Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Presiden Dihina, Ibu Negara Dihina

14 September 2017   08:29 Diperbarui: 14 September 2017   21:23 2264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata kuncinya adalah kritik. Para pegiat media sosial yang berseberangan dengan penguasa, sudah seharusnya memiliki strategi tentang kritik. Dalam hal ini, kritik terhadap penguasa di media sosial. Masih cukup terbuka ruang untuk memberikan kritik. Tidak perlu pesimis. Kekuasaan juga membutuhkan kritik, karena pemerintahan yang sehat, akan menjadi kuat oleh kritik. Sebaliknya, pemerintahan yang tidak sehat, dengan sendirinya akan lemah karena kritik. Para juru puja-puji, tentu saja akan melawan kritik tersebut.

Itulah kehidupan yang dinamis. Kritik yang cermat, dengan sendirinya juga akan meningkatkan daya nalar publik. Kritik yang cermat, juga akan menjaga para pegiat media sosial yang berseberangan dengan penguasa, tidak tergelincir ke area penghinaan. Ketika kritik yang cermat, ditafsirkan oleh para juru puja-puji sebagai penghinaan, ah itu kan memang maunya mereka. Mereka kan maunya semua turut memuja-muja penguasa. Padahal, puja-puji yang over dosis, yang di luar nalar, justru menjerumuskan kekuasaan.

Ujaran tak patut di media sosial, sudah lama mengusik banyak pihak. Tahun 2012 bahkan sudah ada ajakan, bagaimana melakukan kritik sosial melalui media kreatif. Agar tidak tergelincir menjadi penghinaan, tingkatkan kecerdasan dan kreativitas, demi meningkatkan daya nalar publik. Foto: bppmpsikomedia
Ujaran tak patut di media sosial, sudah lama mengusik banyak pihak. Tahun 2012 bahkan sudah ada ajakan, bagaimana melakukan kritik sosial melalui media kreatif. Agar tidak tergelincir menjadi penghinaan, tingkatkan kecerdasan dan kreativitas, demi meningkatkan daya nalar publik. Foto: bppmpsikomedia
Tidak ada kata terlambat. Segera berbalik, tingkatkan kecerdasan, dari penghina menjadi pengritik. Dengan menghina, seseorang akan menjadi terhina. Dan, di media sosial, urusannya bisa panjang: diciduk, kemudian dipenjara. Sebaliknya, pengritik yang cermat, memiliki kesempatan untuk menjaga martabat. Ini bila dibandingkan dengan juru puja-puji, yang dengan mudah tergelincir menjadi hamba sahaya. Lebih dari semua itu, kritik yang cermat, selain menyehatkan pikiran, juga sekaligus meningkatkan daya nalar publik.   

isson khairul --dailyquest.data@gmail.com

Jakarta, 14 September 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun