80 persen bus antar-kota antar-provinsi (AKAP) yang diperiksa di sejumlah terminal Jabodetabek, tak laik jalan. Ini diungkapkan Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan, di Surabaya, pada Senin (11/7/2016). Bagaimana standar keselamatan penumpang angkutan bus umum?
Temuan Kementerian Perhubungan tersebut, sesungguhnya sudah lampu merah bagi bus antar-kota dan antar-provinsi. Sementara, penumpang nyaris tidak tahu, mana bus yang laik jalan dan bus mana yang tidak laik jalan.Â
Dalam konteks keselamatan, penumpang tentu berhak tahu akan hal tersebut. Kementerian Perhubungan sebagai regulator di ranah transportasi, sudah seharusnya melindungi keselamatan warga yang menjadi pengguna angkutan umum. Apalagi, kini pemerintah terus mendorong masyarakat agar menggunakan angkutan umum. Â
Mekanisme Standar Keselamatan
Tergulingnya Bus Pariwisata Parahyangan pada Jumat (8/7/2016), barangkali bisa menjadi salah satu contoh. Bus Parahyangan tersebut terguling di Jalan Kolonel Masturi, Kota Cimahi, Jawa Barat, yang memakan korban hingga 33 orang: 9 orang meninggal dunia, 1 luka berat, dan 22 lainnya luka ringan. Kepala Kepolisian Resor Cimahi, AKBP Ade Ary Syam Indradi, menyatakan, berdasarkan hasil olah Tempat Kejadian Perkara (TKP), penyebab kecelakaan tersebut: rem blong dan bus dalam kondisi tidak layak beroperasi.
Jika saja penumpang tahu sejak awal bahwa bus Parahyangan tersebut tidak layak beroperasi, maka dapat dipastikan mereka tidak akan menggunakannya. Tapi, dari mana mereka tahu? Apa standar sebuah bus layak dan tidak layak operasi? Ini tentu perlu disosialisasikan, agar publik mengetahui kondisi bus, sebelum mereka menaikinya. Apalagi bus Parahyangan tersebut merupakan bus carteran untuk pariwisata.
Dalam hal temuan Kementerian Perhubungan bahwa 80 persen bus antar-kota antar-provinsi (AKAP) yang diperiksa di sejumlah terminal Jabodetabek tak laik jalan, siapa yang menjadi decision maker bagi kelayakan operasinya? Dan, kenapa pula 80 persen bus yang tidak layak operasi tersebut masih dibiarkan terus beroperasi? Dalam konteks keselamatan penumpang bus umum, pihak berwenang sudah sepatutnya menciptakan mekanisme standar keselamatan, yang diketahui publik sebagai pengguna angkutan umum.
Bus Umum, Bus Pariwisata
Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan, di Surabaya, Jawa Timur, pada Senin (11/7/2016) tersebut, merinci temuan kondisi bus umum di sejumlah terminal Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Menurutnya, ada yang rem tangannya tidak ada, sabuk pengamannya tidak ada, bahkan spidometernya tidak berfungsi. Harap diingat, temuan itu terkait dengan bus antar-kota dan antar-provinsi (AKAP), yang akan mengadakan perjalanan jauh.
Kenapa perlu disosialisasikan? Karena warga pengguna bus umum dan bus carteran, berhak tahu kondisi kelayakan bus yang hendak mereka gunakan. Bus Parahyangan itu, misalnya. Kendaraan itu dinilai oleh Kepala Kepolisian Resor Cimahi, AKBP Ade Ary Syam Indradi, tidak layak beroperasi. Faktor apa saja kah yang membuat bus itu dinilai demikian? Tindakan apa yang seharusnya dilakukan pihak berwenang kepada perusahaan bus itu, karena telah mengoperasikan kendaraan yang tidak layak beroperasi?
Beberapa tahun belakangan, bus-bus pariwisata marak di akhir pekan atau pada musim liburan. Bukan hanya di Jakarta dan Pulau Jawa, tapi juga di sejumlah kota di luar Jawa. Bus Pariwisata, setahu saya, tidak masuk terminal, tapi diberangkatkan dari pool masing-masing. Nah, siapa yang mengontrol kelayakan operasinya? Ada juga bus umum yang dicarter warga untuk kepentingan pariwisata. Bagaimana pula pihak berwenang mengontrolnya?
Ignasius Jonan adalah alumnus Universitas Airlangga, Surabaya. Sekitar 30 tahun lalu, ia kerap naik bus dari Jakarta ke Surabaya. Menurutnya, pada masa itu, kondisi bus antar-kota dan antar-provinsi (AKAP), masih oke. Tapi, makin ke sini, makin tidak oke. Artinya, ada kemunduran, dalam konteks transportasi. Itu juga tercermin secara bisnis. Pada mudik Lebaran 2016 ini, Ignasius Jonan mencatat, pengguna bus AKAP di kisaran 4,3 juta orang atau turun 7 persen.
Selain penurunan jumlah penumpang, pengusaha bus AKAP juga menderita karena biaya operasi yang membengkak. Pada mudik Lebaran 2016 ini, Organisasi Angkutan Darat (Organda) Jawa Tengah mencatat, kerugian paling parah dialami bus ekonomi. Pemerintah menetapkan tarif batas atas. Contohnya, maksimal Rp 120 ribu per penumpang untuk tujuan Jakarta-Solo. Dengan tarif tersebut, meski bus terisi maksimal 50 penumpang, itu tak mampu menutup biaya operasional perjalanan, yang mendekati Rp 6 juta.
Secara bisnis, akan seperti apa nasib perusahaan bus antar-kota dan antar-provinsi (AKAP) di masa depan? Bukan hanya itu. Persaingan dengan kereta api, juga makin menyungsepkan nasib bus AKAP. Dengan kereta api ekonomi, misalnya, penumpang cukup merogoh kocek Rp 84.000 untuk perjalanan Jakarta-Kediri. Sementara, dengan bus ekonomi, Rp 120 ribu baru sampai Solo. Untuk jarak dekat, perbedaan tarif tersebut sangat signifikan. Dengan kereta api ekonomi, Jakarta-Merak hanya mematok tarif Rp 8.000 saja. Sementara, dengan bus ekonomi, Jakarta-Cilegon saja Rp 26.000.
isson khairul –linkedin –dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 13 Juli 2016
-----------------------
Tulisan Terkait
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI