kepada Romo Mudji Sutrisno. Agaknya, itulah karya terakhir yang diberikan secara langsung oleh Arswendo. Dan, di pagi Sabtu (20/07/2019), saya bertemu dengan Romo Mudji Sutrisno di Stasiun Jurangmangu, Pondok Aren, Tangerang Selatan.
Kami berbincang-bincang sejenak. Ia dan saya ternyata punya tujuan yang sama: menghadiri Misa Requiem Arswendo Atmowiloto di Gereja Katolik Santo Matius Penginjil, Pondok Aren. Sabtu itu keluarga serta kerabat bersama-sama mendoakan almarhum, kemudian melepas jenazah ke tempat peristirahatan terakhir di San Diego Hills Memorial Park, Karawang, Jawa Barat.