Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bung Karno, Sungai Kehidupan, dan Kedaulatan Pangan

2 Juni 2017   04:42 Diperbarui: 11 Juni 2017   04:55 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ini bahasan tentang Pidato Trisakti Bung Karno yang saya petik dari tempo.co berjudul Falsafah Nawa Cita, pada Sabtu, 04 Oktober 2014 | 02:19 WIB. Narasi ini berupaya menjabarkan, bagaimana mengimplementasikan gagasan Bung Karno dengan kondisi kekinian bangsa di era globalisasi. Foto: tempo.co

Sungai adalah salah satu sisi penting dari kehidupan Bung Karno. Selama empat tahun masa pengasingan di Kota Ende, ia kerap mandi di sungai. Sembari berendam, Bung Karno bercengkerama dengan rakyat, menularkan semangat perjuangan untuk kemerdekaan.

Maka, bila sekali waktu datang ke Kota Ende, sempatkanlah ke Sungai Nangaba. Sungai ini berada di Kabupaten Ende, di selatan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Ya, di sungai itulah Bung Karno kerap berendam bersama rakyat setempat, sembari berbagi cerita tentang pentingnya kemerdekaan. Pada masa pembuangan antara tahun 1934-1938 itu, kawasan seputar Sungai Nangaba sungguh rimbun. Berbagai jenis tanaman liar, tumbuh subur dengan sendirinya. Airnya jernih, banyak bebatuan, dan tidak begitu dalam. Jadi, pada masa itu, betapa enjoy-nya Bung Karno berendam di sana.

Bung Karno dan Sungai Kehidupan

Dari Rumah Pengasingan Bung Karno di Kota Ende, Sungai Nangaba hanya berjarak sekitar delapan kilometer. Untuk ukuran masa lalu, mungkin itu jarak yang cukup jauh. Sekarang, sungai itu relatif dekat untuk dijangkau dengan kendaraan bermotor dari Kota Ende. Sungai Nangaba cukup panjang, sekitar 22 kilometer. Ada sejumlah wilayah yang dilintasi, antara lain, Kecamatan Ende melalui   Desa Mbotutenda, Desa Ja Moke Asa, Desa Riaraja, Desa Rukuramba, dan Desa Ndetundora II. Juga, melewati Kecamatan Ende Utara, khususnya Desa Borokanda.

Ketika beberapa waktu lalu saya berkunjung ke sana, airnya masih jernih, bebatuan pun masih cukup banyak. Tapi sayang, sampah plastik mulai bertebaran di sana-sini. Meski demikian, ada yang menggembirakan: sepanjang bantaran Sungai Nangaba telah dimanfaatkan masyarakat untuk menanam berbagai jenis tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis. Antara lain, mangga, nangka, rambutan, kopi, coklat, kacang panjang, ubi, pisang, pepaya, dan jagung. Juga, ada tanaman keras yang nilai ekonominya lebih: sengon, mahoni, dan cengkeh.

Beginilah kondisi Sungai Nangaba pada musim kering. Kita bisa melihat banyaknya pepohonan yang memiliki nilai ekonomi, yang ditanam warga di sepanjang bantaran sungai. Sebaliknya, bila musim hujan, sungai ini penuh dengan air. Bahkan melimpah. Karena itu peran bendungan untuk menampung air, menjadi vital demi keberlangsungan aktivitas pertanian, perladangan, dan peternakan di kawasan ini. Foto: ooyi.wordpress.com
Beginilah kondisi Sungai Nangaba pada musim kering. Kita bisa melihat banyaknya pepohonan yang memiliki nilai ekonomi, yang ditanam warga di sepanjang bantaran sungai. Sebaliknya, bila musim hujan, sungai ini penuh dengan air. Bahkan melimpah. Karena itu peran bendungan untuk menampung air, menjadi vital demi keberlangsungan aktivitas pertanian, perladangan, dan peternakan di kawasan ini. Foto: ooyi.wordpress.com
Memandang aliran Sungai Nangaba yang jernih, mencermati beragam jenis tanaman yang bernilai ekonomis di bantarannya, saya mencoba mereka-reka percakapan Bung Karno dengan rakyat di sana pada tahun 1934-1938 itu. Saya yakin, di antara perbincangan tentang perjuangan kemerdekaan, tentulah Bung Karno juga bicara tentang ekonomi kerakyatan. Ia tentu tak lupa memotivasi rakyat untuk berjuang meraih kesejahteraan. Salah satunya, dengan mengolah air dan tanah di sepanjang Sungai Nangaba, untuk menghasilkan pangan, melalui aktivitas pertanian serta kegiatan perladangan.

Bung Karno dan Tepian Sungai

Oh, ya, Bung Karno sudah mengenal sungai sejak dalam kandungan. Ia langsung menghirup udara dari sungai di awal kelahirannya. Ini bila kita korelasikan dengan Surabaya sebagai kota kelahiran Bung Karno. Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, pada 6 Juni 2011, telah menetapkan bahwa rumah yang berada di Jalan Peneleh, Gang IV, No. 40 atau sering disebut sebagai Gang Pandean, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, adalah rumah kelahiran Bung Karno.

