Ini hari Minggu, mari kita tertawa.World Laughter Dayjatuh pada 1-7 Mei. Tapi, saya memilih merayakannyapada Sabtu, 13 Mei 2017di Jogja,di Indonesia Community Day. Bersama Dessy Priadarsini, tentunya.
Kenapa dengan Dessy? Pertama, karena Dessy koplak eh koplakers. Ia pejabat teras Komunitas Koplak Yo Band, salah satu komunitas paling koplak di Kompasiana. Kedua, karena kalau tertawa bersama Dessy, pastilah di-video-kan oleh Babeh Helmi. Siapa dia? Itu tuh juragan koplak yang ogah pakai topi dan selalu menyilaukan matahari. Ketiga, terutama, karena tertawa itu sehat. Tertawa bersama Dessy, dapat dipastikan bakal sehat lahir bathin hahaha.
Senyum Dulu, Tertawa Kemudian
Entah kenapa, pada Sabtu sore itu, Dessy menyambangi booth KutuBuku dengan penuh senyum, kemudian dilanjutkan dengan tawa. Kami memang sudah saling kenal, tapi ketika ia traveling ke berbagai tempat eksotik di Sumatera Barat, saya tidak diajak. Meski begitu, saya tidak mutung. Justru saya melihat kedatangannya sebagai peluang, biar dia kelak menerbitkan tulisan perjalanannya menjadi buku di KutuBuku. Wow hahaha.
Dan, eng ing eng, benar saja, tuh Babeh Helmi ngintil di belakang Dessy, lengkap dengan kamera plus untaian kabel yang menjalar kian ke mari. Saya pun tertawa, tergelak. Berasa menang undian. Dessy pun langsung nyerocos, bertanya ini-itu tentang buku-buku yang sengaja saya gelar di booth KutuBuku. Owh, wawancara rupanya, saya diwawancarai. Di-video-kan pula oleh Babeh Helmi. Keren ini.
Kepada Dessy yang menyodorkan mike, saya cerita, Komunitas KutuBuku dalam tiga tahun terakhir, sudah menerbitkan 50 judul buku karya para penulis di Kompasiana. Ada yang berupa buku perorangan, antara lain, Mandeh, Aku Pulang kumpulan 40 Cerita Pendek karya Kompasianer Iskandar Zulkarnain. Ada pula yang berupa buku kompilasi atau bunga rampai, antara lain, Refleksi 70 Tahun Indonesia yang ditulis secara keroyokan oleh 30 penulis, yang selama ini aktif menulis di Kompasiana.
Kepada Dessy juga saya ceritakan, banyak kemudahan bila menerbitkan buku di KutuBuku. Pertama, KutuBuku dikelola oleh para jurnalis profesional dengan pendekatan komunitas. Artinya, kualitas terjamin tapi dengan pendekatan non-komersial. Biaya yang dikenakan kepada penulis hanya sebatas biaya produksi saja. Jadi, ya tentu saja terjangkau. Kedua, buku tersebut akan di- launching di Kantor Kompasiana, Gedung Kompas Gramedia, Lantai 6, Ruang Studio, Jalan Palmerah Barat, Jakarta Barat.
Keren, kan? Di era digital kini, tak usah pusing dengan domisili. Kita bisa mengomunikasikan urusan penerbitan buku secara digital, di mana pun berada. Sebagai contoh, KutuBuku sudah menerbitkan buku 38 WIB–Wanita Indonesia Bisa karya Kompasianer Gaganawati Stegmann, yang bermukim di Jerman. Gaganawati di benua Eropa dan KutuBuku di Jakarta. Proses penerbitan bukunya berlangsung lancar, meski penulis dan penerbit berada di benua yang berbeda.
Dessy tertawa-tawa mendengar cerita saya. Ia tak menyangka, penerbit yang dikelola komunitas di Kompasiana ini canggih juga ya hahahaha. Ini saya sampaikan bukan untuk berbangga-bangga, tapi untuk mengingatkan kita semua, betapa besarnya manfaat berkomunitas. Antar penulis serta antar komunitas di Kompasiana saling berbagi, sesuai dengan kapasitas dan minat masing-masing. Maka, Indonesia Community Day (ICD) yang digelar di Plaza Pasar Ngasem, Jl. Polowijan No.11, Patehan, Kraton, Kota Yogyakarta, pada Sabtu, 13 Mei 2017 ini, merupakan momen berharga untuk saling berinteraksi dan berbagi.
Dari 50 judul buku yang sudah diterbitkan KutuBuku, belum ada satu pun kategori buku humor. Oalah. Apakah penulis di Kompasiana minim rasa humor? Sebenarnya, cukup banyak koplakers di Kompasiana. Hanya, belum ada yang nekad menerbitkan tulisan humor menjadi buku hahaha. Takut? Tidak juga. Buktinya, sudah ada yang berani menerbitkan cerita horor di KutuBuku. Jirih judul bukunya, karya Kompasianer Giri Lumakto. Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta itu kini sedang melanjutkan studi S-2 di Wollongong, Australia.
Kami, Thamrin Sonata dan saya, sudah cukup sering memancing para penulis cerita humor di Kompasiana agar tergerak menerbitkan buku. Sayang, sampai kini belum ada yang kepancing hahahaha. Padahal, humor dan tertawa adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Makanya sampai ada World Laughter Day yang diperingati saban tahun tiap tanggal 1-7 Mei. Hari Tertawa Sedunia itu bukanlah akal-akalan. Pada Minggu (7/5/2017), mahasiswa Magister Psikologi Profesi, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogja memperingatinya dengan mengadakan Yoga Tertawa.
Peserta Yoga Tertawa itu membeludak. Ada sekitar 200 orang, mulai dari anak-anak hingga orang tua, tertawa lepas di selasar Fakultas Psikologi UGM, Jl. Sosio Humaniora, Bulaksumur, Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Jogjakarta. Riuh gelak tawa ratusan peserta itu memecah suasana pagi. Ada instruktur tawa yang memberikan arahan: kapan harus mulai tertawa dan kapan saat setop tertawa. Yang menjadi pemandu adalah Emmy Liana Dewi, Guru Yoga bersertifikat internasional, agar gerakan peserta saat tertawa benar-benar berlangsung riang-gembira.
Tahun 1982, ada buku tentang tertawa yang legendaris. Judulnya Mati Ketawa Cara Rusia. Buku ini terjemahan dari buku bahasa Inggris Russia Dies Laughing: Jokes from Soviet Russia. Buku ini diterbitkan oleh Pustaka Grafitipers, penerbit yang menjadi bagian dari penerbit Majalah TEMPO. Zhanna Dolgopolova, editor buku tersebut, menghimpun 200 lelucon di kalangan warga Rusia dengan beragam tema. Mulai dari lelucon politik sampai lelucon rumah tangga. Kerennya, Abdurrahman Wahid yang kita kenal dengan sapaan Gus Dur, memberi Kata Pengantar di buku itu, yang membuat kita ngakak habis.
Oh, ya, masyarakat Jepang, khususnya mereka yang bermukim di Kota Houfu, Prefektur Yamaguchi, punya ritual tertawa yang khas. Â Mereka secara regular menggelar Festival Warai-Kou. Dalam ritual ini, tertawa memiliki arti tersendiri. Tawa yang pertama menunjukkan rasa terima kasih untuk panen yang berlimpah dalam setahun. Tawa kedua menunjukkan doa agar panen tahun depan lebih berlimpah. Sementara, tawa ketiga untuk melupakan hal-hal pahit yang terjadi tahun ini.
Mengingat manfaat tertawa, Dr. Madan Kataria dari India memperkenalkan Yoga Tertawa pada tahun 1995. Teknik Yoga Tertawa tersebut, kini sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Saat ini, tak kurang dari 6.000 klub di 60 negara di dunia, yang dengan sengaja mengembangkan Yoga Tertawa ini. Salah satu negara yang mengembangkan teknik yoga ini adalah Vietnam. Selama beberapa tahun terakhir, ratusan orang berkumpul di taman Kota Hanoi untuk berlatih Yoga Tertawa di bawah arahan master Le Anh Son.
isson khairul –dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 21 Mei 2017