Senin (04/09/2017), Harian Kompas menampilkan berita Rambut Gondrong Dilarang di Sekolah. Ini bukan berita baru. Ini berita arsip, yang sudah dimuat Kompas, pada Selasa (04/09/1973). Tiba-tiba, saya ingat Bruder Honoratus Knappen FIC, Kepala SMA Pangudi Luhur, Jakarta.
Bruder Honoratus adalah kepala sekolah pertama di sekolah tersebut. Ia memimpin sekolah itu sekitar 13 tahun, 1965-1978. Siswa sekolah Katolik ini, semua laki-laki. Karena itu pulalah agaknya, buku acara reuni akbar SMA Pangudi Luhur 1965-2003, berjudul Sekali Laki-laki tetap Laki-laki. Buku itu, antara lain, memuat tulisan Bruder Honoratus. Kini, saya menulis tentang Bruder Honoratus: karena saya laki-laki, meski saya bukan lulusan SMA Pangudi Luhur, Jakarta.
Membolehkan Siswa Gondrong
Bruder Honoratus saya kenal melalui surat kabar. Karena, sebagai kepala sekolah, ia kerap diwawancarai wartawan. Baik tentang aktivitas di Pangudi Luhur, maupun tentang dunia pendidikan pada umumnya. Dan, di era pelarangan rambut gondrong di sekolah, Bruder Honoratus adalah sosok yang banyak tampil di media. Baik fotonya, maupun pernyataannya yang dikutip wartawan. Siswa SMA Pangudi Luhur Jakarta, pada masa itu, nyaris seluruhnya berambut gondrong. Artinya, aturan yang melarang rambut gondrong di sekolah, tentulah terasa bagai ledakan bom atom bagi mereka.
Di tahun-tahun itu, saya masih duduk di bangku SMP Negeri 2, Bogor, Jawa Barat. Saya merasakan sekali, betapa larangan berambut gondrong, diterapkan dengan sangat ketat. Sehelai saja rambut menyentuh kuping, langsung dipanggil kepala sekolah. Di ruangannya sudah tersedia gunting, untuk mengeksekusi sang rambut. Nah, ketika itulah saya membaca: Bruder Honoratus menolak menerapkan larangan berambut gondrong di SMA Pangudi Luhur. Para siswa di sana, tetap boleh berambut gondrong. Tetap leluasa mengikuti pelajaran, sebagaimana biasanya.
Sikap Bruder Honoratus tersebut, tentu saja mencengangkan, sekaligus mengagetkan banyak pihak. Andai pada masa itu sudah ada facebook dan twitter, dapat dipastikan Bruder Honoratus jadi trending topic. Berbagai argumen dari berbagai pihak, bermunculan di media. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Seingat saya, Bruder Honoratus tetap pada pendiriannya: membolehkan rambut gondrong. Saya yang masih SMP, juga anak-anak SMP lainnya, sudah bertekad ingin masuk ke SMA Pangudi Luhur, setelah lulus nanti. Ingin leluasa belajar, meski berambut gondrong.
Belajar Tentang Prinsip
Ada kata-kata Bruder Honoratus yang masih saya ingat sampai sekarang: yang lebih penting adalah apa yang di bawah rambut itu. Bruder Honoratus mengucapkan hal itu beberapa kali, ketika upacara di sekolah, sambil menunjuk kepalanya. Kata-kata itu bisa kita maknai, bahwa otak lebih penting daripada rambut. Dengan kata lain: menjadi pintar adalah hal yang substansial, sementara urusan rambut bukanlah hal yang penting-penting amat. Risiko tidak diikutkan dalam program PMDK, dihadapi Bruder Honoratus, karena ia yakin siswa SMA Pangudi Luhur bisa masuk perguruan tinggi melalui jalur tes.
Dari Bruder Honoratus, saya belajar tentang sikap serta prinsip dalam pendidikan. Tapi sayang, keinginan saya untuk masuk SMA Pangudi Luhur, tidak kesampaian. Saya melanjutkan ke SMA di Bandung satu tahun, kemudian pindah ke SMA di Padang, Sumatera Barat, sampai lulus. Dan, ketika kuliah komunikasi di Jakarta, saya berteman akrab dengan alumni SMA Pangudi Luhur. Muhammad Fauzy, namanya. Cerita tentang Bruder Honoratus pun nyambung. Teman saya ini, nilai Matematika di ijazahnya, 10. Ya, sepuluh. Saya belum pernah bertemu dengan lulusan SMA, yang ada nilai 10 di ijazahnya, selain dia.
Terkait nilai Matematika yang 10 itu, orangtuanya dipanggil Bruder Honoratus ke sekolah. Sang Bruder berpesan. Intinya, jaga anak ini agar tidak menjadi anak yang sombong, karena kepintarannya. Saya terkesima mendengar cerita teman saya itu. Meski Bruder Honoratus pernah mengatakan yang lebih penting adalah apa yang di bawah rambut itu, ternyata sang Bruder juga sangat memerhatikan kepribadian. Ia menjaga, jangan sampai kepintaran merusak kepribadian. Karena itulah ia memanggil orangtua teman saya itu ke sekolah, untuk mewanti-wanti.
Terus Mengasah Kreativitas
Pada masa kuliah komunikasi, teman saya itu aktif menulis tentang radio. Ia memang memiliki perangkat siaran radio di paviliun rumahnya. Sementara, saya lebih interest menulis fiksi dan artikel tentang remaja. Baru satu tahun kuliah, saya dapat kesempatan bekerja di majalah Gadis, di Femina Group. Hari-hari saya, yang waktu itu masih remaja, ya meliput berbagai kegiatan remaja. Baik di lingkungan kampus, di sekolah, maupun di tempat umum. Ini pulalah yang membuat saya kembali nyambung dengan Bruder Honoratus, dengan SMA Pangudi Luhur.
Tapi, ketika saya pertama kali meliput SMA Pangudi Luhur di Jl. Brawijaya IV, Jakarta Selatan, Bruder Honoratus sudah tidak di sana. Itu sekitar tahun 1980-an. Seingat saya, yang menjadi kepala sekolah saat itu adalah Bruder Michael Pudyartono FIC. Jadi, secara fisik, sebetulnya saya belum pernah bertatap-muka dengan Bruder Honoratus. Meski demikian, saya sangat terkesan dengan sikap serta prinsipnya dalam mendidik. Dari teman saya yang alumni SMA Pangudi Luhur itu, saya tahu, Bruder Honoratus akrab dengan para murid.
Menurut saya, obrolan Bruder Honoratus dengan teman saya itu, baik tentang gadis yang ia taksir, maupun tentang lukisan, sesungguhnya adalah sebuah pendidikan yang penting untuk perkembangan jiwa. Terutama, untuk ia yang pada masa itu masih remaja, masih SMA. Selain itu, Bruder Honoratus telah memandunya, membimbingnya mengasah kreativitas melalui aktivitas melukis. Meskipun baru sebatas melukis dengan pensil. Sampai di sini kita paham, bahwa mendidik memang butuh pendekatan. Dan, pilihan pendekatan dengan remaja, dengan anak-anak muda, butuh kreativitas. Bruder Honoratus sudah melakukannya, sudah mencontohkannya kepada kita.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com       Â
Jakarta, 05 September 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H