Kita tahu, ayah Bung Karno adalah Raden Soekemi Sosrodiharjo. Ia seorang guru, yang kala itu mendapat tugas mengajar di Singaraja, Bali. Di sana, sang ayah menikahi Ida Ayu Nyoman Rai Srimben. Kemudian, mereka memutuskan pindah ke Surabaya. Keduanya naik kapal ke Tanjung Perak, Surabaya, selanjutnya dengan perahu menyusuri Sungai Kalimas, masuk kota, dan berhenti di Dermaga Peneleh, di tepian Sungai Kalimas, anak Kali Surabaya. Kampung Peneleh masa itu sudah dikenal sebagai kawasan yang banyak dihuni oleh warga asal Bali. Makanya kawasan itu kerap juga disebut Kampung Bali.

Rumah Kelahiran Bung Karno di Peneleh ini sudah ditetapkan Pemerintah Kota Surabaya sebagai Bangunan Cagar Budaya. Untuk memperingati kelahiran Pancasila pada 1 Juni, bila tidak memungkinkan untuk datang ke Ende, tak ada salahnya singgah ke sini. Foto: kompas.com
Rumah Kelahiran Bung Karno di Peneleh ini sudah ditetapkan Pemerintah Kota Surabaya sebagai Bangunan Cagar Budaya. Untuk memperingati kelahiran Pancasila pada 1 Juni, bila tidak memungkinkan untuk datang ke Ende, tak ada salahnya singgah ke sini. Foto: kompas.com
Di rumah di Jalan Peneleh, Gang IV, No. 40 itulah Bung Karno lahir. Lokasinya di tepi Sungai Kalimas. Dengan kata lain, sejak awal kelahirannya, Bung Karno sesungguhnya sudah mengenal sungai. Gemericik air sungai, warga yang memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan kehidupan, adalah bagian dari keseharian Bung Karno masa kecil. Maka, tatkala ia diasingkan ke Kota Ende, Bung Karno dengan leluasa beradaptasi untuk berendam di aliran Sungai Nangaba.

Sungai untuk Ketahanan Pangan

Dengan terus memandang aliran Sungai Nangaba yang jernih, saya teringat tesis Meilani Safira Indradewa,  Potensi dan Upaya Penanggulangan Bencana Banjir Sungai Wolowona, Nangaba, dan Kaliputih di Kabupaten Ende. Tesis tersebut ia tulis pada Maret tahun 2008,  untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister pada Program Studi Ilmu Lingkungan Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah.  Meilani Safira Indradewa menuliskan, sungai-sungai yang mengalir ke utara dan selatan di Kabupaten Ende, sebagian merupakan sungai musiman. Artinya, pada musim penghujan sering terjadi banjir dan pada musim kemarau terjadi kekeringan.

Secara spesifik, bentuk alur sungainya berkelok-kelok atau meandering dari hulu sampai hilir. Kondisi ini sangat berpengaruh pada jenis dan karakteristik alirannya. Barangkali, karakter sungai yang demikian, tidak beda jauh dengan sungai-sungai lain di Pulau Flores pada umumnya. Dan, itulah yang terjadi di Kabupaten Nagekeo, kabupaten yang bertetangga dengan Kabupaten Ende, pada 29 April 1973. Hujan ekstrem mengguyur wilayah itu terus-menerus selama tiga hari tiga malam. Banjir bandang pun terjadi, nyaris menenggelamkan Nagekeo.

Salah satu sisi Bendungan Nagekeo. Bendungan ini selesai bulan November tahun 1975, mampu menampung 88 aliran sungai di kawasan itu. Karena bendungan ini sudah tua, fungsinya pun mulai menurun. Makanya, perlu direvitalisasi agar kapasitas serta fungsinya bisa dimaksimalkan. Foto: iskandar zulkarnain
Salah satu sisi Bendungan Nagekeo. Bendungan ini selesai bulan November tahun 1975, mampu menampung 88 aliran sungai di kawasan itu. Karena bendungan ini sudah tua, fungsinya pun mulai menurun. Makanya, perlu direvitalisasi agar kapasitas serta fungsinya bisa dimaksimalkan. Foto: iskandar zulkarnain
Air yang melimpah menjadi bencana, terus mengalir ke laut. Untuk mencegah bencana serta untuk memanfaatkan air tersebut bagi pertanian, dibangunlah bendungan. Lokasinya di Mbay, ibu kota Kabupaten Nagekeo. Bendungan tersebut selesai bulan November tahun 1975, yang mampu menampung 88 aliran sungai di kawasan itu. Menteri Pekerjaan Umum yang mengeksekusi proyek tersebut adalah Ir. Sutami. Karena itu, Bendungan Mbay juga dikenal masyarakat setempat sebagai Bendungan Sutami.

Kapasitas distribusi air dari bendungan itu 7.800 liter per detik, mampu mengairi areal persawahan seluas 6.500 hektar. Artinya, keberadaan bendungan ini tentulah sangat bermanfaat bagi para petani. Dampak positif lanjutannya adalah turut meningkatkan ketahanan pangan bagi penduduk wilayah tersebut. Produk pangan yang bernilai ekonomi, secara bertahap juga turut meningkatkan taraf perekonomian masyarakat.

Sungai untuk Kedaulatan Pangan

Ketahanan pangan yang kuat, menjadi modal bagi kedaulatan pangan. Berdaulat artinya produksi pangan kita mampu memenuhi kebutuhan warga sendiri. Tidak bergantung lagi pada impor pangan dari negara lain. Inilah yang dicita-citakan Bung Karno, yang dengan penuh semangat diungkapkan Bung Karno dalam Pidato Trisakti tahun 1963. Inti dari Pidato Trisakti itu: berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya.

Ini bahasan tentang Pidato Trisakti Bung Karno yang saya petik dari tempo.co berjudul Falsafah Nawa Cita, pada Sabtu, 04 Oktober 2014 | 02:19 WIB. Narasi ini berupaya menjabarkan, bagaimana mengimplementasikan gagasan Bung Karno dengan kondisi kekinian bangsa di era globalisasi. Foto: tempo.co
Ini bahasan tentang Pidato Trisakti Bung Karno yang saya petik dari tempo.co berjudul Falsafah Nawa Cita, pada Sabtu, 04 Oktober 2014 | 02:19 WIB. Narasi ini berupaya menjabarkan, bagaimana mengimplementasikan gagasan Bung Karno dengan kondisi kekinian bangsa di era globalisasi. Foto: tempo.co
Cita-cita Bung Karno tersebut masih terus diperjuangkan sampai sekarang. Antara lain, dengan membangun infrastruktur. Dalam konteks kedaulatan pangan, infrastruktur pertanian kita memang masih terbatas. Padahal, kita memiliki banyak sungai dan banyak danau, tapi belum termanfaatkan secara maksimal. Baik untuk pertanian maupun untuk pembangkit listrik.

Kita tahu, untuk mewujudkan kedaulatan pangan, demi berdikari secara ekonomi, Presiden Joko Widodo sejak awal pemerintahannya, mencanangkan program 3 Dimensi Pembangunan. Salah satunya, Dimensi Pembangunan Sektor Unggulan, yang meliputi Kedaulatan Pangan, Kedaulatan Energi & Ketenagalistrikan, Kemaritiman dan Kelautan, serta Pariwisata dan Industri.

Tujuh Waduk untuk Kesejahteraan

Secara keseluruhan, ada tujuh waduk raksasa di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dibangun pemerintahan Joko Widodo, yang dijadwalkan rampung dalam lima tahun ke depan. Ketujuh waduk itu: Raknamo dan Manikin di Kabupaten Kupang, Kolhua di Kota Kupang, Rotiklot di Kabupaten Belu, Napungete di Kabupaten Sikka, Lambo di Kabupaten Nagekeo, serta Temef di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Ini Bendungan Raknamo, salah satu dari 7 bendungan yang sedang dibangun di Nusa Tenggara Timur. Hingga Februari 2017, progres pembangunan fisik Bendungan Raknamo di wilayah Kabupaten Kupang, sudah mencapai sekitar 87 persen. Hal ini dikemukakan Marthen Tela, Kepala Satuan Kerja Bendungan, Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II. Foto: antaranews.com
Ini Bendungan Raknamo, salah satu dari 7 bendungan yang sedang dibangun di Nusa Tenggara Timur. Hingga Februari 2017, progres pembangunan fisik Bendungan Raknamo di wilayah Kabupaten Kupang, sudah mencapai sekitar 87 persen. Hal ini dikemukakan Marthen Tela, Kepala Satuan Kerja Bendungan, Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II. Foto: antaranews.com
Pembangunan tujuh waduk tersebut untuk menampung air sungai pada musim hujan. Air itu selanjutnya bisa dimanfaatkan untuk mengairi tanaman pertanian, air baku bagi penduduk, utuk kebutuhan ternak, serta sebagai pembangkit listrik untuk ketahanan energi. Memang butuh dana besar serta kerja besar, untuk mewujudkan semua itu.

Ketujuh waduk tersebut masih terus dikerjakan, ketika saya berkunjung ke Sungai Nangaba. Cukup lama saya mencermati aliran Sungai Nangaba yang jernih, sembari memperkuat ingatan tentang Bung Karno yang kerap berendam di sana. Saya perkirakan, lahan pertanian dan perladangan di Nusa Tenggara Timur akan tumbuh subur. Hal ini tentu saja akan memakmurkan rakyat, berdikari secara ekonomi, sebagaimana cita-cita Bung Karno dalam Pidato Trisakti tahun 1963.

isson khairul –dailyquest.data@gmail.com

Jakarta, 2 Juni 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun