Menko Rizal Ramli yakin, Danau Toba bakal jadi destinasi nomor dua setelah Bali. Presiden Joko Widodo menegaskan, Danau Toba harus segera menjadi Top Destination, minimal 1 juta wisatawan mancanegara. Apa sesungguhnya power Danau Toba?
Pada Sabtu-Selasa (19-22/11/2016) mendatang, di Danau Toba akan digelar Festival Danau Toba 2016. Pada Rabu (25/5/2016) lalu, tujuh Bupati di kawasan Danau Toba, telah sepakat untuk mendukung penuh Badan Otorita Danau Toba sebagai pengelola. Dengan kata lain, modal politik Danau Toba sudah lebih dari cukup, untuk bergerak lebih cepat. Selain itu, modal alam Danau Toba, sungguh menakjubkan. Cukupkah semua itu? ”Belum,” ujar Menko Rizal Ramli, pada Rabu (25/5/2016) itu. Kenapa? ”Karena, bila bermodal keindahan alam saja, masih banyak destinasi lain di dunia yang lebih indah dari Danau Toba. Power Danau Toba yang sesungguhnya adalah karena Danau Toba turut mengubah peta dunia,” lanjut Menko Rizal Ramli.
Dunia Gelap, Danau Toba Tercipta
Ya, dunia gelap berbulan-bulan. Itu terjadi sekitar 75 ribu tahun yang lalu, ketika Gunung Toba meletus. Kepada 1.000 lebih warga Tanah Batak yang hadir dalam Malam Budaya Menyongsong Badan Otorita Danau Toba, Menko Rizal Ramli bercerita, letusan Gunung Toba lebih dahsyat dari ledakan Gunung Krakatau di Lampung dan Gunung Pompeii di Italia. Suhu bumi memanas. Es yang menghubungkan daratan demi daratan, meleleh. Lebih dari sepertiga hewan, lenyap di muka bumi. Hewan yang masih bisa bertahan hidup, ukuran badan mereka menyusut drastis. Mengecil. Bahkan, sebagian menjadi kerdil.
Seluruh elemen Tanah Batak, yang hadir di Auditorium BPPT, Jl. Thamrin 8, Jakarta Pusat, pada Rabu (25/5/2016) malam itu, menyimak cerita Menko Rizal Ramli dengan seksama. Peristiwa alam yang dahsyat itulah yang kemudian menciptakan Danau Toba. "Kalau dongeng yang melatari Danau Toba tersebut diketahui dunia, maka wisatawan mancanegara akan berbondong-bondong ke Danau Toba. Mereka tentu ingin melihat bukti sejarah,” ujar Menko Rizal Ramli. Aspek sejarah inilah sesungguhnya yang menjadi magnet utama, kekuatan Danau Toba untuk menjadi destinasi wisata dunia.
Dalam konteks menjadikan Danau Toba sebagai destinasi dunia, langkah tersebut tentulah merupakan langkah yang strategis. Kenapa? Karena, kredibilitas National Geographic sudah diakui dunia dan menjadi salah satu acuan, baik di ranah jurnalistik maupun akademik. Tim mereka melakukan riset yang mendalam, sebelum mempublikasikannya. Selain itu, foto-foto yang ditampilkan National Geographic, sungguh mengesankan. Majalah yang terbit sejak tahun 1888 tersebut, beredar di seluruh dunia, setidaknya dalam tiga puluh enam bahasa, dengan sirkulasi global mencapai 8,3 juta eksemplar per bulan.
Danau Toba, Kompetisi Wisata
Selain National Geographic magazine, edisi A Sumatran Journey, bulan Maret 1981, ada media internasional lain, yang juga berupaya menguakkan peristiwa alam yang melatari Danau Toba. Salah satunya, jurnal Science edisi Kamis (30/10/2014). Jurnal tersebut mempublikasikan hasil penelitian Christoph Sens-Schonfelder, seismolog dari GFZ German Research Center for Geoscience. Penelitian itu menyebutkan, Gunung Toba memuntahkan 2.800 kilometer kubik lava. Abunya menyebar hingga Afrika dan Australia. Letusan tersebut diprediksi memusnahkan ragam satwa serta memicu kepunahan salah satu ras manusia. Sungguh peristiwa alam yang dahsyat.
Dalam berbagai kesempatan, Menko Rizal Ramli menekankan pentingnya kompetisi yang relevan dengan pariwisata. Danau Toba secara geografis, sangat memungkinkan akan hal tersebut. Keberadaan Danau Toba, yang panjangnya mencapai 100 kilometer dan lebarnya 30 kilometer, adalah ruang yang lapang untuk meng-create beragam kompetisi internasional. Menurut Menko Rizal Ramli, dengan kompetisi yang relevan, destinasi wisata menjadi lebih atraktif. Wisatawan yang terlibat dalam kompetisi serta wisatawan yang menjadi penonton, sama-sama terhibur.
Ada lagi nilai tambah dari kompetisi tersebut. Di era media sosial saat ini, para wisatawan akan antusias memotret, kemudian menyebarkannya di dunia maya. Maka, dengan sendirinya, publikasi destinasi wisata yang bersangkutan, akan menyebar secara luas. Kalangan pers pun tentu lebih senang dengan adanya kompetisi. Jika tanpa kompetisi, menurut Menko Rizal Ramli, pemberitaan umumnya hanya sebatas pembukaan dan saat ada kunjungan pejabat saja. Hanya berita seremoni. Sebaliknya, jika ada kompetisi, pemberitaan bisa berlangsung berhari-hari dan hal itu positif bagi branding destinasi yang bersangkutan.
Dalam Malam Budaya Menyongsong Badan Otorita Danau Toba, pada Rabu (25/5/2016) itu, ikatan budaya sungguh terasa kuat. Kita tahu, budaya dan pariwisata adalah dua komponen yang senantiasa menyatu. Setidaknya, itulah yang kita saksikan di Bali dan Yogyakarta. Industri pariwisata tumbuh di tengah tradisi budaya setempat. Wisatawan mancanegara menikmati suasana tradisi, sekaligus leluasa mengakses beragam fasilitas wisata. ”Kesenangan orang Batak bernyanyi, bisa membuat turis betah di Danau Toba,” ungkap Menko Rizal Ramli, yang langsung disambut tawa hadirin.
Kesenangan yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari tersebut adalah bagian dari kekhasan warga Tanah Batak. Hal itu tentu saja merupakan value, dalam konteks pariwisata. Demikian pula halnya dengan kegigihan serta keuletan. Salah satu contoh kegigihan serta keuletan, bisa kita lihat pada apa yang sudah dilakukan dr Ria Novida Telaumbanua. Sejak tahun 2008, ia menjelajahi hutan belantara Toba Samosir, di sela aktivitasnya sebagai seorang dokter. Penjelajahan bertahun-tahun. Sampai akhirnya, tahun 2011, ia meluncurkan hasil penjelahannya, buku Wild Orchids in Toba: Pesona 100 Anggrek Hutan di Toba Samosir.
Buku setebal 176 halaman, yang diluncurkan pada Kamis (24/11/2011) di Convention Hall, Hotel Danau Toba, Medan, tersebut, mengingatkan kita semua akan kekayaan flora-fauna Danau Toba. Kekayaan tersebut adalah bagian dari kekayaan Indonesia. Maka, di tengah pembangunan infrastruktur pariwisata yang kelak akan hingar-bingar di Danau Toba, kekayaan flora-fauna itu sudah sepatutnya dipelihara keberadaannya. Bahkan, patut kiranya bila kekayaan flora-fauna menjadi salah satu poin penting dalam kerangka kerja Badan Otorita Danau Toba. Industri pariwisata tumbuh, lingkungan terawat. Karena, dalam konteks green tourism, hal itu juga merupakan magma pariwisata Danau Toba.
Kita tahu, Danau Toba berada 906 meter di atas permukaan laut. Suhu alam di sekitarnya, di kisaran 20 derajat Celcius. Infrastruktur alam nyaris lengkap di sana: gunung, bukit, lembah, lereng, jurang curam, serta belantara cemara menghijau mengelilinginya. Sastrawan Sitor Situmorang, yang menulis buku Toba Na Sae, menggambarkan keindahan Danau Toba dalam sejumlah karyanya. Sitor Situmorang lahir di Harianboho, Tapanuli Utara, pada (2/10/1923) dan meninggal pada Minggu (21/12/2014) di rumahnya, di Apeldoom, Belanda. "Bagi Sitor Situmorang, negeri itu ada tiga: Tanah Batak tempat ia dilahirkan, Indonesia sebagai negaranya, dan Belanda yang menjadi kampung halaman kedua pada masa tuanya," ujar sastrawan Martin Aleida, penulis novel Jamangilak Tak Pernah Menangis, yang berlatar belakang budaya Batak. Martin Aleida berasal dari Tanjung Balai, kota di tepi Sungai Asahan, Sumatera Utara. Novel tersebut diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, tahun 2004.
isson khairul –linkedin –dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 29 Mei 2016
-----------------------
Tulisan Terkait
1. Bersatu untuk Danau Toba, Bersama demi Pariwisata
2. Terima Kasih ala Sandra Ann Niessen untuk Warga Seputar Danau Toba
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H