Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Merawat Aliran Air, Berbuat untuk Pangan

17 Agustus 2017   19:26 Diperbarui: 17 Agustus 2017   23:54 877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ini sebagian tali air yang dulu kami rawat secara gotong-royong. Kini sudah dibeton dan air mengalir lancar. Karena gotong-royong ala anak mengaji sudah tidak ada lagi, saya dengar yang merawat kini ya para petani, juga dengan mekanisme gotong-royong. Foto: isson khairul

Ketika saya remaja, negeri ini berlimpah pangan. Itu tahun 1984, saat Indonesia mencapai swasembada pangan. Kala itu, negeri kita menyumbang 100.000 ton gabah kering untuk petani miskin dunia. Dan, saya merasa menjadi bagian dari swasembada pangan itu. Kenapa?

Begini, ceritanya. Saya tinggal di suatu desa di Sumatera Barat. Kami, para remaja desa, belajar mengaji di surau desa. Tiap hari, sejak magrib hingga habis subuh, kami belajar ngaji serta tidur di surau. Setelah itu pulang, kemudian berangkat ke sekolah. Bertahun-tahun seperti itu. Khusus hari Minggu, karena sekolah libur, kami gotong-royong membersihkan surau dan masjid. Selain itu, kami juga gotong-royong membersihkan saluran air, yang mengairi areal persawahan. Karena itulah, saya merasa menjadi bagian dari swasembada pangan itu.

Membawa Cangkul Hari Sabtu

Seingat saya, pada masa itu, ada sekitar 50 remaja desa yang mengaji di surau. Ada yang usianya di atas saya, ada pula yang di bawah saya. Surau itu berupa bangunan rumah panggung, dengan lantai dan dinding terbuat dari kayu. Lokasi surau berdekatan letaknya dengan masjid. Secara fungsi, surau hanya untuk belajar mengaji dan untuk tidur. Semua tidur di lantai kayu beralaskan tikar pandan. Tidak ada kasur, juga tidak ada bantal. Untuk shalat, ya di masjid.

Masjid dan surau di desa saya, berdekatan dengan sungai besar, yang arusnya cukup deras. Tiap pagi, sebelum subuh, kami semua mandi di sungai. Jika pada hari biasa, kami berangkat ke surau sebelum magrib, hanya membawa sarung saja. Tapi, pada hari Sabtu, kami wajib membawa cangkul, parang, dan sabit. Kenapa? Karena, besoknya kan Minggu, sekolah libur. Hari Minggu adalah hari gotong-royong anak mengaji, itu diketahui oleh seluruh warga desa.

Guru mengaji kami adalah petani, yang sehari-hari bekerja di sawah. Saat saya remaja, ada empat orang guru yang mendampingi kami. Semuanya petani. Para guru itu pula yang mendampingi kami melakukan gotong-royong. Tiap hari Minggu, sehabis subuh, dengan peralatan masing-masing, kami berjalan kaki menuju areal persawahan. Guru kemudian menugaskan kami secara berkelompok, membersihkan aliran air. Pada masa itu, aliran air, yang kerap disebut sebagai tali air, berupa tanah.

Selain tali air sudah dibeton, di beberapa tempat juga dibuat pintu air untuk mengatur volume aliran air. Mekanisme yang agak modern dalam pengelolaan air ini, tentu saja turut memudahkan serta meringankan kerja petani sehari-hari. Foto: isson khairul
Selain tali air sudah dibeton, di beberapa tempat juga dibuat pintu air untuk mengatur volume aliran air. Mekanisme yang agak modern dalam pengelolaan air ini, tentu saja turut memudahkan serta meringankan kerja petani sehari-hari. Foto: isson khairul
Rumput di tali air itu cepat sekali tumbuh, hingga menghalangi kelancaran air menuju sawah. Tali air juga cepat sekali dangkal, karena banyak lumpur. Nah, tugas kami adalah membersihkan rumput serta lumpur itu. Agar kelancaran air terjaga, tali air tersebut harus secara teratur dibersihkan. Dan, kami melakukannya secara gotong-royong, tiap hari Minggu. Guru mengaji kami selalu mengatakan bahwa tali air itu adalah sumber kehidupan, agar orang tua kami leluasa menggarap sawah.

Pesta Anak Mengaji

Kami melakukan gotong-royong sampai pukul 10.00 siang. Setelah itu, kami langsung nyebur ke sungai di sebelah surau. Selanjutnya, berganti pakaian. Tahap berikutnya yang selalu kami tunggu bersama adalah makan bersama. Wow, ini benar-benar pesta, pesta anak mengaji. Berbagai makanan dengan lauk-pauk sudah tersaji di surau. Itu adalah makanan kiriman dari ibu-ibu kami sedesa. Kami gotong-royong membersihkan tali air tiap hari Minggu, dengan penuh tulus-ikhlas. Tanpa bayaran, tanpa upah sama sekali.

Yang kami nikmati adalah makan bersama ini. Keempat guru kami selalu mendampingi. Sambil makan, guru bercerita tentang fungsi air untuk sawah. Juga, bercerita tentang apa yang akan terjadi jika padi di sawah kekurangan air. Pada masa remaja itu, saya tidak terlalu paham, cerita guru ya lewat begitu saja di kuping. Saya dan teman-teman sedesa merasa lebih asyik menyantap ini dan itu, mengudap yang sana dan yang sini. Suka-ria makan bersama itu menghapus rasa lelah gotong-royong membersihkan tali air.

Oh, ya, ada juga kalanya di minggu-minggu tertentu kami tidak membersihkan tali air. Libur gotong-royong? Oh, tentu tidak. Sebagai selingan, guru mengajak kami berburu tikus di sawah. Bagi saya dan teman-teman, berburu tikus lebih seru. Caranya, kami memompakan asap ke lubang tikus yang kami temui. Dapat dipastikan, para tikus itu akan lari terbirit-birit dari lubang persembunyiannya. Nah, kami berbagi tugas. Ada yang memompakan asap, ada yang siap mengejar serta menangkap tikus dengan jaring yang sudah disiapkan.

Hamparan sawah yang menghijau, tentu saja menumbuhkan semangat petani untuk terus mengolah sawah. Ini bagian dari upaya untuk meningkatkan hasil panen, yang secara nasional menambah stok pangan. Dengan giatnya petani, bukan tidak mungkin swasembada pangan akan tercapai kembali. Foto: isson khairul
Hamparan sawah yang menghijau, tentu saja menumbuhkan semangat petani untuk terus mengolah sawah. Ini bagian dari upaya untuk meningkatkan hasil panen, yang secara nasional menambah stok pangan. Dengan giatnya petani, bukan tidak mungkin swasembada pangan akan tercapai kembali. Foto: isson khairul
Menjaga Air, Membasmi Hama

Setelah masa remaja itu lewat, saya baru paham, betapa edukasi dari guru mengaji itu, sungguh bernilai. Guru mengaji membuat kami sangat akrab satu dengan yang lain. Saya seringkali merindukan saat-saat bersama dengan teman-teman sepengajian dulu itu. Selain itu, guru mengaji memperkenalkan kepada kami tentang air sebagai kebutuhan padi dan tikus sebagai hama padi. Kalau dalam istilah sekarang, tali air tersebut diposisikan guru kami sebagai asset desa.

Dan, kami sebagai remaja desa, gotong-royong merawat asset desa tersebut. Guru tidak pernah bicara tentang siapa pemilik sawah-sawah yang dilalui tali air tersebut. Kami pun tidak pernah bertanya. Yang kami tahu, ayah kami semua ya petani, yang sehari-hari bekerja di sawah. Yang ditanamkan guru kepada kami adalah gotong-royong ini tujuannya untuk meringankan beban orangtua. Dengan cara langsung praktek, para guru itu turut menumbuhkan kecintaan kami kepada orangtua. Salah satunya, dengan merawat tali air, untuk meringankan beban orangtua.

Seingat saya, guru tidak pernah bicara tentang swasembada pangan. Istilah swasembada pangan ini pun saya pahami jauh kemudian, setelah duduk di bangku kuliah. Yang selalu diungkapkan guru ya meringankan beban orangtua. Ketika bertahun-tahun kemudian, banyak istilah pangan yang masuk ke ingatan saya. Antara lain, rawan pangan, kebutuhan pangan, harga pangan, dan impor pangan. Semua itu membuat saya makin rindu saat-saat gotong-royong dengan teman-teman sepengajian.

Kini, ketika saya pulang kampung, surau itu sudah tidak ada lagi. Yang mengaji masih ada, tapi di masjid. Tidak ada lagi tradisi surau sebagaimana yang saya alami dulu. Guru yang mengajar juga bukan petani lagi tapi guru agama di sekolah yang diperbantukan untuk mengajar ngaji. Itu pun hanya dari waktu ashar ke magrib. Tidak tidur di surau. Dan, ketika suatu kali saya mendatangi tali air yang dulu tiap minggu kami rawat, kini sudah dibeton. Juga, ada pintu-pintu air sudah dibuat dengan agak modern.

Istilah rawan pangan memang tidak dikenal di desa saya. Namun, berbagai wilayah lain, mengalaminya. Sungguh, saya rindu suasana gotong-royong itu. Saya rindu negeri ini kembali swasembada pangan, hingga peringatan Hari Proklamsi makin meriah dari tahun ke tahun.

isson khairul --dailyquest.data@gmail.com

Jakarta, 17 Agustus 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun