Jauh sebelum Pertamina menaikkan harga Pertamax, Hoax sudah melambungkan harga di jagat maya. Konsumen bingung, penuh tanda-tanya. Seerat apa hubungan Pertamina dengan konsumennya?Â
Serangan Harga Hoax
Pertamina baru menaikkan harga Pertamax dan beberapa produk lainnya, pada Rabu (10/10/2018), pukul 11.00 WIB. Tapi, pada awal Januari 2018, sudah beredar struk di jagat maya, bahwa harga Pertalite di Jayapura, Papua, mencapai Rp 77.700 per liter. Struk rekayasa dan abal-abal tersebut, diposting oleh akun Facebook bernama Rudy Aditya.
"Nggak bener itu. Hoax beritanya," ujar Adiatma Sardjito, VP Corporate Communication Pertamina, ketika dikonfirmasi jawapos.com, pada Sabtu (06/01/2018). Di awal September 2018, beredar kabar lewat broadcast WhatsApp dan media sosial lainnya, bahwa pada Jumat (07/09/2018) Â pukul 24.00 WIB, Pertamina akan mengumumkan kenaikan harga BBM.
"Enggak bener, itu hoax (dari) tiga hari yang lalu," ujar Adiatma Sardjito, saat dihubungi okezone.com, pada Jumat (07/09/2018). Bukan hanya Adiatma Sardjito yang sibuk membantah serangan Hoax tersebut. Tim media sosial Pertamina di @pertamina di Facebook dan Twitter, juga tak kalah riuhnya, melayani serbuan pertanyaan dari netizen, tentang kenaikan harga produk Pertamina.
Pertamina di Sendi KehidupanÂ
Di era digital kini, serangan Hoax adalah hal yang tak terhindarkan. Apalagi bagi korporasi sebesar Pertamina, yang nyaris menyentuh tiap sendi kehidupan warga negeri ini. Yang nyata saja, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 141 juta jiwa penduduk Indonesia, yang tinggal di perkotaan. Dan, hanya 7,45 persen dari mereka yang masih memasak dengan kayu bakar.
Itu perhitungan tahun 2016. Artinya, 90 persen lebih dari 141 juta jiwa itu, sudah tersentuh oleh gas, dari Pertamina. Di tahun 2016 itu juga, BPS mencatat, jumlah sepeda motor di Indonesia, telah menembus 100 juta unit. Mereka pastilah sudah bersentuhan dengan bahan bakar minyak (BBM), dari Pertamina. Dengan kata lain, konsumen Pertamina, luar biasa jumlahnya.
Tapi, interaksi Pertamina dengan berjuta-juta konsumennya itu, relatif rendah. Mereka membeli serta menggunakan produk Pertamina, namun Pertamina belum mengelola interaksi, dengan sebagian besar mereka. Pertamina belum mengelola, apa yang disebut Customer Engagement, pelibatan konsumen. Keterlibatan konsumen dengan Pertamina, baru sebatas penjual dan pembeli.
Pelumas Interaksi Pertamina
Pertamina memang memproduksi pelumas. Tapi, Pertamina belum mengelola channel media sosial, untuk menjadi pelumas, demi memuluskan hubungan dengan konsumen. Demi membangun Customer Engagement. Â Lihatlah @pertamina sebagai akun Twitter. Sejak di-create pada Selasa (27/07/2010) pukul 07.01 WIB, baru ada 30.889 cuitan dari Pertamina.
Kalau dipukul rata, itu artinya Pertamina men-cuit 3.861 per tahun, 322 per bulan, dan 11 cuitan per hari. Untuk korporasi sebesar Pertamina, Â yang tahun 2016 memiliki aset sebesar US$ 45,52 miliar, tentu itu tidak memadai. Tidak mencerminkan, bahwa Pertamina sungguh-sungguh mengelola media sosial, sebagai bagian dari Customer Engagement.
Maka, tidak mengherankan, jika hingga kini, follower @pertamina di Twitter, hanya 107.926. Sangat minim, untuk ukuran Pertamina. Hal serupa juga tercermin di akun @pertamina di Facebook, yang di-like 442.831 kali, serta di-follow 446.104. Padahal, sebagaimana disebutkan di atas, konsumen Pertamina itu berjuta-juta jumlahnya. Hubungan dengan mereka, baru sebatas penjual dan pembeli.
