Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Novel Baswedan dan Ketidakpastian

6 Agustus 2017   13:22 Diperbarui: 7 Agustus 2017   15:20 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu diserang setelah ia menunaikan shalat subuh, saat ia berjalan kaki dari masjid untuk kembali ke rumahnya pada Selasa (11/04/2017). Hingga hari ini, kasus penyerangan tersebut belum terungkap, masih menyisakan banyak tanda tanya. Foto: laksono hari wiwoho-kompas.com

"Presiden Jokowi Perintahkan Kapolri Ungkap Kasus Novel Baswedan" tempo.co, "Kapolri: Presiden Minta Kasus Novel Baswedan Dituntaskan Segera" liputan6.com, dan "Novel Baswedan: Perintah Presiden Tidak Dijalankan Polisi" jawapos.com.

Tiga berita dari tiga media itu saja, sudah cukup menggambarkan, betapa negeri ini belum patut disebut sebagai negara hukum. Dengan kata lain, negara hukum baru sebatas istilah, yang tertulis di sejumlah buku dan lembaran, tapi hukum belum bekerja dalam artian yang sesungguhnya. Karena hukum mengacu pada keadilan, maka keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, juga baru sebatas deretan kata-kata.

Kita dalam Ketidakpastian
Membaca ketiga berita di atas, kita langsung tersungkur dalam ketidakpastian. Mereka yang memiliki otoritas di negeri ini, hanya membawa kita dolan ke komedi putar, untuk berputar-putar. Ada yang memutar peristiwa. Ada yang memutarbalikkan kejadian. Dan, ada pula yang menjungkirbalikkan keadilan. Semua mengaku demi negara. Semua mengklaim diri menjaga bangsa. Namun, mereka yang memiliki otoritas di negeri ini, tak kunjung mampu menunjukkan: di mana keadilan itu?

Bagi saya, Novel Baswedan bukan hanya sebuah nama. Ia menjadi simbol perlawanan, sekaligus wujud perlawanan itu sendiri. Ia melawan ketidakadilan, juga melawan perlakuan yang tidak adil. Ia juga melawan mereka yang mengganjal perjuangan untuk mencari keadilan. Maka, berderet-deret nama memusuhinya. Juga, sejumlah institusi dan lembaga mengepalkan tinju ke arahnya. Ada banyak pihak yang hendak mengenyahkannya. Beragam cara sudah dicoba, lengkap dengan berbagai formula. Tapi, Novel Baswedan bagai jarum jam: tak kunjung bisa dihentikan.

Novel Baswedan melambaikan tangan saat menuju pesawat yang akan membawanya ke Jakarta di Bandara Fatmawati Soekarno, Bengkulu, pada Sabtu (02/05/2015). Novel dibawa ke Bengkulu oleh penyidik Mabes Polri untuk rekonstruksi kasus dugaan penembakan tersangka pencuri sarang walet tahun 2004. Novel Baswedan menolak mengikuti rekonstruksi tersebut. Foto: heru sri kumoro-kompas
Novel Baswedan melambaikan tangan saat menuju pesawat yang akan membawanya ke Jakarta di Bandara Fatmawati Soekarno, Bengkulu, pada Sabtu (02/05/2015). Novel dibawa ke Bengkulu oleh penyidik Mabes Polri untuk rekonstruksi kasus dugaan penembakan tersangka pencuri sarang walet tahun 2004. Novel Baswedan menolak mengikuti rekonstruksi tersebut. Foto: heru sri kumoro-kompas
Tiap hari, para pemilik otoritas di negeri ini, bersilat lidah tentang Novel Baswedan. Kadang saat pidato, seringkali saat juru warta menyorongkan mic. Apa yang mereka nyatakan hari ini, tidak nyambung dengan apa yang mereka ungkapkan kemarin. Tapi, mereka terus saja bicara, nyerocos tanpa kendali. Padahal, mereka menyandang jabatan, yang sepatutnya sepadan dengan apa yang mereka ucapkan. Atas nama tanggung jawab jabatan, mereka seharusnyan menjelaskan, bukan malah membuat bingung. Saya jadi ingat Willibrordus Surendra Broto Rendra, yang lebih kita kenal sebagai WS Rendra. Ini petikan sajaknya Aku Tulis Pamflet Ini, yang ia tulis di Pejambon, Jakarta, 27 April 1978:

Apa yang terpegang hari ini
Bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
Menjadi marabahaya
Menjadi isi kebon binatang

Kita dalam Kesangsian
Setidaknya, ada dua tempat di bumi ini yang menjadi penanda bahwa kita manusia bermartabat. Yang pertama adalah rumah, tempat kita pulang setelah beraktivitas seharian. Di rumah, ada keluarga yang menyambut, yang dengan penuh kasih-sayang, meluruhkan segenap penat. Yang kedua adalah masjid, rumah ibadah, tempat kita bersujud serta berdoa, untuk menyadari bahwa kita adalah makhluk yang diciptakan oleh khalik, Sang Pencipta. Kedua tempat tersebut menjadi makna bagi kemanusiaan kita. Di antara kedua tempat yang penuh makna itulah Novel Baswedan diserang dengan cairan.

