Ada lagi nilai tambah dari kompetisi tersebut. Di era media sosial saat ini, para wisatawan akan antusias memotret, kemudian menyebarkannya di dunia maya. Maka, dengan sendirinya, publikasi destinasi wisata yang bersangkutan, akan menyebar secara luas. Kalangan pers pun tentu lebih senang dengan adanya kompetisi. Jika tanpa kompetisi, menurut Menko Rizal Ramli, pemberitaan umumnya hanya sebatas pembukaan dan saat ada kunjungan pejabat saja. Hanya berita seremoni. Sebaliknya, jika ada kompetisi, pemberitaan bisa berlangsung berhari-hari dan hal itu positif bagi branding destinasi yang bersangkutan.
Dalam Malam Budaya Menyongsong Badan Otorita Danau Toba, pada Rabu (25/5/2016) itu, ikatan budaya sungguh terasa kuat. Kita tahu, budaya dan pariwisata adalah dua komponen yang senantiasa menyatu. Setidaknya, itulah yang kita saksikan di Bali dan Yogyakarta. Industri pariwisata tumbuh di tengah tradisi budaya setempat. Wisatawan mancanegara menikmati suasana tradisi, sekaligus leluasa mengakses beragam fasilitas wisata. ”Kesenangan orang Batak bernyanyi, bisa membuat turis betah di Danau Toba,” ungkap Menko Rizal Ramli, yang langsung disambut tawa hadirin.
Kesenangan yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari tersebut adalah bagian dari kekhasan warga Tanah Batak. Hal itu tentu saja merupakan value, dalam konteks pariwisata. Demikian pula halnya dengan kegigihan serta keuletan. Salah satu contoh kegigihan serta keuletan, bisa kita lihat pada apa yang sudah dilakukan dr Ria Novida Telaumbanua. Sejak tahun 2008, ia menjelajahi hutan belantara Toba Samosir, di sela aktivitasnya sebagai seorang dokter. Penjelajahan bertahun-tahun. Sampai akhirnya, tahun 2011, ia meluncurkan hasil penjelahannya, buku Wild Orchids in Toba: Pesona 100 Anggrek Hutan di Toba Samosir.
Buku setebal 176 halaman, yang diluncurkan pada Kamis (24/11/2011) di Convention Hall, Hotel Danau Toba, Medan, tersebut, mengingatkan kita semua akan kekayaan flora-fauna Danau Toba. Kekayaan tersebut adalah bagian dari kekayaan Indonesia. Maka, di tengah pembangunan infrastruktur pariwisata yang kelak akan hingar-bingar di Danau Toba, kekayaan flora-fauna itu sudah sepatutnya dipelihara keberadaannya. Bahkan, patut kiranya bila kekayaan flora-fauna menjadi salah satu poin penting dalam kerangka kerja Badan Otorita Danau Toba. Industri pariwisata tumbuh, lingkungan terawat. Karena, dalam konteks green tourism, hal itu juga merupakan magma pariwisata Danau Toba.
Kita tahu, Danau Toba berada 906 meter di atas permukaan laut. Suhu alam di sekitarnya, di kisaran 20 derajat Celcius. Infrastruktur alam nyaris lengkap di sana: gunung, bukit, lembah, lereng, jurang curam, serta belantara cemara menghijau mengelilinginya. Sastrawan Sitor Situmorang, yang menulis buku Toba Na Sae, menggambarkan keindahan Danau Toba dalam sejumlah karyanya. Sitor Situmorang lahir di Harianboho, Tapanuli Utara, pada (2/10/1923) dan meninggal pada Minggu (21/12/2014) di rumahnya, di Apeldoom, Belanda. "Bagi Sitor Situmorang, negeri itu ada tiga: Tanah Batak tempat ia dilahirkan, Indonesia sebagai negaranya, dan Belanda yang menjadi kampung halaman kedua pada masa tuanya," ujar sastrawan Martin Aleida, penulis novel Jamangilak Tak Pernah Menangis, yang berlatar belakang budaya Batak. Martin Aleida berasal dari Tanjung Balai, kota di tepi Sungai Asahan, Sumatera Utara. Novel tersebut diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, tahun 2004.
isson khairul –linkedin –dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 29 Mei 2016
-----------------------
Tulisan Terkait
1. Bersatu untuk Danau Toba, Bersama demi Pariwisata