Apa yang Anda ingat? Apa yang hendak Anda tulis? Jawaban atas dua pertanyaan tersebut, itulah rahasia dalam menulis. Itu pulalah yang kami obrolin di kantor pusat Kompasiana, di Palmerah Barat, Jakarta Pusat.Â
Ingatan Buntu, Nulis pun MacetÂ
Macet di jalan raya. Macet saat menulis. Kedua situasi itu, sama-sama menjengkelkan. Lebih mangkel lagi, kalau macetnya di saat deadline sudah mepet. Tiap penulis, punya jurus rahasia, bagaimana menyiasati kemacetan itu. Karena statusnya rahasia, maka jurus siasat tersebut, tentulah tidak diumbar sembarangan ke publik. Perlu ngobrol dari hati ke hati, untuk mengetahuinya. Â
Itulah salah satu khasnya Ngoplah, akronim dari Ngobrol di Palmerah. Dan, Ngoplah pada Jumat (09/11/2018) sore lalu, benar-benar penuh gizi. Di kantor pusat Kompasiana, di Jl. Palmerah Barat No. 29-37, obrolan itu berlangsung penuh suka-ria. Ada dua buku yang kami obrolin: Manusia Bandara karya Jose Dizzman Diaz dan Sekadar Pengingat karya Iskandar Zulkarnain.
Iskandar Zulkarnain sukses menghimpun daya ingatnya, yang kemudian ia tuangkan menjadi 75 tulisan di Sekadar Pengingat. Menulis 75 tulisan, dalam rentang waktu yang relatif singkat, tentulah bukan hal yang mudah. Kenapa? "Karena, apa yang ada dalam ingatan itu, sangat beragam. Campur-baur. Campur-aduk. Seringkali malah mengacaukan pikiran," tutur Iskandar Zulkarnain.
Memilah, Memilih Ingatan Â
Agar tidak kacau, Bang Iz --begitu saya menyapanya- memilah ingatan, sesuai kebutuhan. Misalnya, pada Sekadar Pengingat 5. Di tulisan itu, ia hendak mengingatkan kita, bagaimana cara menyikapi musibah. Bang Iz menulis, ketika menghadapi musibah, introspeksilah. Apa kesalahan yang telah kita perbuat. Apa dosa yang telah kita lakukan. Itu dulu yang harus dicari tahu.
Kemudian, perbaikilah kesalahan tersebut. Jangan ulangi lagi. Mohon ampunlah pada Allah, atas dosa yang telah kita lakukan. Selanjutnya, baru mohon solusi pada Allah. Solusi atas musibah yang menimpa kita. Di Sekadar Pengingat 5 itu, Bang Iz mengingat tentang, bagaimana ia berupaya sungguh-sungguh mendidik anaknya semasa balita. Menemaninya di masa golden period.
Bang Iz paham, anak balita di masa golden period, adalah sosok manusia yang polos. Masih bersih hati dan pikirannya. Ibarat kertas putih, belum tercoreng apa pun. Ingatan itu dikorelasikan Bang Iz dengan ingatannya tentang Nabi Adam, yang terusir dari zona nyaman, karena berbuat dosa. Kita paham, bukan kah manusia tak pernah luput, dari khilaf dan dosa?
Menulis Paduan Ingatan  Â
Di situ kita lihat, Bang Iz berupaya mengorelasikan ingatan yang sudah ia pilah, yang sudah ia pilih. Kemudian, ia memadukannya menjadi tulisan. Inti message-nya di Sekadar Pengingat 5 adalah introspeksi, mohon ampun, kemudian mohon solusi. Dengan kata lain, bersihkan dulu hati. Upayakan bersihkan hati, meski mungkin tidak sebersih hati anak-anak usia balita.
Dalam hal ini, kita melihat, ingatan yang dipadukan Bang Iz dalam tulisannya, sekaligus sebagai simbol. Menjadi penanda bagi pembaca, untuk menemukan makna dari sejumlah simbol tersebut. Dan, simbol-simbol penuh makna itu, bertebaran di 75 tulisan di Sekadar Pengingat ini. Dari pencermatan saya, sejumlah simbol itu adalah simbol sehari-hari, yang dengan mudah kita maknai.
Intinya, 75 tulisan dalam buku ini, mengajak kita untuk memaknai simbol kehidupan, yang menuntun kita kembali ke jati diri. Merenungi apa yang telah terjadi. Memaknai apa yang pernah kita perbuat. Bukan untuk menghakimi salah dan benar. Tapi, demi menemukan sikap yang bijak, tiap kali kita melangkah di bumi yang sungguh fana ini.
Puluhan tulisan dalam buku ini, mengingatkan kita, agar tak lupa menoleh ke belakang, ke sejumlah kejadian yang telah kita lalui. Bukan untuk berbalik ke masa silam. Tapi, untuk berkaca pada perbuatan diri, agar lebih teguh melangkah, menapaki jalan kehidupan. Â Â Â
Karena itulah, berbagai tulisan dalam buku ini, adalah cahaya bagi jiwa, di tengah hiruk-pikuk dunia. Iskandar Zulkarnain menuliskan rekaman jiwanya untuk kita, melalui buku ini. Bukan untuk mengajari. Bukan pula untuk membimbing. Tapi, untuk mengajak kita bersama-sama, berkaca pada perbuatan diri. Â Â
Ajakan tersebut, dituliskan Iskandar Zulkarnain, dengan cara bergumam. Dituliskan dengan hati-hati, dengan sepenuh hati. Dari hati ke hati. Ia mengingat serta mengingatkan. Ia bergumam, kemudian menggumamkan. Inilah yang disebut suara batin, narasi dari suara batin. Â Â
Suara dari KedalamanÂ
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mencatat gumam sebagai kata benda, yang artinya suara yang tertahan di dalam mulut. Peribahasa menyebut: ada terasa, tapi tak terkatakan. Dalam bahasa Minang: taraso lai, takatokan indak. Dalam fiksi, kerap dituliskan begini: suaraku tercekat, lidahku kelu, tak mampu berkata apa-apa. Dalam bahasa Inggris, mungkin inilah yang disebut sebagai the inner part of the human. Suara dari kedalaman.
Bagi saya, gumam adalah narasi batin. Tuturan yang membuat kita merenung. Sebagai bagian untuk menggugah diri sendiri, juga untuk mengetuk nurani orang lain. Dan, sebagai pekerja sosial, Iskandar Zulkarnain memiliki banyak pengalaman kemanusiaan, yang sebagian dari kita, mungkin tak mengalaminya. Tak berhadapan dengan situasi demikian.
Buku Sekadar Pengingat adalah buku kesekian puluh, dari Peniti Media, dari Komunitas KutuBuku Kompasiana. Di komunitas ini, kita leluasa saling keep spirit untuk terus ber-literasi. Berdiskusi, menulis, serta mengadakan workshop writing, tentunya. Melalui KutuBuku Kompasiana, mari kita rawat spirit literasi, bersama-sama.
Isson khairul--dailyquest.data@gmail.com
 Jakarta, 10 November 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H