Setelah masa remaja itu lewat, saya baru paham, betapa edukasi dari guru mengaji itu, sungguh bernilai. Guru mengaji membuat kami sangat akrab satu dengan yang lain. Saya seringkali merindukan saat-saat bersama dengan teman-teman sepengajian dulu itu. Selain itu, guru mengaji memperkenalkan kepada kami tentang air sebagai kebutuhan padi dan tikus sebagai hama padi. Kalau dalam istilah sekarang, tali air tersebut diposisikan guru kami sebagai asset desa.
Dan, kami sebagai remaja desa, gotong-royong merawat asset desa tersebut. Guru tidak pernah bicara tentang siapa pemilik sawah-sawah yang dilalui tali air tersebut. Kami pun tidak pernah bertanya. Yang kami tahu, ayah kami semua ya petani, yang sehari-hari bekerja di sawah. Yang ditanamkan guru kepada kami adalah gotong-royong ini tujuannya untuk meringankan beban orangtua. Dengan cara langsung praktek, para guru itu turut menumbuhkan kecintaan kami kepada orangtua. Salah satunya, dengan merawat tali air, untuk meringankan beban orangtua.
Seingat saya, guru tidak pernah bicara tentang swasembada pangan. Istilah swasembada pangan ini pun saya pahami jauh kemudian, setelah duduk di bangku kuliah. Yang selalu diungkapkan guru ya meringankan beban orangtua. Ketika bertahun-tahun kemudian, banyak istilah pangan yang masuk ke ingatan saya. Antara lain, rawan pangan, kebutuhan pangan, harga pangan, dan impor pangan. Semua itu membuat saya makin rindu saat-saat gotong-royong dengan teman-teman sepengajian.
Kini, ketika saya pulang kampung, surau itu sudah tidak ada lagi. Yang mengaji masih ada, tapi di masjid. Tidak ada lagi tradisi surau sebagaimana yang saya alami dulu. Guru yang mengajar juga bukan petani lagi tapi guru agama di sekolah yang diperbantukan untuk mengajar ngaji. Itu pun hanya dari waktu ashar ke magrib. Tidak tidur di surau. Dan, ketika suatu kali saya mendatangi tali air yang dulu tiap minggu kami rawat, kini sudah dibeton. Juga, ada pintu-pintu air sudah dibuat dengan agak modern.
Istilah rawan pangan memang tidak dikenal di desa saya. Namun, berbagai wilayah lain, mengalaminya. Sungguh, saya rindu suasana gotong-royong itu. Saya rindu negeri ini kembali swasembada pangan, hingga peringatan Hari Proklamsi makin meriah dari tahun ke tahun.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 17 Agustus 2017