Sekali lagi, apa yang dikemukakan Brahmantya Satyamurti, Ir. Sujono MM., Cucu Sutara di atas, memperlihatkan kepada kita bahwa urusan garam di negeri ini masih simpang-siur. Apa yang direncanakan, apa yang dicatat dalam perencanaan, serta apa yang terjadi di lapangan jauh panggang dari api. Barangkali kesimpangsiuran tentang garam tersebut memang sengaja diciptakan oleh pihak-pihak tertentu, sebagai bagian dari permainan bisnis untuk meraup keuntungan pribadi maupun kelompok.
Dan, itu terbukti ketika Satgas Pangan Dirtipideksus Bareskrim Polri menangkap Direktur Utama PT Garam, Achmad Budiono, pada Sabtu (10/06/2017) siang. Ia menyalahgunakan importasi garam. Ia mengimpor garam industri, tapi kemudian mendistribusikannya sebagai garam konsumsi. Maka, menjadi jelas bagi kita, kenapa kesimpangsiuran tentang garam dibiarkan berlarut-larut, selama bertahun-tahun. Para petani garam tak kunjung sejahtera. Para perajin ikan asin terpaksa berhenti berproduksi. Para pekerja ikan asin tercampak, menjadi pengangguran.
Semua itu mengingatkan saya pada lakon Opera Ikan Asin dari Teater Koma. Sudah tiga kali saya menyaksikan lakon itu, terakhir pada Kamis (02/03/2017) di Ciputra Artpreneur, Jakarta. Lakon ini disadur dari The Threepenny Opera karya Bertolt Brecht. "Lagi-lagi kita bicara soal korupsi, itu kan aneh. Setelah sekian tahun, yang kita bicarakan lagi-lagi itu, dan memang tidak berubah," ujar Nano Riantiarno, sang sutradara, sambil tertawa. Mas Nano, demikian saya menyapanya, adalah tokoh teater yang lahir di Cirebon, Jawa Barat, pada 6 Juni 1949. Oh, ya, para perajin ikan asin di Cirebon mengaku, sudah tujuh bulan terakhir, kesulitan mencari garam.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 27 Juli 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H