[caption caption="Untuk kedua kalinya, wajib kemasan untuk minyak goreng sawit, kembali ditunda. Ada pabrik yang sudah berinvestasi menyambut kebijakan wajib kemasan. Dengan dua kali penundaan tersebut, tentu saja mengganggu rencana bisnis dunia usaha. Momentum penundaan ini melahirkan sejumlah spekulan, yang memainkan harga minyak goreng di pasaran. Foto: antaranews.com"][/caption]Pemberlakuan minyak goreng sawit wajib kemasan, ditunda dari 27 Maret 2016 menjadi 1 April 2017. Ini penundaan yang kedua kali dari dua Menteri Perdagangan era Joko Widodo: Rachmat Gobel dan Thomas Lembong. Kenapa sampai dua kali ditunda?Â
Kebijakan pemerintahan Joko Widodo justru menimbulkan kegaduhan ekonomi. Padahal, dunia usaha membutuhkan kepastian, kepastian peraturan. Contoh terkini, kebijakan tentang minyak goreng sawit wajib kemasan. Kebijakan tersebut mengatur soal kewajiban produsen, pengemas, dan pelaku usaha yang menjual minyak goreng sawit, wajib menjual dalam bentuk kemasan. Tidak boleh lagi menjual dalam bentuk curah. Kita tahu, minyak goreng sawit adalah kebutuhan sehari-hari rakyat. Sekitar 75 persen masyarakat Indonesia, mengonsumsi minyak goreng sawit curah. Dan, dua kali Menteri Perdagangan era Joko Widodo, menunda eksekusi kebijakan ekonomi tersebut, tanpa alasan yang komprehensif. Tidak pula transparan kepada publik. Situasi yang demikian, melahirkan spekulan di pasar minyak goreng sawit, yang tentu saja tidak kondusif untuk menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok. Â
Rachmat Gobel Tunda Muhammad Lutfi
Ada apa dengan minyak goreng sawit curah? Kenapa minyak goreng sawit curah wajib dialihkan menjadi minyak goreng kemasan? Mari kita susuri data Kementerian Perdagangan (Kemendag). Berdasarkan data Kemendag tahun 2011, sekitar 75 persen masyarakat Indonesia, mengonsumsi minyak goreng sawit curah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Baik rumah tangga maupun pelaku usaha rakyat, skala kecil dan menengah. Pihak Kemendag menilai, minyak goreng sawit curah kurang higienis. Apakah minyak goreng sawit curah yang kurang higienis atau mekanisme perdagangannya yang membuat minyak goreng sawit curah tersebut kurang higienis?
Hal tersebut belum pernah dijelaskan kepada publik. Padahal, sekitar 75 persen masyarakat Indonesia, mengonsumsi minyak goreng sawit curah. Atas dasar alasan kurang higienis itulah, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi pada (17/10/2014) mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) tentang minyak goreng sawit wajib kemasan. Permendag tersebut berlaku efektif per (27/3/2015). Kita tentu sudah terbiasa mengalami ganti menteri, ganti peraturan. Ketika Muhammad Lutfi digantikan oleh Rachmat Gobel sebagai Menteri Perdagangan pada Senin (27/10/2014), Permendag tentang minyak goreng sawit wajib kemasan tersebut ditunda pelaksanaannya. Penundaan itu dilakukan, hanya 7 hari sebelum deadline.
Rachmat Gobel menetapkan penundaan itu pada (20/3/2015) dan menyatakan dengan tegas, bahwa waktu pemberlakuan minyak goreng sawit wajib kemasan adalah (27/3/2016). Kenapa ditunda? Apakah ada temuan baru terkait higienis minyak goreng sawit curah? Tidak ada penjelasan yang clear kepada publik. Padahal, sekitar 75 persen masyarakat Indonesia, mengonsumsi minyak goreng sawit curah. Padahal, konteks Permendag tersebut adalah aspek higienis, yang tentu saja berkorelasi dengan kesehatan publik. Dari sisi dunia usaha, penundaan yang hanya 7 hari sebelum deadline tersebut, tentu mengganggu rencana usaha dan proyeksi bisnis.
Ini menjadi contoh, yang menunjukkan kepada kita, bahwa kebijakan ekonomi pemerintahan Joko Widodo, tidak sepenuhnya mempertimbangkan kesehatan publik dan kesehatan dunia usaha. Kebijakan yang berubah-ubah, dalam hal ini penundaan eksekusi kebijakan, dengan sendirinya melahirkan spekulan. Apalagi ini menyangkut minyak goreng, yang merupakan salah satu kebutuhan pokok. Ditambah lagi, cukup banyak pelaku usaha rakyat, skala kecil dan menengah, yang menggunakan minyak goreng sebagai bahan baku usaha mereka. Pelaku usaha rakyat inilah yang menjadi korban pertama, dari para spekulan.
[caption caption="Pengusaha minyak goreng sawit skala menengah dan besar, yang memiliki kekuatan modal dan teknologi, berpotensi untuk menguasai pasar lebih luas. Bila pemerintah tidak melakukan pengawasan dengan ketat, maka kebijakan wajib kemasan bisa menjadi pendorong terbentuknya monopoli. Peran pemerintah juga dibutuhkan, agar harga minyak goreng kemasan terjangkau oleh rumah tangga maupun pelaku usaha rakyat, skala kecil dan menengah. Foto: disperindag.jabarprov.go.id"]
Rachmat Gobel kemudian digantikan Thomas Lembong, sebagai Menteri Perdagangan yang baru. Ini bagian dari skenario reshuffle Kabinet Kerja. Pergantian tersebut ditandai dengan pidato terakhir Rachmat Gobel di tengah auditorium Kementerian Perdagangan, pada Rabu (12/8/2015). Bagaimana dengan nasib kebijakan minyak goreng sawit wajib kemasan? Beberapa hari lalu, pada Jumat (5/2/2016), Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, mengadopsi langkah pendahulunya, menunda lagi eksekusi Permendag tersebut. Ia mengeluarkan Permendag baru, yang menunda pemberlakuan kewajiban penjualan minyak goreng sawit curah ke kemasan.
Thomas Lembong menetapkan eksekusinya, dari rencana sebelumnya pada Minggu (27/3/2016) menjadi Sabtu (1/4/2017). Artinya, penundaan dilakukan, satu setengah bulan sebelum deadline. Untuk sebuah kebijakan kebutuhan pokok di tingkat kementerian, ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak didukung oleh kajian yang mendalam. Padahal, ini menyangkut kebijakan publik dan terkait langsung dengan konsumsi sekitar 75 persen masyarakat Indonesia. Aspek higienis yang menjadi titik utama Permendag awalnya, tidak lagi menjadi perhatian kedua Permendag yang menunda tersebut.
Pada Jumat (5/2/2016), Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong menjelaskan, alasan penundaan penjualan minyak goreng sawit curah ke kemasan adalah untuk mendukung kesiapan produsen, pengemas, dan pelaku usaha dalam memenuhi kewajiban tersebut. Okelah, pendekatan higienis dan kesehatan publik, sudah bergeser menjadi pendekatan dunia usaha dan pendekatan bisnis. Nah, bagaimana dengan kesiapan pebisnis minyak goreng sawit? Tahun 2016 ini, total produksi minyak goreng sawit curah diperkirakan mencapai 4,25 juta ton. Guna mengemas minyak curah tersebut, diperlukan investasi sekitar Rp 3,2 triliun, untuk pengadaan sekitar 3.000 unit mesin pengemas, packing line.
Kalkulasinya, saat ini, packing line yang beroperasi di industri minyak goreng sawit, ada sekitar 180 packing line untuk mengemas 300 ribu ton minyak goreng sawit, dalam kemasan sederhana, pillow type per tahun. Kalkulasi Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) tersebut, menunjukkan kepada kita, dibutuhkan lompatan dari 180 packing line menjadi 3.000 unit di seluruh Indonesia, untuk mewujudkan penjualan minyak goreng sawit curah ke kemasan. Silakan hitung sendiri, berapa persen lompatan yang harus dilakukan industri minyak goreng sawit. Akankah lompatan tersebut terjangkau hingga deadline pada Sabtu (1/4/2017)?
Menunda Momentum Spekulan     Â
Kita tahu, Presiden Joko Widodo adalah pengusaha, sebelum terjun ke ranah politik. Pada (20/4/2006), beberapa bulan setelah terpilih menjadi Wali Kota Solo, Jawa Tengah, kepada swa.co.id, Joko Widodo menegaskan, yang dibutuhkan investor bukanlah ada biaya atau tidak, tapi kepastian, transparansi, dan iklim usaha yang kondusif. Hal itu berkali-kali ia ulangi ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta. Setelah menjadi Presiden, Joko Widodo bahkan lebih sering mengulanginya, demi menggaet investor masuk Indonesia. Dalam konteks pemberlakuan minyak goreng sawit wajib kemasan, yang penundaan eksekusinya sampai dua kali oleh dua Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel dan Thomas Lembong, di mana letak kepastian, transparansi, dan iklim usaha yang kondusif, yang Joko Widodo maksudkan?
Secara kalkulasi, yang dibutuhkan industri minyak goreng sawit, bukan hanya investasi sekitar Rp 3,2 triliun, untuk pengadaan sekitar 3.000 unit mesin pengemas, packing line. Tapi, juga membengkaknya biaya logistik untuk distribusi, yang meningkat hingga 20 persen, jika dibandingkan dengan mendistribusikan minyak curah. Rinciannya, begini. Untuk mendistribusikan 20 ton minyak goreng sawit kemasan, misalnya, harus pakai kontainer. Kalau dalam wujud curah, bisa pakai tangki. Dan, secara biaya, ongkos angkut kontainer itu, setara dengan dua kali ongkos tangki. Sebagai mantan pengusaha, Presiden Joko Widodo tentu paham, semua itu otomatis akan mendongkrak cost production. Ujungnya, lonjakan biaya tersebut, dengan sendirinya, akan menggelembungkan harga di tingkat konsumen.
Sepertinya, Presiden Joko Widodo belum menunjukkan reaksi, setelah Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong menunda untuk kedua kalinya eksekusi wajib kemasan itu pada Jumat (5/2/2016), lalu. Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), pada Selasa (16/2/2016), memaparkan, rata-rata biaya pengemasan minyak goreng sawit, sekitar 12 persen dari biaya produksi minyak goreng curah. Di Pasar Induk Cipanas, Jawa Barat, sehari sebelum penundaan, pada Kamis (4/2/2016), harga minyak goreng sawit curah Rp 9.500 per kilogram. Sedangkan harga minyak goreng sawit kemasan, yang paling murah dibanderol Rp 13.500 per liter.
Dari perlakuan pemerintahan Joko Widodo terhadap industri minyak goreng sawit dan terhadap konsumen pengguna minyak goreng, kita melihat, yang timbul adalah sejumlah spekulan yang memainkan harga minyak goreng. Yang langsung terkena dampaknya adalah rakyat, mereka yang sehari-hari berbelanja di pasar tradisional. Juga, para pelaku usaha rakyat, skala kecil dan menengah, yang menggunakan minyak goreng sebagai bahan baku usaha mereka. Di rentang waktu menjelang deadline pada Sabtu (1/4/2017), potensi lahirnya spekulan baru di perdagangan minyak goreng, mungkin akan lebih besar. Tapi, apa pun itu, yang akan menanggung tetap saja rakyat ... ya rakyat.
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Jakarta, 18 Februari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H