Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Tragedi Lahore di Jantung Pakistan, Dimulai dengan Cerita Pendek

30 Maret 2016   10:27 Diperbarui: 30 Maret 2016   15:46 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Seorang bocah laki-laki yang lolos dari maut, saat terjadi ledakan bom di Taman Gulshan-e-Iqbal, Lahore, Pakistan, pada Senin (28/3/2016). Taman itu sedang ramai dikunjungi para keluarga. Sebagian dari mereka tengah merayakan Paskah. Lokasi ledakan bom berdekatan dengan area bermain anak-anak. Tak kurang dari 70 orang tewas dan sedikitnya 340 orang terluka dalam insiden tersebut. Provinsi Punjab menetapkan masa berkabung selama tiga hari. Foto: print.kompas.com"][/caption]Trias Kuncahyono, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas. Kemarin, ia menampilkan seorang penulis cerita pendek sebagai kalimat pembuka tulisannya. Padahal, yang ia tulis adalah hardnews, tentang bom bunuh diri yang menewaskan 70 orang, serta melukai sekitar 340 orang lainnya, di Lahore.

Trias Kuncahyono menunjukkan kepada kita, bahwa menulis tentang tragedi, tidak mesti dibuka dengan kata-kata yang menyeramkan. Juga, tidak harus dengan mendeskripsikan puluhan mayat yang bergelimpangan bersimbah darah. Trias Kuncahyono memilih membuka tulisannya dengan menyebut Rudyard Kipling (1865-1936) beserta judul cerita pendek karyanya. Kipling, lengkapnya Joseph Rudyard Kipling, adalah pemenang penghargaan Nobel Sastra tahun 1907. Ia lahir pada 30 Desember 1865 di Bombay, India.

Kenapa Trias Kuncahyono menyebut Rudyard Kipling? Karena, pada tahun 1885, Rudyard Kipling pernah menerbitkan cerita pendek berjudul Lahore: The City of Dreadful Night. Judul cerita pendek itu bersumber dari judul puisi karya James Thomson (1834-1882). Selain itu, Rudyard Kipling adalah pelopor yang menggunakan hewan sebagai tokoh dalam cerita anak-anak. The Jungle Book adalah salah satu karya terpenting Rudyard Kipling. Dan, sebagian besar korban insiden bom Lahore tersebut adalah perempuan serta anak-anak.  

Makna di Balik Peristiwa

Tulisan Trias Kuncahyono itu dilansir kemarin, Selasa (29/3/2016) di frontpage harian Kompas, berjudul Pakistan Belum Selesai. Tulisan ini tentang ledakan bom bunuh diri di Taman Gulshan-e-Iqbal, Lahore, Pakistan, pada Senin (28/3/2016). Saya terkesan dengan alinea pertamanya, yang terdiri dari empat baris, dengan 35 kata. Alinea pertama itu jauh dari kesan bombastis. Judulnya pun sama sekali tidak bombastis. Di 35 kata itu, sama sekali tidak ada kata darah. Meski sesungguhnya, 70 korban tewas dan 340 orang luka-luka, tentulah menjadikan Taman Gulshan-e-Iqbal penuh dengan ceceran darah.

Barangkali, Trias Kuncahyono memang tidak hendak memotret kekejian tersebut dengan kata-kata. Ia justru dengan cermat menghimpun kata, untuk kemudian menatanya dalam bangunan makna. Alinea pertama tersebut, bagi saya, sangat terasa kedalamannya. Dengan 35 kata, termasuk Lahore: The City of Dreadful Night, kengeriannya justru terasa sangat kuat. Betapa tidak. Ternyata, kengerian Lahore yang dituliskan Rudyard Kipling sekitar 131 tahun lalu, masih menjalar hingga kini. Dari generasi ke generasi.

Dan, barangkali masih akan berlanjut. Entah sampai berapa ratus tahun lagi. Maka, pilihan judul Pakistan Belum Selesai dari Trias Kuncahyono, sungguh relevan. Ia nampaknya paham betul, apa yang bergejolak di Pakistan. Melalui judul tulisan itu, Trias Kuncahyono memprediksi bahwa kekejian pada Senin (28/3/2016) itu, bukanlah yang terakhir. Ada fakta pendukung yang ia tampilkan di alinea kedelapan. Fakta itu bersumber dari pendapat Jochen Hippler dari Universitas Duisburg-Essen, Jerman. Intinya, Pakistan yang kini sudah berumur lebih dari 60 tahun, masih belum rampung dengan urusan nation-building.

[caption caption="Foto kiri, Rudyard Kipling tampil sebagai sampul Majalah Time pada edisi 27 September 1926. Foto kanan, Jungle Book, yang dinilai banyak kalangan sebagai salah satu karya penting Rudyard Kipling. Pada masa kanak-kanak, di usia 6-12 tahun, Rudyard Kipling hidup di Inggris sementara orangtuanya tetap di Bombay, India. Foto: timeinc.net dan amazon.com"]

[/caption]Peristiwa Menambah Pengetahuan

Apa yang bisa kita pelajari dari tulisan Trias Kuncahyono tersebut? Pertama, kita bisa belajar, bagaimana mencermati point of view dari suatu peristiwa. Tulisan Trias Kuncahyono bukan membeberkan peristiwa bom bunuh diri itu. Tapi, ia dengan sejumlah fakta dan argumen, mencoba menguakkan, apa sesungguhnya yang terjadi di Pakistan. Ia mencoba mengurai, bagaimana perjalanan bangsa Pakistan, hingga kengerian di Lahore sampai berlanjut melintasi zaman. Dengan cara demikian, sebagai penulis, ia bukan hanya memberi tahu pembaca, tapi sekaligus menambah pengetahuan pembaca.

Kedua, kita bisa belajar, bagaimana memanfaatkan pengetahuan yang sudah kita miliki untuk memahami serta menuliskan peristiwa yang relevan dengan pengetahuan kita. Pada alinea pertama tulisannya, Trias Kuncahyono justru memulai dengan pengetahuannya, bukan dengan peristiwanya. Pengetahuannya tentang cerita pendek Rudyard Kipling Lahore: The City of Dreadful Night menjadi sangat relevan untuk mulai menggambarkan kengerian pada Senin (28/3/2016) itu. Untuk melakukan yang demikian, tentulah bergantung pada literatur yang kita baca sehari-hari.

Ketiga, kita bisa belajar, bagaimana mengorganisir sejumlah fakta sebagai landasan dalam berargumen. Misalnya, apa yang membuat Trias Kuncahyono sampai pada judul Pakistan Belum Selesai? Ia menyajikan fakta, yang menjadi sasaran bom bukan hanya Lahore.  Sejumlah kota lain di Pakistan, antara lain, Karachi, Rawalpindi, Peshawar, dan Charsadda juga menjadi sasaran penyerangan bom, dalam beberapa tahun terakhir. Dengan demikian, ada korelasi yang erat antara fakta yang kita tampilkan dengan pemaknaan yang kita kemukakan.

[caption caption="Taufik Abdullah dalam diskusi Historiografi Indonesia dalam Perspektif Sejarah pada Selasa (26/1/2016) di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ia mengingatkan kita bahwa dalam sejumlah karya fiksi, kita bisa menemukan catatan-catatan sejarah tentang peradaban manusia di berbagai belahan dunia. Karya fiksi berkontribusi pada pemahaman sejarah, sebagai pembanding teks sejarah resmi yang diterbitkan pemerintah. Foto: isson khairul "]

[/caption]Fiksi Sebagai Catatan Kota

Barangkali, ketika Rudyard Kipling menerbitkan cerita pendek berjudul Lahore: The City of Dreadful Night pada tahun 1885, memang demikianlah situasi-kondisi ibu negeri Provinsi Punjab tersebut. Kondisi sebuah kota yang mengerikan. Cerita pendek yang sesungguhnya merupakan kategori fiksi, dengan sendirinya juga sekaligus menjadi catatan sebuah kota. Apakah peristiwa dalam sebuah karya fiksi bisa dinilai sebagai peristiwa yang benar terjadi? Taufik Abdullah, doktor sejarah dari Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat, mencontohkan bahwa dari roman Sitti Nurbaya karya Marah Roesli, kita bisa belajar tentang sejarah perjuangan rakyat melawan penjajah. Juga, tentang konflik sosial yang terjadi di tengah masyarakat pada masa yang bersangkutan.

Roman Sitti Nurbaya adalah karya fiksi yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1922. Taufik Abdullah mengemukakan hal tersebut dalam diskusi Historiografi Indonesia dalam Perspektif Sejarah pada Selasa (26/1/2016) di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Tentang cerita pendek yang terkait dengan catatan sebuah kota, dalam hal ini Jakarta, pernah dibahas dalam diskusi Betawi-Jakarta (1945-2000) pada Sabtu (6/6/2015) di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Yang menjadi pembicara saat itu Zen Hae, seorang pengamat sastra Betawi. Ia mencontohkan, seperti apa situasi-kondisi kaum urban Jakarta di masa lalu, kita bisa mencermatinya dari sejumlah cerita pendek dalam kumpulan cerita pendek Harmoni, karya Ras Gading Siregar, yang diterbitkan tahun 1964.

Mengacu kepada apa yang dikemukakan Taufik Abdullah dan Zen Hae, setidaknya cerita pendek Lahore: The City of Dreadful Night bisa menjadi salah satu sumber bacaan bagi kita untuk memahami situasi-kondisi kota tersebut di masa lalu. Dalam konteks penulisan, referensi tentang sebuah kota dari karya fiksi, tidak kalah pentingnya. Hal itu akan menambah pemahaman kita tentang kota yang bersangkutan, melengkapi catatan kota yang diterbitkan secara resmi oleh pemerintah. Barangkali, karena alasan itu pulalah Trias Kuncahyono membuka tulisannya dengan menyebut cerita pendek Rudyard Kipling Lahore: The City of Dreadful Night. Langkah kreatifnya bisa menjadi inspirasi bagi kita, dalam menulis.

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Jakarta, 30 Maret 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun