Snorkeling sudah jadi topik percakapan. Padahal, masih di bandara Soekarno-Hatta Jakarta dan tujuan masih jauh nun di sana, Larantuka, Nusa Tenggara Timur. Apa boleh buat. Ini yang mungkin disebut: suara menyalip kenyataan.
Tugas resmi, meliput Tour de Flores 2016 di Larantuka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tapi, sejak awal, Ilma dari Tim Komunikasi Kantor Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, mengingatkan tugas lain: mengeksplorasi destinasi wisata Larantuka. Alasannya jelas: Tour de Flores 2016 itu memang dimaksudkan untuk publikasi pariwisata. Terutama, ke ranah mancanegara.
Tugas lain itulah yang memicu angan-angan, karena Larantuka khususnya serta Flores Timur umumnya, memiliki sejumlah destinasi wisata yang oke punya. Sebagai ibu kota Kabupaten Flores Timur, Larantuka memang merupakan kawasan pesisir, dengan garis pantai yang membujur dari ujung ke ujung. Maka, destinasi wisata kemaritiman adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Larantuka.
Tiga Pulau dengan Pesona Selat
Rute panjang itu akhirnya terlewati: Jakarta-Kupang-Larantuka. Jakarta-Kupang 3 jam, Kupang-Larantuka 1 jam, ditambah waktu tunggu di tiga bandara, sekitar 3 jam. Kami berombongan, 20 orang, yang terdiri dari jurnalis sejumlah media, Tim Komunikasi Kantor Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, serta tiga penulis Kompasiana: Yayat, Lastboy Tahara S., dan Isson Khairul.
Landing di bandara Gewayantana Larantuka, kami disambut hujan. Cukup lebat, disertai angin yang lumayan kencang. Area bandara yang tak begitu luas pun jadi terasa sesak. Para supir dengan agresif menawarkan jasa sewa mobil.
Misalnya, dengan menetapkan zona tertentu dengan tarif tertentu. Taksi tidak ada di Larantuka. Angkutan umum hanya ada di tengah kota, tidak ada yang melalui bandara. Jarak bandara ke tengah kota Larantuka sekitar 10 kilometer. Apa boleh buat, penumpang terpaksa menyerah pada para supir mobil sewaan tersebut. Karena, ya itulah pilihan yang harus dipilih.
Secara administratif, Larantuka adalah sebuah kecamatan, yang sekaligus menjadi ibu kota Kabupaten Flores Timur. Dari bandara menuju pusat kota, sejumlah hotel dan restoran menyambut kedatangan para wisatawan. Umumnya, akomodasi wisata tersebut langsung berhadapan dengan pantai. Maka, setelah melewati perjalanan penerbangan yang panjang, tak ada salahnya singgah di salah satu tempat tersebut.
Misalnya, sekadar menikmati kelapa muda sembari berfoto-foto dengan latar belakang panorama maritim Larantuka. Sebagai kawasan kepulauan, kita tidak berhadapan dengan lautan lepas. Tapi, menghadap ke selat-selat yang membentang antara satu pulau dengan pulau lainnya.
Dari Larantuka ke Pulau Solor sekitar 1 jam. Oh, ya, Pelabuhan Laut Larantuka yang menjadi pintu masuk melalui laut, juga berada di Pulau Flores, berhadapan langsung dengan pusat kota Larantuka. Kapal dari sejumlah pelabuhan di Pulau Jawa, misalnya, senantiasa singgah di Larantuka. Artinya, kita bisa menjangkau Larantuka lewat udara serta melalui laut.
Panorama Selat Larantuka
Karena kami rata-rata perenang amatir, maka kami pilih ber-snorkeling di sekitaran perairan Larantuka, Pulau Flores. Itu pun tak jauh-jauh ke tengah selat, hanya sekitar 25 menit berperahu motor dari daratan. Pada Rabu (18/5/2016) pagi itu, laut sedang pasang.
Menurut pemandu, kedalaman selat yang kami datangi, sekitar 70-100 meter. Ini memang bukan kondisi ideal untuk kelas amatiran seperti kami. Kata pemandu, akan lebih asyik kalau ber-snorkeling pada kedalaman selat 40 meter. Dengan demikian, bisa lebih leluasa menjelajahi alam bawah laut Pulau Flores.
Terbawa arus serta minum air laut, itulah sensasinya kaum amatiran. Malah ada yang minta tambahan pelampung, karena takut tenggelam. Ada pula yang memilih bergelayutan di tubuh pemandu, takut hanyut dibawa arus. Keasyikan bercengkerama dengan alam bawah laut, ternyata berhasil mengalahkan rasa cemas.
Cara berwisata ala amatir di Larantuka ini bisa menjadi alternatif, bila waktu berkunjung ke sana terbatas. Selain ber-snorkeling, bisa juga menikmati wisata bahari dengan mengunjungi pulau-pulau terdekat. Urusan tawar-menawar untuk menyewa perahu, itu hal biasa di sana. Kalau tidak cocok dengan yang satu, mungkin dengan pemilik perahu lain cocok. Toh, banyak pilihan.
Menyewa perahu yang terkait dengan hotel tempat menginap, mungkin praktis. Tapi, secara biaya, barangkali akan lebih mahal bila dibandingkan dengan menyewa perahu yang independen.
Maklum, Larantuka adalah salah satu magnet pariwisata di Flores. Sebagai ibu kota Kabupaten Flores Timur, penduduk Larantuka sekitar 33,000 orang. Kota ini terbilang ramah untuk para pendatang. Di seputaran Taman Kota Larantuka, kita bisa menemukan Soto Lamongan dan Sate Madura, misalnya, yang pemiliknya ya orang Jawa dan Madura.
Sea Boulevard, Hidden Beauty
Ketika membuka Tour de Flores 2016 pada Rabu (18/5/2016) malam, Menko Rizal Ramli berkata, “Welcome to Flores.This is very beautiful land, hidden beauty. You can see, sea boulevard.” Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Sumber Daya tersebut memang tidak berlebihan.
Saat ber-snorkeling di perairan Larantuka, kita menyaksikan selat yang lurus memanjang di antara pulau-pulau. Indah sekali. Itulah yang barangkali disebut sebagai sea boulevard. Di selat yang luas tersebut melintas perahu motor dan kapal, hingga Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menurut Menko Rizal Ramli, Larantuka pada abad ke-16 merupakan pusat penting bagi perubahan dan transformasi budaya di Flores. Bahkan, sejumlah literatur mencatat, sejarah Flores Timur berawal dari Larantuka. Laran artinya Jalan dan Tuka artinya Tengah.
Jalan Tengah tersebut juga bisa ditafsirkan sebagai sea boulevard, yang membujur antara Larantuka-Labuan Bajo. Dan, sejauh mata memandang, kita melihat, betapa tegar Gunung Mandiri menjulang. Gunung ini merupakan gunung api, berbentuk kerucut lancip, dan menjadi kebanggaan masyarakat sekitar.
Penduduk asli Larantuka berasal dari Gunung Mandiri, Ile Mandiri. Menurut legenda, di atas puncak Ile Mandiri tersebut terdapat sebutir telur yang dierami oleh Burung Rajawali. Telur itu kemudian menetas, menjadi dua anak manusia: Liang Nura (laki-laki) dan Wato Wele (perempuan).
Sejarah mencatat, kapal niaga Portugis pertama kali merapat di Larantuka pada tahun 1556. Portugis masuk ke kawasan ini untuk berdagang kayu cendana. Saking indahnya Larantuka, bangsa Portugis pada masa itu menamakan kawasan ini sebagai Cape of Flower, Tanjung Bunga. Dalam bahasa Portugis, Capeof Flower diucapkan sebagai Cabo da Flora atau Cabo da Flores.
Penyebutan yang demikian menjadi awal dari penamaan pulau tersebut sebagai Pulau Flores. Secara keseluruhan, di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), ada 1.192 pulau besar dan kecil. Masing-masing memiliki keindahan tersendiri, yang belum sepenuhnya diketahui publik secara luas. Karena itulah, Menko Rizal Ramli menyebutnya, this is very beautiful land, hidden beauty.
isson khairul –linkedin –dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 24 Mei 2016
---------------------------
1. Optimisme Rizal Ramli untuk Pariwisata Flores, Melalui Tour de Flores
2. Tour de Flores, Menebar Pesona Wisata dari Larantuka hingga Labuan Bajo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H