Sebanyak 80 perajin ikan asin berhenti berproduksi. 800 buruh ikan asin langsung jadi pengangguran. Dan, 90.000 Km pesisir pantai kita jadi penuh tanda tanya: kenapa?
Kita tahu, harga garam sedang melonjak tinggi. Garam beryodium bermerek Zebra, misalnya. Dalam hitungan minggu, harganya melompat dari Rp 15 ribu menjadi Rp 25 ribu, kemudian saat ini sudah di harga Rp 77 ribu. Itu harga per bal, isi 10 bungkus. Itu garam konsumsi. Garam untuk pengasinan ikan, yang semula Rp 1.000 per kilogram, kini melonjak menjadi Rp 5.000. Karena itulah para perajin ikan asin di Tegal, Jawa Tengah, tersebut berhenti berproduksi. Modal mereka tidak cukup untuk membeli garam, demi menjalankan usaha.
Reaktif, Bukan Antisipatif
Lonjakan harga garam, karena pasokan berkurang. Produksi garam dalam negeri menurun drastis. Salah satu penyebabnya, karena cuaca tidak menentu. "Saat ini terjadi anomali iklim, dari awal tahun," ujar Brahmantya Satyamurti, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam jumpa pers di kantor KKP, Jakarta Pusat, pada Rabu (26/07/2017).
Produksi garam sesungguhnya adalah usaha rakyat, yang disebut sebagai petani garam. Di Sampang, Madura, Jawa Timur, misalnya. Ini salah satu sentra produksi garam terluas di Indonesia. Lahan milik petani garam 4.200 hektar, sedangkan milik PT Garam hanya 1.100 hektar. Anomali cuaca tentulah sangat memukul mereka, karena tidak bisa berproduksi maksimal.
Menurut saya, ini tindakan reaktif, bukan antisipatif. Jika saja verifikasi itu dilakukan di awal tahun, di awal terjadinya anomali iklim, tentu sudah dilakukan eksekusi untuk mengatasi kelangkaan garam seperti saat ini. Lonjakan harga bisa diminimalkan. Artinya, para perajin ikan asin tidak sampai berhenti berproduksi dan para pekerja ikan asin tidak sampai menganggur. Efek domino terhadap usaha rakyat tersebut hendaknya menjadi prioritas KKP, sebagai bagian dari upaya untuk melindungi rakyat.
Data Garam, Satgas Garam
Data tentang kebutuhan garam nasional, baik garam industri maupun garam konsumsi, nampaknya masih simpang-siur. Akurasinya lemah, transparansinya rendah. Akhir Desember 2016, misalnya, hasil rapat lintas instansi pemerintah merencanakan impor garam konsumsi tahun 2017 sebanyak 226.124 ton. Impor itu dilakukan dalam tiga tahap. Kini, di pertengahan 2017, terjadi kelangkaan garam dan lonjakan harga. Sementara, KKP baru akan melakukan verifikasi terhadap kebutuhan garam nasional.
Artinya, tahapan impor tersebut, tidak antisipatif. Tidak menjawab kebutuhan warga dan dunia usaha akan garam. Apakah tidak ada pengawasan di lapangan, untuk mengetahui kondisi terkini? Pada Selasa (10/01/2017), Brahmantya Satyamurti menegaskan, "Sekarang sudah ada Satuan Tugas (Satgas) Lintas Kementerian, untuk mengawasi pergerakan impor garam." Sampai di sini kita tahu, bukan hanya akurasi data tentang garam yang lemah. Pengawasan di lapangan pun kurang berkualitas.
Urusan garam nampaknya memang masih simpang-siur. Ini tentu tidak bisa dibiarkan, karena menyangkut banyak pihak. Bukan hanya sekadar garam untuk kebutuhan memasak sehari-hari, tapi untuk kebutuhan usaha rakyat dan industri, yang sekaligus menyangkut keberlangsungan serapan tenaga kerja. Cucu Sutara, Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI), pada Selasa (14/02/2017) mengatakan, kebutuhan garam untuk industri dibagi menjadi dua kluster yakni kebutuhan garam untuk industri pangan dan industri non-pangan. Rinciannya, untuk industri makanan dan minuman mencapai 450 ribu ton per tahun, pengasinan 400 ribu ton per tahun, dan untuk penyamakan 50 ribu ton per tahun.
750 Ribu dan 3 Juta Ton
Lebih jauh, Cucu Sutara memaparkan bahwa grand total kebutuhan garam untuk konsumsi di Indonesia per tahunnya mencapai 750 ribu ton, sementara untuk kebutuhan industri mencapai sekitar 3 juta ton per tahun. Dari kebutuhan tersebut kita tahu, industri garam sesungguhnya adalah industri yang memiliki prospek cerah secara ekonomi. Juga, berprospek dalam penyerapan tenaga kerja. Apalagi negeri kita memiliki 90.000 kilometer pesisir pantai, sebagai modal alam untuk mengembangkan industri garam.
Sekali lagi, apa yang dikemukakan Brahmantya Satyamurti, Ir. Sujono MM., Cucu Sutara di atas, memperlihatkan kepada kita bahwa urusan garam di negeri ini masih simpang-siur. Apa yang direncanakan, apa yang dicatat dalam perencanaan, serta apa yang terjadi di lapangan jauh panggang dari api. Barangkali kesimpangsiuran tentang garam tersebut memang sengaja diciptakan oleh pihak-pihak tertentu, sebagai bagian dari permainan bisnis untuk meraup keuntungan pribadi maupun kelompok.
Dan, itu terbukti ketika Satgas Pangan Dirtipideksus Bareskrim Polri menangkap Direktur Utama PT Garam, Achmad Budiono, pada Sabtu (10/06/2017) siang. Ia menyalahgunakan importasi garam. Ia mengimpor garam industri, tapi kemudian mendistribusikannya sebagai garam konsumsi. Maka, menjadi jelas bagi kita, kenapa kesimpangsiuran tentang garam dibiarkan berlarut-larut, selama bertahun-tahun. Para petani garam tak kunjung sejahtera. Para perajin ikan asin terpaksa berhenti berproduksi. Para pekerja ikan asin tercampak, menjadi pengangguran.
Semua itu mengingatkan saya pada lakon Opera Ikan Asin dari Teater Koma. Sudah tiga kali saya menyaksikan lakon itu, terakhir pada Kamis (02/03/2017) di Ciputra Artpreneur, Jakarta. Lakon ini disadur dari The Threepenny Opera karya Bertolt Brecht. "Lagi-lagi kita bicara soal korupsi, itu kan aneh. Setelah sekian tahun, yang kita bicarakan lagi-lagi itu, dan memang tidak berubah," ujar Nano Riantiarno, sang sutradara, sambil tertawa. Mas Nano, demikian saya menyapanya, adalah tokoh teater yang lahir di Cirebon, Jawa Barat, pada 6 Juni 1949. Oh, ya, para perajin ikan asin di Cirebon mengaku, sudah tujuh bulan terakhir, kesulitan mencari garam.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 27 Juli 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H