Pada Rabu (23/08/2017), Endy PR Abdurrahman dinobatkan sebagai The Best CEO Perbankan Syariah Indonesia 2017. Ia adalah Direktur Utama Bank Muamalat Indonesia. Apa strateginya agar publik paham tentang perbankan syariah? Â
Itu pertanyaan saya. Karena, menurut saya, pemahaman publik yang masih minim tentang perbankan syariah, adalah faktor utama yang menghambat pertumbuhan bank syariah di Indonesia. Masak di negeri yang mayoritas penduduknya Islam, tapi bank syariah hanya jadi minoritas. Ini tantangan para bankir syariah, agar lebih kreatif dan strategis memberikan pemahaman tentang bank syariah kepada publik. Dan, sebagai The Best CEO, tentu Endy PR Abdurrahman punya strategi syariah tersendiri. Â Â
Dimulai dengan Rasio Kredit
Saya kemudian menyusuri berbagai content media yang relevan dengan Bank Muamalat Indonesia (BMI). Dari sejumlah content tersebut, saya fokuskan perhatian pada bahasan tentang Endy PR Abdurrahman. Tujuannya, untuk menemukan jawaban: apa strateginya agar publik paham tentang perbankan syariah? Akhirnya, saya menemukan satu peristiwa yang dialami Endy PR Abdurrahman, di awal kepemimpinannya sebagai Chief Executive Officer (CEO) BMI. Â Â
Begini, peristiwanya. Suatu hari, dalam business meeting di BMI, Endy PR Abdurrahman membahas rasio kredit bermasalah, yang di lingkungan perbankan disebut non-performing financing (NPF). Endy heran, kenapa begitu banyak pinjaman yang dibiarkan tertunggak? Kenapa tidak ditagih? Kenapa tidak disusun strategi untuk menagih? Kenapa tidak dirancang dobrakan, agar bisa menagih dengan jitu? Para petinggi Bank Muamalat Indonesia kala itu, tentu saja terkejut dengan berondongan pertanyaan Endy PR Abdurrahman. Â Â
Para petinggi itu, yang tentu saja bawahan Endy sebagai CEO, menilai bahwa pikiran-pikiran Endy yang disampaikan melalui sejumlah pertanyaan tersebut, bukanlah atmosfir bank syariah. Mereka menyampaikan, di bank syariah harus hati-hati, tidak boleh main dobrak-dobrak. Sebagai orang baru di perbankan syariah, Endy PR Abdurrahman bertanya: kenapa tidak boleh? Kata mereka, kalau di bank syariah, perlakuan terhadap kreditor lain. Kreditor lagi susah, jangan dizalimi, jangan ditagih-tagih.
Mengacu pada Syariah
Meski orang baru di perbankan syariah, meski sebelumnya di bank non-syariah, tapi Endy PR Abdurrahman justru menanggapi peristiwa tersebut secara syariah. Begini argumen Endy dalam peristiwa tersebut di atas. Setiap seorang muslim meninggal, ahli warisnya akan bicara kepada publik. Intinya: kalau ada urusan utang-piutang dengan almarhum, mohon hubungi pihak keluarga, agar segera diselesaikan. Artinya, apa? Dalam Islam, kematian tidak menggugurkan kewajiban untuk membayar utang. Lebih jauh lagi, urusan utang-piutang adalah masalah besar dalam Islam.
Dalam konteks kreditor, dana yang mereka pinjam adalah dana masyarakat, bukan dana kita pribadi. Nah, siapa yang dizalimi, kalau utang tersebut tidak dikembalikan? Ya, warga yang punya dana. Jika kita tidak mampu menagih utang tersebut, kita sebagai pengelola bank syariah, telah menzalimi yang punya dana. Kita sebagai pegawai bakal ikut merasakan, enggak dapat bonus, enggak dapat gaji, dan lain sebagainya. Mendengar argumen Endy PR Abdurrahman, mereka terkejut sekaligus tersadarkan. Disadarkan oleh bankir yang datang dari bank non-syariah.
Endy membenahi paradigma berpikir dan berbuat tim kerjanya. Dari peristiwa tersebut, saya sampai pada kesimpulan sementara, mereka yang sehari-hari beraktivitas di bank syariah pun, belum sepenuhnya memahami makna syariah secara utuh. Kita tahu, Bank Muamalat Indonesia adalah bank syariah pertama di negeri ini. Bank ini didirikan pada 1 November 1991, 26 tahun yang lalu. Dan, peristiwa itu menunjukkan kepada kita, bahwa sumber daya manusia di perbankan syariah memang masih harus belajar banyak tentang perbankan serta syariah secara utuh.
Syariah Jadi Keluhan
Hal yang juga kerap saya dengar dari beberapa kali mengikuti diskusi tentang perbankan syariah, adalah keluhan. Ya, keluhan. Para bankir syariah atau yang mengklaim diri sebagai pengamat perbankan syariah, seringkali mengeluh tentang minimnya aset perbankan syariah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat per Juni 2016, sektor perbankan syariah memiliki total aset sebesar Rp306,23 triliun. Itu terdiri dari 12 Bank Umum Syariah (BUS), 22 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 165 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Dengan kata lain, aset bank syariah ya di kisaran 5 persen dari total aset bank non-syariah.