Produk pangan Indonesia, penuh tragedi. Sekitar 20-50 persen dari total produksi pertanian kita, rusak. Itu terjadi saat panen, penyimpanan, pendistribusian, hingga pemasaran. Ah, jadi ingat Budi Waseso.
Budi Waseso Tidak Buas
Budi Waseso kerap disapa Buwas. Tapi, ia bukan sosok lelaki yang buas. Selaku Direktur Utama Perum Bulog, ia justru realistis. Tidak asal sergap. Sebagai pensiunan jenderal polisi, ia hati-hati, penuh perhitungan, jauh dari karakter lelaki buas. Di acara Halal Bihalal Perum Bulog di Jakarta, pada Selasa (02/07/2019) lalu, misalnya.
Ia mengaku kesulitan. Ia mengaku belum mampu bersaing. Ia pun terus-terang: rencana ekspor beras ke Malaysia, batal. Kenapa? Pertama, karena harga beras Indonesia lebih mahal, dibandingkan harga beras Thailand dan Vietnam. Kedua, beras Thailand dan Vietnam bisa tahan lebih lama, dibanding beras kita. Walaupun disimpan 1 tahun, beras dari kedua negara tetangga itu, belum ada perubahan yang signifikan.
Dalam konteks tulisan ini, alasan kedua, patut kita cermati. Kenapa beras mereka bisa tahan lebih lama? Jawaban sederhana, karena mereka lebih mampu mengelola pascapanen. Dengan demikian, kualitas beras mereka tetap terjaga, untuk kurun waktu yang lama. Dengan kata lain, mindset produksi pertanian mereka, sudah berorientasi ekspor, sejak awal.
Mereka sudah memperhitungkan faktor kemasan, penyimpanan, pendistribusian, hingga pemasaran, sebagai bagian penting untuk menjaga kualitas produk untuk ekspor. Mindset produksi pertanian mereka, bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan pasar sekitar serta pasar lokal.
Produksi pertanian mereka, sudah di-setting untuk siap naik kapal, berlayar ke berbagai benua, untuk dikonsumsi warga di berbagai negara di dunia. Dengan kata lain, produksi pertanian mereka, sudah masuk ke dalam kategori industri, yang otomatis sudah memperhitungkan komponen persaingan di pasar global.
Kenapa saya ingat Budi Waseso? Kenapa saya ingat tragedi beras Indonesia, yang tidak mampu bersaing dengan beras Thailand dan Vietnam? Karena, ada pertemuan pada Senin (15/07/2019) lalu, di Sidoarjo. Kita tahu, Sidoarjo adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur.
Inti pertemuan tersebut adalah untuk mencari solusi, agar produk pertanian kita, khususnya produk hortikultura, mampu bersaing di pasar ekspor. Kita tahu, betapa buasnya persaingan ekspor. Yang bertemu: Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, para pelaku usaha hortikultura, dan investor.
Salah satu poin penting yang digagas dalam pertemuan itu, yakni rencana membangun warehouse skala jumbo. Warehouse itu berupa gudang pangan, untuk produk buah, sayur, dan produk pertanian lokal lainnya. Rencananya, warehouse itu akan didirikan di Kawasan Perdagangan Suncity Biz, Sidoarjo.
Dari gudang pangan itulah nantinya produk buah, sayur, dan produk pertanian lainnya, dikirim ke gudang pangan dan supermarket, yang juga akan didirikan di luar negeri. Antara lain, di Singapura, Malaysia, Tiongkok, Hong Kong, dan Jepang. Ini adalah bagian dari strategi terpadu untuk mengakselerasi pasar ekspor.
Warehouse di Kawasan Perdagangan Suncity Biz, Sidoarjo, tersebut, merupakan langkah awal. Selanjutnya, gudang pangan skala jumbo itu, juga akan dibangun di Jakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, Medan, dan Banjarmasin. Dengan demikian, diharapkan produk pertanian Indonesia benar-benar dalam kondisi siap tempur, menghadapi buasnya persaingan pasar ekspor.
Semua itu merupakan rencana besar, untuk membawa produk pertanian Indonesia ke panggung internasional. Bukan lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhan pasar sekitar serta pasar lokal. Menurut Suwandi, Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, selama ini kegiatan ekspor produk pertanian, dilakukan secara sendiri-sendiri.
Seperti tragedi ekspor beras, sebagaimana diceritakan Budi Waseso di atas. Juga, seperti penolakan China terhadap salak dan manggis dari Indonesia. Penolakan tersebut sudah dilakukan China, sejak tahun 2012. Itu diungkapkan Hasan Johnny Widjaja, Ketua Asosiasi Eksportir Sayur dan Buah Indonesia (AESBI), pada Rabu (23/11/2016). Juga, kasus penolakan jahe dan manggis oleh Vietnam, sebagaimana diungkapkan Jero Tesan, Ketua Asosiasi Manggis Indonesia, pada Kamis (23/11/2017).
Untuk menyiasati penolakan China tersebut, Indonesia terpaksa mengekspor manggis dengan transit di Malaysia dan Singapura, kemudian baru diekspor ke China. Tapi, belakangan, Indonesia sudah dibolehkan mengekspor buah manggis langsung ke China, tanpa melalui beberapa negara lain. Itu diungkapkan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, pada Kamis (21/02/2019).
Itu hanya beberapa contoh yang menunjukkan, betapa lemah dan betapa kompleks situasi persaingan yang dihadapi produk pertanian kita di pasar ekspor. Salah satu sebabnya, karena dilakukan sendiri-sendiri, dengan jumlah yang relatif terbatas. Di sisi lain, memang ada yang berlangsung mulus. Seperti pada Jumat (04/01/2019) lalu, misalnya. Saat itu, Andi Amran Sulaiman melepas 42 komoditas hortikultura untuk diekspor ke 12 negara.
Total ekspor tersebut mencapai 10.000 ton, yang seluruhnya merupakan produk hortikultura yang dihasilkan oleh Jawa Barat. Suwandi mencatat, nilai ekspor produk hortikultura secara nasional, baik segar maupun olahan, hingga Agustus 2018, mencapai Rp 2,8 triliun. Angka ekspor tersebut didominasi oleh buah. Dan, yang dominan adalah nanas, sekitar 85 persen dari total buah-buahan yang diekspor.
Dengan keberadaan warehouse skala jumbo tersebut, kelak diharapkan produk pertanian kita memiliki daya saing yang kuat. Bagaimanapun juga, itu bagian dari strategi terpadu untuk mengakselerasi pasar ekspor. Kata Suwandi, importir dan distributor di luar negeri, tidak perlu repot mencari produk pertanian Indonesia, karena sudah tersedia di negara mereka, melalui warehouse.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 16 Juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H