Interaksi Meredam HoaxÂ
Nah, dalam kaitannya dengan Hoax, intensitas interaksi di sosial media, adalah salah satu jalan untuk meredam Hoax. Melalui sosial media, Pertamina mestinya bisa leluasa membangun serta mengembangkan hubungan dengan konsumen, dengan publik luas. Berbagai aktivitas bisa di-create, melalui sosial media. Dengan begitu, secara natural, akan tumbuh pengertian serta pemahaman.
Dari pencermatan saya, interaksi offline Pertamina dengan publik, sebenarnya relatif intens. Misalnya, untuk memeriahkan Hari Pelanggan Nasional pada Selasa (04/09/2018) lalu, Pertamina Marketing Operation Region (MOR) I, memberi bahan bakar gratis untuk para pelanggan yang beruntung. Sayangnya, hubungan dengan konsumen berakhir, begitu interaksi offline selesai. Â
Karena itulah, saya melihat, Program Berkah Energi Pertamina yang kini sedang berlangsung, adalah momentum strategis bagi Pertamina untuk membangun serta mengembangkan Customer Engagement, dengan memanfaatkan sosial media. Kita tahu, program ini  dilaksanakan serentak di seluruh wilayah Indonesia selama satu tahun penuh.
Berkah Energi PertaminaÂ
Artinya, sejak Program Berkah Energi Pertamina ini digulirkan pada Kamis (09/08/2018), hingga Rabu (31/07/2019), akan banyak konsumen serta calon konsumen, yang terlibat. Mereka tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Syarat mengikuti program ini, konsumen wajib memiliki aplikasi MyPertamina dan telah melakukan registrasi. Selengkapnya, bisa dilihat di berkahenergi.mypertamina.id.
Program ini  akan diundi dalam 3 tahapan, yakni pada Desember 2018, April 2019, dan Agustus 2019. Hadiahnya sangat menggiurkan. Antara lain, 61 Pasang Paket Umrah, satu Mobil Mercy C300 Cabriolet, enam Harley Davidson Softail, 16 Mobil Toyota Innova Diesel, dan 61 Motor Yamaha Nmax ABS. Rentetan hadiah tersebut, pastilah menjadi daya pikat yang kuat.
Dengan demikian, akan sangat banyak data konsumen dan calon konsumen, yang akan terhimpun di database MyPertamina. Menurut saya, inilah momentum yang tepat bagi Pertamina untuk mengelola konsumen melalui sosial media. Bukan hanya secara jangka pendek seperti di aktivitas offline, tapi merawat mereka agar senantiasa saling genggam, menjadi keluarga besar Pertamina untuk jangka panjang.
Berbagi BerkolaborasiÂ
Pertamina memang tidak sendirian menggulirkan Program Berkah Energi Pertamina. Ada sejumlah bank yang mendukung, yaitu BNI, Mandiri, BRI, BCA, Danamon, OCBC, dan Maybank. Dapat dipastikan, korporasi perbankan tersebut, tentu juga memiliki agenda masing-masing untuk mengelola data konsumen di database MyPertamina itu.
Selama berpegang pada prinsip win-win solution, tak ada salahnya Pertamina mengelola data konsumen itu secara kolaboratif. Toh, Pertamina membutuhkan jasa perbankan dan sebaliknya perbankan membutuhkan Pertamina, untuk memutar uang. Di era ekonomi berbagi kini, skema bisnis kolaboratif adalah model yang banyak dianut berbagai korporasi.
Meski demikian, karena data konsumen itu sudah terhimpun di MyPertamina, Pertamina mestinya menjadi lokomotif yang strategis. Artinya, kreatif mengelola konsumen di era digital, yang salah satunya dengan sosial media. Jangan sampai, MyPertamina hanya menjadi cangkang, sekadar tempat singgah. Kenapa? Karena, konsumen tersebut adalah pilar penting bagi Pertamina. Antara lain, untuk menangkal Hoax, yang di masa depan pastilah akan lebih ganas.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 06 November 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H