Sungai adalah salah satu sisi penting dari kehidupan Bung Karno. Selama empat tahun masa pengasingan di Kota Ende, ia kerap mandi di sungai. Sembari berendam, Bung Karno bercengkerama dengan rakyat, menularkan semangat perjuangan untuk kemerdekaan.
Maka, bila sekali waktu datang ke Kota Ende, sempatkanlah ke Sungai Nangaba. Sungai ini berada di Kabupaten Ende, di selatan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Ya, di sungai itulah Bung Karno kerap berendam bersama rakyat setempat, sembari berbagi cerita tentang pentingnya kemerdekaan. Pada masa pembuangan antara tahun 1934-1938 itu, kawasan seputar Sungai Nangaba sungguh rimbun. Berbagai jenis tanaman liar, tumbuh subur dengan sendirinya. Airnya jernih, banyak bebatuan, dan tidak begitu dalam. Jadi, pada masa itu, betapa enjoy-nya Bung Karno berendam di sana.
Bung Karno dan Sungai Kehidupan
Dari Rumah Pengasingan Bung Karno di Kota Ende, Sungai Nangaba hanya berjarak sekitar delapan kilometer. Untuk ukuran masa lalu, mungkin itu jarak yang cukup jauh. Sekarang, sungai itu relatif dekat untuk dijangkau dengan kendaraan bermotor dari Kota Ende. Sungai Nangaba cukup panjang, sekitar 22 kilometer. Ada sejumlah wilayah yang dilintasi, antara lain, Kecamatan Ende melalui  Desa Mbotutenda, Desa Ja Moke Asa, Desa Riaraja, Desa Rukuramba, dan Desa Ndetundora II. Juga, melewati Kecamatan Ende Utara, khususnya Desa Borokanda.
Ketika beberapa waktu lalu saya berkunjung ke sana, airnya masih jernih, bebatuan pun masih cukup banyak. Tapi sayang, sampah plastik mulai bertebaran di sana-sini. Meski demikian, ada yang menggembirakan: sepanjang bantaran Sungai Nangaba telah dimanfaatkan masyarakat untuk menanam berbagai jenis tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis. Antara lain, mangga, nangka, rambutan, kopi, coklat, kacang panjang, ubi, pisang, pepaya, dan jagung. Juga, ada tanaman keras yang nilai ekonominya lebih: sengon, mahoni, dan cengkeh.
Bung Karno dan Tepian Sungai
Oh, ya, Bung Karno sudah mengenal sungai sejak dalam kandungan. Ia langsung menghirup udara dari sungai di awal kelahirannya. Ini bila kita korelasikan dengan Surabaya sebagai kota kelahiran Bung Karno. Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, pada 6 Juni 2011, telah menetapkan bahwa rumah yang berada di Jalan Peneleh, Gang IV, No. 40 atau sering disebut sebagai Gang Pandean, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, adalah rumah kelahiran Bung Karno.
Kita tahu, ayah Bung Karno adalah Raden Soekemi Sosrodiharjo. Ia seorang guru, yang kala itu mendapat tugas mengajar di Singaraja, Bali. Di sana, sang ayah menikahi Ida Ayu Nyoman Rai Srimben. Kemudian, mereka memutuskan pindah ke Surabaya. Keduanya naik kapal ke Tanjung Perak, Surabaya, selanjutnya dengan perahu menyusuri Sungai Kalimas, masuk kota, dan berhenti di Dermaga Peneleh, di tepian Sungai Kalimas, anak Kali Surabaya. Kampung Peneleh masa itu sudah dikenal sebagai kawasan yang banyak dihuni oleh warga asal Bali. Makanya kawasan itu kerap juga disebut Kampung Bali.
Sungai untuk Ketahanan Pangan
Dengan terus memandang aliran Sungai Nangaba yang jernih, saya teringat tesis Meilani Safira Indradewa, Â Potensi dan Upaya Penanggulangan Bencana Banjir Sungai Wolowona, Nangaba, dan Kaliputih di Kabupaten Ende. Tesis tersebut ia tulis pada Maret tahun 2008, Â untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister pada Program Studi Ilmu Lingkungan Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah. Â Meilani Safira Indradewa menuliskan, sungai-sungai yang mengalir ke utara dan selatan di Kabupaten Ende, sebagian merupakan sungai musiman. Artinya, pada musim penghujan sering terjadi banjir dan pada musim kemarau terjadi kekeringan.
Secara spesifik, bentuk alur sungainya berkelok-kelok atau meandering dari hulu sampai hilir. Kondisi ini sangat berpengaruh pada jenis dan karakteristik alirannya. Barangkali, karakter sungai yang demikian, tidak beda jauh dengan sungai-sungai lain di Pulau Flores pada umumnya. Dan, itulah yang terjadi di Kabupaten Nagekeo, kabupaten yang bertetangga dengan Kabupaten Ende, pada 29 April 1973. Hujan ekstrem mengguyur wilayah itu terus-menerus selama tiga hari tiga malam. Banjir bandang pun terjadi, nyaris menenggelamkan Nagekeo.
Kapasitas distribusi air dari bendungan itu 7.800 liter per detik, mampu mengairi areal persawahan seluas 6.500 hektar. Artinya, keberadaan bendungan ini tentulah sangat bermanfaat bagi para petani. Dampak positif lanjutannya adalah turut meningkatkan ketahanan pangan bagi penduduk wilayah tersebut. Produk pangan yang bernilai ekonomi, secara bertahap juga turut meningkatkan taraf perekonomian masyarakat.
Sungai untuk Kedaulatan Pangan
Ketahanan pangan yang kuat, menjadi modal bagi kedaulatan pangan. Berdaulat artinya produksi pangan kita mampu memenuhi kebutuhan warga sendiri. Tidak bergantung lagi pada impor pangan dari negara lain. Inilah yang dicita-citakan Bung Karno, yang dengan penuh semangat diungkapkan Bung Karno dalam Pidato Trisakti tahun 1963. Inti dari Pidato Trisakti itu: berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya.
Kita tahu, untuk mewujudkan kedaulatan pangan, demi berdikari secara ekonomi, Presiden Joko Widodo sejak awal pemerintahannya, mencanangkan program 3 Dimensi Pembangunan. Salah satunya, Dimensi Pembangunan Sektor Unggulan, yang meliputi Kedaulatan Pangan, Kedaulatan Energi & Ketenagalistrikan, Kemaritiman dan Kelautan, serta Pariwisata dan Industri.
Tujuh Waduk untuk Kesejahteraan
Secara keseluruhan, ada tujuh waduk raksasa di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dibangun pemerintahan Joko Widodo, yang dijadwalkan rampung dalam lima tahun ke depan. Ketujuh waduk itu: Raknamo dan Manikin di Kabupaten Kupang, Kolhua di Kota Kupang, Rotiklot di Kabupaten Belu, Napungete di Kabupaten Sikka, Lambo di Kabupaten Nagekeo, serta Temef di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Ketujuh waduk tersebut masih terus dikerjakan, ketika saya berkunjung ke Sungai Nangaba. Cukup lama saya mencermati aliran Sungai Nangaba yang jernih, sembari memperkuat ingatan tentang Bung Karno yang kerap berendam di sana. Saya perkirakan, lahan pertanian dan perladangan di Nusa Tenggara Timur akan tumbuh subur. Hal ini tentu saja akan memakmurkan rakyat, berdikari secara ekonomi, sebagaimana cita-cita Bung Karno dalam Pidato Trisakti tahun 1963.
isson khairul –dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 2 Juni 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H