Dan, itu bukan serangan yang pertama. Sekali lagi, bukan serangan pertama, tapi serangan untuk kesekian kalinya. Cairan itu mengenai mata dan kepala, dua titik penting di tubuh manusia. Mata untuk melihat dan kepala untuk mengingat. Dengan mata dan kepala itulah Novel Baswedan melakoni profesinya, menyaksikan serta mengingat berjuta kesaksian dari mereka yang tanpa henti membusukkan bangsa ini. Setelah mendapat serangan fajar di antara rumah dan masjid, pada Selasa (11/04/2017) itu, berminggu-minggu kita tidak mendengar suara Novel Baswedan.

Novel Baswedan bersama pengacaranya bertemu Komisioner Ombudsman, di Jakarta Selatan, pada Rabu (06/05/2015). Novel bersama pengacaranya melaporkan dugaan maladministrasi dalam penahanan dan penangkapan dirinya. Foto: herudin-tribunnews
Novel Baswedan bersama pengacaranya bertemu Komisioner Ombudsman, di Jakarta Selatan, pada Rabu (06/05/2015). Novel bersama pengacaranya melaporkan dugaan maladministrasi dalam penahanan dan penangkapan dirinya. Foto: herudin-tribunnews
Sebaliknya, para pemilik otoritas di negeri ini, bersuara tanpa henti. Menebarkan berbagai dugaan, sekaligus menyerang Novel Baswedan dengan beragam tuduhan. Sungguh menyesakkan. Bahkan dalam kondisi terbaring, bahkan dalam keadaan kedua mata tertutup, para pembusuk bangsa ini masih terus menyerang. Beberapa minggu kemudian, kita mendengar suara Novel Baswedan. Dengan tangkas, para pemilik otoritas di negeri ini, menyuruh Novel Baswedan agar puasa bicara, agar berhenti berkata-kata. Semua itu menimbulkan kesangsian. Saya jadi ingat kembali WS Rendra. Ini petikan karyanya "Sajak Orang Kepanasan", yang ia tulis di tahun 1965:

Karena kami dibungkam
dan kamu nyerocos bicara
Karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan
maka kami bilang: TIDAK kepadamu

Kita dalam Sikap
Dari suara Novel Baswedan yang sempat saya dengar, saya tahu, ada ketidakpastian serta ada kesangsian. Sebagai sosok yang paham tentang perilaku para pembusuk bangsa ini, Novel Baswedan tidak ingin terjebak ke dalam lorong hukum, yang penuh dengan ranjau pasal. Meski para pemilik otoritas di negeri ini mendorongnya ke arah sana, namun Novel Baswedan sangat paham bahwa para pembusuk bangsa ini, telah menyiapkan skenario untuk membungkamnya. Ini memang sudah setengah jalan. Setidaknya, serangan fajar di antara rumah dan masjid itu, telah memisahkan Novel Baswedan dengan sejumlah kasus yang ditanganinya.

Karena itulah Novel Baswedan bersikap. Mari kita baca ulang ketiga berita di tiga media di atas. "Presiden Jokowi Perintahkan Kapolri Ungkap Kasus Novel Baswedan" dari tempo.co, "Kapolri: Presiden Minta Kasus Novel Baswedan Dituntaskan Segera" dari liputan6.com, dan "Novel Baswedan: Perintah Presiden Tidak Dijalankan Polisi" dari jawapos.com. Dengan sikap berani dan tegas, Novel Baswedan mengatakan Perintah Presiden Tidak Dijalankan Polisi. Di balik ketegasan serta keberanian tersebut, kita tahu, ada hal yang belum sepenuhnya terkuak dan dikuakkan.

Novel Baswedan kerap menggunakan sepeda motor dari rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, ke kantornya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jl. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Perjuangan untuk memberantas korupsi dan untuk menegakkan keadilan di negeri ini adalah perjuangan yang masih sangat panjang. Foto: herudin-tribunnews
Novel Baswedan kerap menggunakan sepeda motor dari rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, ke kantornya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jl. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Perjuangan untuk memberantas korupsi dan untuk menegakkan keadilan di negeri ini adalah perjuangan yang masih sangat panjang. Foto: herudin-tribunnews
Karena, sejak serangan fajar terhadap Novel Baswedan di antara rumah dan masjid, pada Selasa (11/04/2017) itu, yang timbul adalah kesimpangsiuran. Ada ketidakpastian, kesangsian. Para pemilik otoritas di negeri ini menolak tim gabungan pencari fakta, meski mereka hingga detik ini belum menemukan fakta yang relevan. Makin banyak sketsa dibuat, ketidakpastian serta kesangsian makin membubung ke langit. Kemudian, buyar di angkasa. Ketidakpastian serta kesangsian, tentu tidak datang dengan sendirinya. Ada kesadaran yang melatarinya. Ada ingatan kolektif yang mendasarinya. Karena, para pembusuk bangsa ini, ada di banyak lini, bahkan di tempat yang tidak terjangkau hati nurani.

Saya jadi ingat kembali WS Rendra. Ia lahir di Solo, 7 November 1935 dan meninggal di Depok, Jawa Barat, pada 6 Agustus 2009, dalam usia 73 tahun. Ini petikan sajaknya Paman Doblang yang ia tulis di Depok, pada 22 April 1981:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun