"Presiden Jokowi Perintahkan Kapolri Ungkap Kasus Novel Baswedan" tempo.co, "Kapolri: Presiden Minta Kasus Novel Baswedan Dituntaskan Segera" liputan6.com, dan "Novel Baswedan: Perintah Presiden Tidak Dijalankan Polisi" jawapos.com.
Tiga berita dari tiga media itu saja, sudah cukup menggambarkan, betapa negeri ini belum patut disebut sebagai negara hukum. Dengan kata lain, negara hukum baru sebatas istilah, yang tertulis di sejumlah buku dan lembaran, tapi hukum belum bekerja dalam artian yang sesungguhnya. Karena hukum mengacu pada keadilan, maka keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, juga baru sebatas deretan kata-kata.
Kita dalam Ketidakpastian
Membaca ketiga berita di atas, kita langsung tersungkur dalam ketidakpastian. Mereka yang memiliki otoritas di negeri ini, hanya membawa kita dolan ke komedi putar, untuk berputar-putar. Ada yang memutar peristiwa. Ada yang memutarbalikkan kejadian. Dan, ada pula yang menjungkirbalikkan keadilan. Semua mengaku demi negara. Semua mengklaim diri menjaga bangsa. Namun, mereka yang memiliki otoritas di negeri ini, tak kunjung mampu menunjukkan: di mana keadilan itu?
Bagi saya, Novel Baswedan bukan hanya sebuah nama. Ia menjadi simbol perlawanan, sekaligus wujud perlawanan itu sendiri. Ia melawan ketidakadilan, juga melawan perlakuan yang tidak adil. Ia juga melawan mereka yang mengganjal perjuangan untuk mencari keadilan. Maka, berderet-deret nama memusuhinya. Juga, sejumlah institusi dan lembaga mengepalkan tinju ke arahnya. Ada banyak pihak yang hendak mengenyahkannya. Beragam cara sudah dicoba, lengkap dengan berbagai formula. Tapi, Novel Baswedan bagai jarum jam: tak kunjung bisa dihentikan.
Apa yang terpegang hari ini
Bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
Menjadi marabahaya
Menjadi isi kebon binatang
Kita dalam Kesangsian
Setidaknya, ada dua tempat di bumi ini yang menjadi penanda bahwa kita manusia bermartabat. Yang pertama adalah rumah, tempat kita pulang setelah beraktivitas seharian. Di rumah, ada keluarga yang menyambut, yang dengan penuh kasih-sayang, meluruhkan segenap penat. Yang kedua adalah masjid, rumah ibadah, tempat kita bersujud serta berdoa, untuk menyadari bahwa kita adalah makhluk yang diciptakan oleh khalik, Sang Pencipta. Kedua tempat tersebut menjadi makna bagi kemanusiaan kita. Di antara kedua tempat yang penuh makna itulah Novel Baswedan diserang dengan cairan.
Dan, itu bukan serangan yang pertama. Sekali lagi, bukan serangan pertama, tapi serangan untuk kesekian kalinya. Cairan itu mengenai mata dan kepala, dua titik penting di tubuh manusia. Mata untuk melihat dan kepala untuk mengingat. Dengan mata dan kepala itulah Novel Baswedan melakoni profesinya, menyaksikan serta mengingat berjuta kesaksian dari mereka yang tanpa henti membusukkan bangsa ini. Setelah mendapat serangan fajar di antara rumah dan masjid, pada Selasa (11/04/2017) itu, berminggu-minggu kita tidak mendengar suara Novel Baswedan.
Karena kami dibungkam
dan kamu nyerocos bicara
Karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan
maka kami bilang: TIDAK kepadamu
Kita dalam Sikap
Dari suara Novel Baswedan yang sempat saya dengar, saya tahu, ada ketidakpastian serta ada kesangsian. Sebagai sosok yang paham tentang perilaku para pembusuk bangsa ini, Novel Baswedan tidak ingin terjebak ke dalam lorong hukum, yang penuh dengan ranjau pasal. Meski para pemilik otoritas di negeri ini mendorongnya ke arah sana, namun Novel Baswedan sangat paham bahwa para pembusuk bangsa ini, telah menyiapkan skenario untuk membungkamnya. Ini memang sudah setengah jalan. Setidaknya, serangan fajar di antara rumah dan masjid itu, telah memisahkan Novel Baswedan dengan sejumlah kasus yang ditanganinya.
Karena itulah Novel Baswedan bersikap. Mari kita baca ulang ketiga berita di tiga media di atas. "Presiden Jokowi Perintahkan Kapolri Ungkap Kasus Novel Baswedan" dari tempo.co, "Kapolri: Presiden Minta Kasus Novel Baswedan Dituntaskan Segera" dari liputan6.com, dan "Novel Baswedan: Perintah Presiden Tidak Dijalankan Polisi" dari jawapos.com. Dengan sikap berani dan tegas, Novel Baswedan mengatakan Perintah Presiden Tidak Dijalankan Polisi. Di balik ketegasan serta keberanian tersebut, kita tahu, ada hal yang belum sepenuhnya terkuak dan dikuakkan.
Saya jadi ingat kembali WS Rendra. Ia lahir di Solo, 7 November 1935 dan meninggal di Depok, Jawa Barat, pada 6 Agustus 2009, dalam usia 73 tahun. Ini petikan sajaknya Paman Doblang yang ia tulis di Depok, pada 22 April 1981:
Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala
Dan perjuangan
adalah pelaksanaan kata-kata
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 06 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H