Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Naiknya Harga Garam: Ikan Asin vs Opera Ikan Asin

27 Juli 2017   12:10 Diperbarui: 31 Juli 2017   04:30 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelangkaan garam dan lonjakan harga garam, juga dialami perajin ikan asin di Pulau Pasaran, Bandarlampung, Provinsi Lampung. Sebelumnya, harga garam Rp 1.000 per kilogram, kini melonjak menjadi Rp 5.000. Untuk mengasinkan ikan teri sebanyak 100 kilogram, dibutuhkan garam minimal 50 kilogram. Bila jumlah garam dikurangi, ikan asin tersebut akan mudah busuk. Foto: antaranews.com

Sekali lagi, apa yang dikemukakan Brahmantya Satyamurti, Ir. Sujono MM., Cucu Sutara di atas, memperlihatkan kepada kita bahwa urusan garam di negeri ini masih simpang-siur. Apa yang direncanakan, apa yang dicatat dalam perencanaan, serta apa yang terjadi di lapangan jauh panggang dari api. Barangkali kesimpangsiuran tentang garam tersebut memang sengaja diciptakan oleh pihak-pihak tertentu, sebagai bagian dari permainan bisnis untuk meraup keuntungan pribadi maupun kelompok.

Dan, itu terbukti ketika Satgas Pangan Dirtipideksus Bareskrim Polri menangkap Direktur Utama PT Garam, Achmad Budiono, pada Sabtu (10/06/2017) siang. Ia menyalahgunakan importasi garam. Ia mengimpor garam industri, tapi kemudian mendistribusikannya sebagai garam konsumsi. Maka, menjadi jelas bagi kita, kenapa kesimpangsiuran tentang garam dibiarkan berlarut-larut, selama bertahun-tahun. Para petani garam tak kunjung sejahtera. Para perajin ikan asin terpaksa berhenti berproduksi. Para pekerja ikan asin tercampak, menjadi pengangguran.

Semua itu mengingatkan saya pada lakon Opera Ikan Asin dari Teater Koma. Sudah tiga kali saya menyaksikan lakon itu, terakhir pada Kamis (02/03/2017) di Ciputra Artpreneur, Jakarta. Lakon ini disadur dari The Threepenny Opera karya Bertolt Brecht. "Lagi-lagi kita bicara soal korupsi, itu kan aneh. Setelah sekian tahun, yang kita bicarakan lagi-lagi itu, dan memang tidak berubah," ujar Nano Riantiarno, sang sutradara, sambil tertawa. Mas Nano, demikian saya menyapanya, adalah tokoh teater yang lahir di Cirebon, Jawa Barat, pada 6 Juni 1949. Oh, ya, para perajin ikan asin di Cirebon mengaku, sudah tujuh bulan terakhir, kesulitan mencari garam.

isson khairul --dailyquest.data@gmail.com

Jakarta, 27 Juli 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun