Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Semar Gugat, Teater Koma Kembali Menggugat Korupsi

29 Februari 2016   06:54 Diperbarui: 6 Maret 2016   09:46 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Nano Riantiarno (kiri) dan lima pemain Semar Gugat, yang bakal dipentaskan Teater Koma pada 3-10 Maret 2016, di Gedung Kesenian Jakarta. Tata gerak dalam pentas ini ditangani oleh Sentot S., yang menangani koreografi di Teater Koma sejak tahun 1995. Sentot memasukkan unsur beragam gerak ilmu beladiri, yang tentu saja membuat pertunjukkan menjadi atraktif. Foto: Image Dynamics."][/caption]Revisi UU KPK memang ditunda, tapi bukan ditiadakan. KPK memang sudah berganti pimpinan, tapi terus dilemahkan. Budi Gunawan memang tidak menjadi Kapolri, tapi sebagai Wakil Kepala Polri. “Keadaan politik tidak berubah,” ujar Nano Riantiarno, Pimpinan Teater Koma, di Sanggar Teater Koma, Jalan Cempaka Raya No. 15, Bintaro, Jakarta 12330, pada Rabu (24/2/2016).

Untuk keadaan politik yang tidak berubah itulah, Teater Koma kembali mementaskan lakon Semar Gugat, pada 3-10 Maret 2016, di Gedung Kesenian Jakarta, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Nano Riantiarno, penulis naskah sekaligus sutradara Semar Gugat, menilai, apa yang terjadi di hari-hari ini terkait korupsi, nyaris serupa dengan apa yang terjadi selama kurun waktu 20 tahun ke belakang. Maksudnya, sikap yang ditunjukkan pihak yang berwenang, tidak sepenuhnya bertumpu pada penegakan hukum untuk memberantas korupsi. Hukum di tangan para politisi menjadi lentur, sarat dengan kepentingan politik, menjadi bagian yang paralel dengan agenda politik kekuasaan.

[caption caption="Ratna Riantiarno memotong tumpeng sebagai prosesi segera dimulainya pementasan Semar Gugat. Ratna dan Nano Riantiarno, sepasang suami-istri, yang menjadi lokomotif bagi keberlangsungan Teater Koma. Menurut Renitasari Adrian, Direktur Program Bakti Budaya Djarum Foundation, yang mendukung pementasan ini: Teater Koma adalah salah satu teater yang konsisten menggelar karya seni pertunjukan, yang apik dan tak lekang dimakan zaman. Foto: image dynamics"]

[/caption]Benarkah Tidak Berubah   

Kita tentu masih ingat. Setelah Abraham Samad sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditetapkan Polisi sebagai tersangka, Presiden Joko Widodo langsung menonaktifkannya. Sebaliknya, meski Komjen Polisi Budi Gunawan sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka, Presiden Joko Widodo justru mempromosikannya sebagai Kapolri. Abraham Samad ditetapkan sebagai tersangka dugaan pemalsuan dokumen pada Senin (9/2/2015) oleh Polda Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar). Abraham Samad diproses oleh Polisi. Setelah lebih dari setahun sejak ditetapkan sebagai tersangka, hingga hari ini belum ada ujung-pangkalnya.

Bagaimana dengan Budi Gunawan? Sejak Komisaris Jenderal Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam dugaan gratifikasi pada Selasa (13/1/2015), ia sama sekali tidak pernah diproses oleh KPK. Juga, tidak pernah dinonaktifkan oleh Presiden Joko Widodo. Dalam konteks konstitusi, Polri dan KPK adalah sama-sama lembaga penegak hukum. Artinya, penetapan tersangka yang dikeluarkan oleh Polri dan KPK sama-sama berlandaskan hukum, sama-sama memiliki kekuatan hukum. Tapi, kenapa Abraham Samad diproses oleh Polisi? Kenapa Budi Gunawan tidak diproses oleh KPK? Paradoksal yang demikianlah yang ditunjukkan pemerintahan Joko Widodo kepada kita, dalam konteks penegakan hukum.

Tidak hanya sampai di situ. Bambang Wuryanto, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P) sekaligus Sekretaris Fraksi PDI-P di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan, semua anggota Fraksi PDI-P bulat mendukung revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menyebutkan bahwa perintah revisi ini datang langsung dari pimpinan partai berlambang banteng itu. Penegasan tersebut diungkapkan Bambang Wuryanto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Kamis (8/10/2015).

Pada Jumat (5/2/2016) terungkap, dari 45 anggota DPR dari enam fraksi yang menjadi pengusul Revisi UU KPK: 15 orang dari Fraksi PDI-P, 11 orang dari Fraksi Nasdem, 3 orang dari Fraksi Hanura, dan 2 orang dari Fraksi PKB. Kita tahu, Presiden Joko Widodo adalah politisi dari PDI-P. Kita juga tahu, partai politik di atas (PDI-P, Nasdem, Hanura, dan PKB) adalah partai utama pengusung Joko Widodo masuk Istana. Kita pun tahu, 31 dari 45 anggota DPR yang menjadi pengusul Revisi UU KPK tersebut, justru berasal dari partai utama pendukung Joko Widodo. Dari perlakuan Presiden Joko Widodo terhadap KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi dan perlakuan partai pengusungnya terhadap UU KPK, kita tahu, keadaan politik memang tidak berubah.

[caption caption="Beberapa pemain Semar Gugat menampilkan cuplikan adegan di hadapan puluhan awak media, yang menghadiri jumpa pers di Sanggar Teater Koma, Jalan Cempaka Raya No. 15, Bintaro, Jakarta 12330, pada Rabu (24/2/2016). Gugatan terhadap korupsi dan monopoli, yang menjadi roh lakon ini, tetap relevan dengan kondisi terkini, meski naskahnya ditulis 21 tahun yang lalu. Foto: image dynamics"]

[/caption]

Kembali Setelah 21 Tahun

Dengan suaranya yang khas, Nano Riantiarno berujar, ”Korupsi dan monopoli, masih tetap terjadi. Yang paling aneh, keadaan politik tidak berubah. Yang salah siapa, rakyat atau pemerintah? Saya melihat, ini penting untuk diberi tahu.” Nano Riantiarno memberi tahu pihak berwenang, juga publik, melalui pementasan teater. Ia pilih lakon Semar Gugat, yang relevan untuk menggugat kondisi terkini, khususnya terkait korupsi dan monopoli. Lakon ini bukanlah naskah baru. Naskah Semar Gugat ditulis dan dipentaskan Teater Koma pertama kali pada 25 November 1995. Ya, sekitar 21 tahun yang lalu.

Berkat Semar Gugat, Nano Riantiarno mendapat penghargaan South East Asia Writers pada tahun 1998 di Thailand. Penghargaan itu diserahkan langsung oleh Putra Mahkota Kerajaan Thailand, Pangeran Maha Vajiralongkorn. Gugatan terhadap korupsi dan monopoli, yang menjadi roh lakon ini, tetap relevan dengan kondisi terkini, meski naskahnya ditulis 21 tahun yang lalu. Nano Riantiarno menjelaskan, lakon Semar Gugat menjadi sarana untuk menyampaikan kritik sosial,  dengan kemasan yang kreatif, yang menjadikannya sebagai pertunjukan yang menarik.

"Kami harap, pertunjukan ini menghibur, dan penonton yang hadir memahami pesan moral yang kami sampaikan dalam lakon ini," ucap Nano Riantiarno. Pesan moral yang dimaksud, tentulah bagian dari kritik sosial ala Teater Koma. Ada yang diungkapkan melalui sindiran, kadangkala lewat nyanyian, juga dengan banyolan yang membuat kita terbahak. Porsi hiburan dan porsi kritik sosial dikelola Nano Riantiarno dengan kreatif, sebagai sebuah seni pertunjukan yang utuh. Dibandingkan dengan pentas pada 25 November 1995, kritik sosial yang ada di Semar Gugat pada 3-10 Maret 2016, relatif sama. Inti gugatannya adalah korupsi dan monopoli.

Juga, tentang kepedulian wakil rakyat terhadap rakyat yang mereka wakili. Saat konferensi pers di Sanggar Teater Koma, pada Rabu (24/2/2016), Nano Riantiarno  mengingatkan, ”Seperti headline koran hari ini, kursi-kursi di DPR banyak yang kosong, nggak keisi. Itu kursi buat siapa? Apakah ini kecelakaan atau peristiwa yang berulang?" Perilaku wakil rakyat di Senayan, juga ulah pihak berwenang di pemerintahan, sebenarnya memang tidak jauh berbeda. Mereka dengan berbagai upaya, melemahkan posisi KPK, untuk melindungi kekuasaan yang mereka duduki.

[caption caption="Rima Ananda Oemar, pemimpin tim tata busana Teater Koma. Untuk pementasan Semar Gugat ini, ia memperkirakan, total kostum yang digunakan hampir 200 kostum. Alumni Fakultas Seni Rupa dari Institut Kesenian Jakarta tersebut telah bergabung dengan Teater Koma sejak tahun 1997. Teater Koma bukan hanya menyuguhkan cerita, akting, musik, nyanyian, dan tari yang asyik untuk dinikmati. Tapi, juga tata busana yang atraktif dan penuh warna. Foto: liputan6.com"]

[/caption]

Hampir 200 Kostum

Pertunjukan Semar Gugat pada 3-10 Maret 2016, di Gedung Kesenian Jakarta, Pasar Baru, Jakarta Pusat, tersebut, merupakan produksi Teater Koma ke-143. Pertunjukan ini didukung Djarum Apresiasi Budaya. Renitasari Adrian, Direktur Program Bakti Budaya Djarum Foundation, menuturkan, "Teater Koma adalah salah satu teater yang konsisten menggelar karya seni pertunjukan, yang apik dan tak lekang dimakan zaman. Seperti lakon Semar Gugat ini, yang sudah dipentaskan 21 tahun lalu, kini dikemas dengan tampilan baru, tetap khas Teater Koma."

Kekhasan pentas Teater Koma, antara lain, selalu menampilkan kostum dan tata artistik panggung yang megah. Ini adalah bagian yang memukau para penonton. Pada pertunjukan Semar Gugat ini, secara kostum, merupakan kombinasi unsur budaya India dan budaya Jawa. Setidaknya, tim tata busana Semar Gugat telah menciptakan lebih dari 160 kostum untuk kebutuhan pertunjukan. Rima Ananda Oemar, yang memimpin tim tata busana Teater Koma, memperkirakan, kostum untuk pentas kali ini totalnya hampir 200 kostum.

Alumni Fakultas Seni Rupa dari Institut Kesenian Jakarta tersebut telah bergabung dengan Teater Koma sejak tahun 1997. Sementara, Teater Koma didirikan pada 1 Maret 1977. Selama 19 tahun bergabung dengan Teater Koma, Rima Ananda Oemar telah menjadi sosok yang tidak terpisahkan dari kekhasan kostum pertunjukan kelompok teater ini. Salah satu kostum yang paling menantang untuk produksi ke-143 ini adalah menciptakan busana untuk karakter Srikandi dan Arjuna. Dua karakter tersebut diperankan bukan dari gender yang sama. Srikandi diperankan oleh laki-laki dan Arjuna diperankan oleh perempuan.

Artinya, Srikandi dan Arjuna bukan hanya menyuguhkan eksplorasi karakter kepada penonton, tapi juga eksplorasi tata busana. Dari sisi warna, kostum Srikandi banyak memakai unsur warna kuning dan Arjuna lebih banyak menggunakan warna hijau. Srikandi dan Arjuna tentulah dua sosok yang sudah sangat dikenal di dunia perwayangan. Ini juga menjadi bagian dari kekhasan Teater Koma. Nano Riantiarno, lengkapnya Norbertus Riantiarno, memang selalu membawa nafas wayang dalam tiap karyanya. Ia memiliki 2 rak, yang penuh dengan beragam buku tentang wayang. Ada buku-buku wayang versi India, Muangthai, serta buku-buku lain yang berkaitan dengan wayang. Secara akademik, Nano Riantiarno menjalani masa studinya di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) Jakarta dan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

 

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Jakarta, 29 Februari 2016

Pesona Cornelia Agatha dalam Tata Warna Teater Koma. Hampir 2 jam full, Cornelia Agatha meneror pentas Teater Koma. Semar yang di-support para dewa pun keok. Mari kita sambut Cornelia Agatha, sebagai pelanjut nafas seni pertunjukan teater. Bukan hanya karena ia potensial, tapi karena ia sungguh-sungguh dalam seni peran.

Siapa Manusia? Siapa Siluman? Teater Koma Menjawab. Teater Koma bukan hendak menciptakan teka-teki. Tapi, grup teater kenamaan Indonesia ini berupaya menggugah kesadaran kita untuk mencermati sosok manusia dalam arti yang sesungguhnya.

Dari Ruang Terbuka di TIM Jakarta, Teater Tanah Air Jadi Juara Festival Dunia. Ini cerita tentang kelompok teater anak-anak, yang tiap minggu latihan di ruang terbuka di TIM, hingga menjadi juara di berbagai festival teater anak-anak sedunia.

Anak-anak Pantang Menyerah di Teater Tanah Air, Sebuah Edukasi Alternatif. Jose Rizal Manua sebagai pengasuh, pembimbing, dan pembina Teater Tanah Air, dengan telaten mendampingi anak-anak asuhannya. Melalui teater, ia mendidik anak-anak untuk menemukan jati diri mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun