Kenapa perlu disosialisasikan? Karena warga pengguna bus umum dan bus carteran, berhak tahu kondisi kelayakan bus yang hendak mereka gunakan. Bus Parahyangan itu, misalnya. Kendaraan itu dinilai oleh Kepala Kepolisian Resor Cimahi, AKBP Ade Ary Syam Indradi, tidak layak beroperasi. Faktor apa saja kah yang membuat bus itu dinilai demikian? Tindakan apa yang seharusnya dilakukan pihak berwenang kepada perusahaan bus itu, karena telah mengoperasikan kendaraan yang tidak layak beroperasi?
Beberapa tahun belakangan, bus-bus pariwisata marak di akhir pekan atau pada musim liburan. Bukan hanya di Jakarta dan Pulau Jawa, tapi juga di sejumlah kota di luar Jawa. Bus Pariwisata, setahu saya, tidak masuk terminal, tapi diberangkatkan dari pool masing-masing. Nah, siapa yang mengontrol kelayakan operasinya? Ada juga bus umum yang dicarter warga untuk kepentingan pariwisata. Bagaimana pula pihak berwenang mengontrolnya?
Ignasius Jonan adalah alumnus Universitas Airlangga, Surabaya. Sekitar 30 tahun lalu, ia kerap naik bus dari Jakarta ke Surabaya. Menurutnya, pada masa itu, kondisi bus antar-kota dan antar-provinsi (AKAP), masih oke. Tapi, makin ke sini, makin tidak oke. Artinya, ada kemunduran, dalam konteks transportasi. Itu juga tercermin secara bisnis. Pada mudik Lebaran 2016 ini, Ignasius Jonan mencatat, pengguna bus AKAP di kisaran 4,3 juta orang atau turun 7 persen.
Selain penurunan jumlah penumpang, pengusaha bus AKAP juga menderita karena biaya operasi yang membengkak. Pada mudik Lebaran 2016 ini, Organisasi Angkutan Darat (Organda) Jawa Tengah mencatat, kerugian paling parah dialami bus ekonomi. Pemerintah menetapkan tarif batas atas. Contohnya, maksimal Rp 120 ribu per penumpang untuk tujuan Jakarta-Solo. Dengan tarif tersebut, meski bus terisi maksimal 50 penumpang, itu tak mampu menutup biaya operasional perjalanan, yang mendekati Rp 6 juta.
Secara bisnis, akan seperti apa nasib perusahaan bus antar-kota dan antar-provinsi (AKAP) di masa depan? Bukan hanya itu. Persaingan dengan kereta api, juga makin menyungsepkan nasib bus AKAP. Dengan kereta api ekonomi, misalnya, penumpang cukup merogoh kocek Rp 84.000 untuk perjalanan Jakarta-Kediri. Sementara, dengan bus ekonomi, Rp 120 ribu baru sampai Solo. Untuk jarak dekat, perbedaan tarif tersebut sangat signifikan. Dengan kereta api ekonomi, Jakarta-Merak hanya mematok tarif Rp 8.000 saja. Sementara, dengan bus ekonomi, Jakarta-Cilegon saja Rp 26.000.
isson khairul –linkedin –dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 13 Juli 2016
-----------------------
Tulisan Terkait