Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kelapangan Hati Arswendo Atmowiloto

21 Juli 2019   14:50 Diperbarui: 21 Juli 2019   14:54 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sabtu (20/07/2019), pagi menjelang siang. Pelataran Gereja Santo Matius Penginjil, sesak oleh heart circles Arswendo Atmowiloto. Dari dalam gereja berkali-kali terdengar suara: keluarga adalah harta yang paling berharga.   

Banyak Hal Bernilai 

Pada Sabtu itu, saya turut menyesaki pelataran gereja tersebut. Di dalam gereja, berlangsung misa pelepasan jenazah Arswendo Atmowiloto. Saya hadir di sana, karena saya merasa menjadi bagian dari heart circles Arswendo Atmowiloto. Saya pikir, hadirin yang lain, juga merasa demikian. Merasa menjadi bagian dari heart circles Mas Wendo, yang daya jelajahnya demikian luas.

Boleh dibilang, ratusan hadirin hari itu, memiliki catatan jiwa tentang interaksi yang pernah terjadi, antara mereka dengan Mas Wendo. Di hari pelepasan jenazah itu, terasa sekali, betapa banyak hal bernilai yang pernah mereka lalui bersama Mas Wendo. Kesadaran akan hal bernilai itu, muncul belakangan. Dan, terasa semakin bernilai, setelah Mas Wendo wafat.

Tentang nilai persahabatan, misalnya. Aktor senior Slamet Rahardjo bercerita, bagaimana ia memaknai nilai persahabatan Mas Wendo dengan Teguh Karya, suhu teater dan perfilman kita. Tiap kali Teguh Karya syuting, Mas Wendo selalu diajak. Mas Wendo selalu datang ke tempat syuting. Tapi, tidak pernah di-shoot. Tidak pernah masuk kamera.

Mereka tetap bersahabat. Mas Wendo pun tetap datang ke lokasi syuting. Suatu hari, Mas Wendo tak datang. Teguh Karya mencarinya dan bertanya, kenapa tidak datang? "Lha, ngapain datang, datang pun nggak pernah di-shooting," demikian kira-kira gerundelan Mas Wendo, yang memang sudah jengkel atas perlakuan Teguh Karya terhadapnya.  

Akhirnya, Mas Wendo bersedia datang lagi ke lokasi syuting. Ia pun di-shoot. Mas Wendo action, kamera pun on. "Ulang," ujar Teguh Karya. Action lagi, disuruh ulang lagi. Diulang sampai 10 kali, sampai kejengkelan Mas Wendo memuncak. Hasil adegan ulang 10 kali itu, tampil sekelebat di film Pacar Ketinggalan Kereta. Benar-benar sekelebat, ya satu detik lebih sedikit. Tak sampai dua detik.

Rusak kah persahabatan Mas Wendo dengan Teguh Karya? Tidak, sama sekali tidak. Mereka tetap sering bertemu, senantiasa sengit berdiskusi. Mas Wendo pun masih meluangkan waktu untuk datang ke lokasi syuting, saat Teguh Karya memproduksi film. Dari salah satu contoh peristiwa tersebut, Slamet Rahardjo belajar, bagaimana berlapang hati, dari Mas Wendo.

Dari kanan ke kiri: Slamet Rahardjo, Thamrin Sonata, dan Isson Khairul. Kami berbincang di pelataran gereja tentang nilai-nilai kemanusiaan, yang selama ini ditebar Arswendo Atmowiloto dengan para sahabatnya. Itulah salah satu faktor yang membuat hubungan dengan Wendo demikian mendalam. Foto: tamita wibisono
Dari kanan ke kiri: Slamet Rahardjo, Thamrin Sonata, dan Isson Khairul. Kami berbincang di pelataran gereja tentang nilai-nilai kemanusiaan, yang selama ini ditebar Arswendo Atmowiloto dengan para sahabatnya. Itulah salah satu faktor yang membuat hubungan dengan Wendo demikian mendalam. Foto: tamita wibisono
Melepas Bagian Jiwa

Teguh Karya adalah guru Slamet Rahardjo. Bukan hanya guru teater dan film di Sanggar Teater Populer, tapi sekaligus guru kehidupan. Guru yang turut membentuk Slamet Rahardjo, sebagaimana kita lihat sekarang. Mas Wendo adalah sahabat Teguh Karya. Dan, dengan kelapangan hatinya, Mas Wendo pun menjalin persahabatan dengan Slamet Rahardjo.

Di Gereja Santo Matius Penginjil, Tangerang, Banten, pada Sabtu (20/07/2019) itu, Slamet Rahardjo mengungkapkan bahwa persahabatan dirinya dengan Wendo sudah sampai ke jiwa mereka berdua. Barangkali tak kalah intensnya, dibanding persahabatan Wendo dengan Teguh Karya. Karena itulah, wafatnya Wendo dan kepergian Wendo, tidak membuatnya merasa kehilangan.

"Yang pergi itu kan cuman fisiknya" gumam Slamet Rahardjo. Meski demikian, ia tidak bisa menahan kesedihannya. Dari raut wajahnya, kita mafhum, ia sesungguhnya tengah menahan air mata. Slamet Rahardjo menyebut, Wendo bukan hanya sahabat, tapi sekaligus sosok kakak dan guru baginya. Karena itu, ia yakin, Tuhan akan mempertemukannya kembali dengan Wendo.

"Saya dan Wendo saling menyayangi dan saling menghargai," tutur Slamet Rahardjo lebih lanjut. Karena itulah, ia yakin, Tuhan akan mempertemukan mereka kembali. Keyakinan tersebut yang menguatkan Slamet Rahardjo, untuk menahan air mata. Namun, ketika koor dari Gereja Santo Matius Penginjil menyanyikan lagu Harta Berharga, saya melihat mata Slamet Rahardjo berkaca-kaca.

Kita tahu, lagu tersebut begitu populer, karena merupakan soundtrack dari serial dan film Keluarga Cemara:

Harta yang berharga

Adalah keluarga

Istana yang paling indah

Adalah keluarga

Lagu itu diciptakan Harry Tjahjono bersama Wendo. Harry Tjahjono adalah penulis skenario serial Si Doel Anak Sekolahan. Di era 80-an, Harry Tjahjono merupakan penulis fiksi remaja yang paling beken. Hampir setiap majalah remaja era itu, pasti pernah memuat cerpen maupun cerita bersambung Harry Tjahjono. Ia adalah sahabat Wendo. Sementara, serial dan film Keluarga Cemara, diangkat dari novel berjudul sama, karya Arswendo Atmowiloto. Kolaborasi Harry dan Wendo, membuat lagu itu demikian mengena.

Dari kiri ke kanan: Isson Khairul, Thamrin Sonata, dan Harry Tjahjono. Kami adalah bagian dari ratusan orang yang turut melepas jenazah Mas Wendo. Ratusan hadirin hari itu, memiliki catatan jiwa tentang interaksi yang pernah terjadi, antara mereka dengan Mas Wendo. Foto: isson khairul
Dari kiri ke kanan: Isson Khairul, Thamrin Sonata, dan Harry Tjahjono. Kami adalah bagian dari ratusan orang yang turut melepas jenazah Mas Wendo. Ratusan hadirin hari itu, memiliki catatan jiwa tentang interaksi yang pernah terjadi, antara mereka dengan Mas Wendo. Foto: isson khairul
Menuju Peristirahatan Terakhir 

Harry Tjahjono sejak beberapa waktu lalu, sempat meninggalkan Jakarta, untuk kembali ke kampung halamannya di Madiun, Jawa Timur. Tapi, satu bulan belakangan, ia memilih bertahan di Jakarta. Ia menuturkan, kondisi kesehatan Wendo, yang membuatnya bertahan. Sekali lagi, ini bagian dari nilai persahabatan, yang dengan lapang hati disemai Wendo.

Ada suatu saat, beberapa hari menjelang Wendo wafat, Wendo tak ingin dibesuk. Ini dituturkan Harry Tjahjono. Ketika itu, Butet Kartaredjasa datang ke Jakarta dari Jogja, kemudian janjian dengan Harry Tjahjono untuk membesuk Wendo. Secara waktu, memang sudah terbilang tengah malam. Di hari-hari sebelumnya, Wendo nyaris tidak pernah menampik kunjungan teman-temannya.

Malam itu, Wendo tak berkenan. Harry dan Butet tak kecewa, tapi maklum dengan kondisi fisik serta psikis Wendo. "Saya sudah merasa," gumam Harry Tjahjono pendek. Selanjutnya, ia diam. Benar-benar diam. Lagu Harta Berharga dari koor gereja, terus mengalun. Harry yang berdiri di sebelah saya masih terdiam. Saya pun tak hendak mengusik.

Saya yakin, ia pasti tengah menahan kesedihan yang dalam. Tatkala peti jenazah Arswendo Atmowiloto diusung keluar gereja, menuju mobil jenazah yang akan mengantarnya ke pemakaman San Diego Hills Memorial Park, Karawang, Jawa Barat, Harry Tjahjono juga terdiam. Pandangannya lurus ke arah peti, yang perlahan-lahan dimasukkan ke dalam mobil jenazah.

Setelah pintu belakang mobil jenazah ditutup, Harry Tjahjono menatap peti itu dari balik kaca. Lama ia tertegun di sana. Cukup lama. Perlahan, mobil itu bergerak menuju tempat peristirahatan terakhir Arswendo Atmowiloto. Saya tahu, persahabatan mereka demikian intens. Demikian dalam.

isson khairul --dailyquest.data@gmail.com

Jakarta, 21 Juli 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun