Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Thomas Lembong dan Rachmat Gobel Menunda, Spekulan Minyak Goreng Bermain

18 Februari 2016   08:37 Diperbarui: 18 Februari 2016   10:07 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Untuk kedua kalinya, wajib kemasan untuk minyak goreng sawit, kembali ditunda. Ada pabrik yang sudah berinvestasi menyambut kebijakan wajib kemasan. Dengan dua kali penundaan tersebut, tentu saja mengganggu rencana bisnis dunia usaha. Momentum penundaan ini melahirkan sejumlah spekulan, yang memainkan harga minyak goreng di pasaran. Foto: antaranews.com"][/caption]Pemberlakuan minyak goreng sawit wajib kemasan, ditunda dari 27 Maret 2016 menjadi 1 April 2017. Ini penundaan yang kedua kali dari dua Menteri Perdagangan era Joko Widodo: Rachmat Gobel dan Thomas Lembong. Kenapa sampai dua kali ditunda? 

Kebijakan pemerintahan Joko Widodo justru menimbulkan kegaduhan ekonomi. Padahal, dunia usaha membutuhkan kepastian, kepastian peraturan. Contoh terkini, kebijakan tentang minyak goreng sawit wajib kemasan. Kebijakan tersebut mengatur soal kewajiban produsen, pengemas, dan pelaku usaha yang menjual minyak goreng sawit, wajib menjual dalam bentuk kemasan. Tidak boleh lagi menjual dalam bentuk curah. Kita tahu, minyak goreng sawit adalah kebutuhan sehari-hari rakyat. Sekitar 75 persen masyarakat Indonesia, mengonsumsi minyak goreng sawit curah. Dan, dua kali Menteri Perdagangan era Joko Widodo, menunda eksekusi kebijakan ekonomi tersebut, tanpa alasan yang komprehensif. Tidak pula transparan kepada publik. Situasi yang demikian, melahirkan spekulan di pasar minyak goreng sawit, yang tentu saja tidak kondusif untuk menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok.  

Rachmat Gobel Tunda Muhammad Lutfi

Ada apa dengan minyak goreng sawit curah? Kenapa minyak goreng sawit curah wajib dialihkan menjadi minyak goreng kemasan? Mari kita susuri data Kementerian Perdagangan (Kemendag). Berdasarkan data Kemendag tahun 2011, sekitar 75 persen masyarakat Indonesia, mengonsumsi minyak goreng sawit curah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Baik rumah tangga maupun pelaku usaha rakyat, skala kecil dan menengah. Pihak Kemendag menilai, minyak goreng sawit curah kurang higienis. Apakah minyak goreng sawit curah yang kurang higienis atau mekanisme perdagangannya yang membuat minyak goreng sawit curah tersebut kurang higienis?

Hal tersebut belum pernah dijelaskan kepada publik. Padahal, sekitar 75 persen masyarakat Indonesia, mengonsumsi minyak goreng sawit curah. Atas dasar alasan kurang higienis itulah, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi pada (17/10/2014) mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) tentang minyak goreng sawit wajib kemasan. Permendag tersebut berlaku efektif per (27/3/2015). Kita tentu sudah terbiasa mengalami ganti menteri, ganti peraturan. Ketika Muhammad Lutfi digantikan oleh Rachmat Gobel sebagai Menteri Perdagangan pada Senin (27/10/2014), Permendag tentang minyak goreng sawit wajib kemasan tersebut ditunda pelaksanaannya. Penundaan itu dilakukan, hanya 7 hari sebelum deadline.

Rachmat Gobel menetapkan penundaan itu pada (20/3/2015) dan menyatakan dengan tegas, bahwa waktu pemberlakuan minyak goreng sawit wajib kemasan adalah (27/3/2016). Kenapa ditunda? Apakah ada temuan baru terkait higienis minyak goreng sawit curah? Tidak ada penjelasan yang clear kepada publik. Padahal, sekitar 75 persen masyarakat Indonesia, mengonsumsi minyak goreng sawit curah. Padahal, konteks Permendag tersebut adalah aspek higienis, yang tentu saja berkorelasi dengan kesehatan publik. Dari sisi dunia usaha, penundaan yang hanya 7 hari sebelum deadline tersebut, tentu mengganggu rencana usaha dan proyeksi bisnis.

Ini menjadi contoh, yang menunjukkan kepada kita, bahwa kebijakan ekonomi pemerintahan Joko Widodo, tidak sepenuhnya mempertimbangkan kesehatan publik dan kesehatan dunia usaha. Kebijakan yang berubah-ubah, dalam hal ini penundaan eksekusi kebijakan, dengan sendirinya melahirkan spekulan. Apalagi ini menyangkut minyak goreng, yang merupakan salah satu kebutuhan pokok. Ditambah lagi, cukup banyak pelaku usaha rakyat, skala kecil dan menengah, yang menggunakan minyak goreng sebagai bahan baku usaha mereka. Pelaku usaha rakyat inilah yang menjadi korban pertama, dari para spekulan.

[caption caption="Pengusaha minyak goreng sawit skala menengah dan besar, yang memiliki kekuatan modal dan teknologi, berpotensi untuk menguasai pasar lebih luas. Bila pemerintah tidak melakukan pengawasan dengan ketat, maka kebijakan wajib kemasan bisa menjadi pendorong terbentuknya monopoli. Peran pemerintah juga dibutuhkan, agar harga minyak goreng kemasan terjangkau oleh rumah tangga maupun pelaku usaha rakyat, skala kecil dan menengah. Foto: disperindag.jabarprov.go.id"]

[/caption]Thomas Lembong Tunda Rachmat Gobel

Rachmat Gobel kemudian digantikan Thomas Lembong, sebagai  Menteri Perdagangan yang baru. Ini bagian dari skenario reshuffle Kabinet Kerja. Pergantian tersebut ditandai dengan pidato terakhir Rachmat Gobel di tengah auditorium Kementerian Perdagangan, pada Rabu (12/8/2015). Bagaimana dengan nasib kebijakan minyak goreng sawit wajib kemasan? Beberapa hari lalu, pada Jumat (5/2/2016), Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, mengadopsi langkah pendahulunya, menunda lagi eksekusi Permendag tersebut. Ia mengeluarkan Permendag baru, yang menunda pemberlakuan kewajiban penjualan minyak goreng sawit curah ke kemasan.

Thomas Lembong menetapkan eksekusinya, dari rencana sebelumnya pada Minggu (27/3/2016) menjadi Sabtu (1/4/2017). Artinya, penundaan dilakukan, satu setengah bulan sebelum deadline. Untuk sebuah kebijakan kebutuhan pokok di tingkat kementerian, ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak didukung oleh kajian yang mendalam. Padahal, ini menyangkut kebijakan publik dan terkait langsung dengan konsumsi sekitar 75 persen masyarakat Indonesia. Aspek higienis yang menjadi titik utama Permendag awalnya, tidak lagi menjadi perhatian kedua Permendag yang menunda tersebut.

Pada Jumat (5/2/2016), Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong menjelaskan, alasan penundaan penjualan minyak goreng sawit curah ke kemasan adalah untuk mendukung kesiapan produsen, pengemas, dan pelaku usaha dalam memenuhi kewajiban tersebut. Okelah, pendekatan higienis dan kesehatan publik, sudah bergeser menjadi pendekatan dunia usaha dan pendekatan bisnis. Nah, bagaimana dengan kesiapan pebisnis minyak goreng sawit? Tahun 2016 ini, total produksi minyak goreng sawit curah diperkirakan mencapai 4,25 juta ton. Guna mengemas minyak curah tersebut, diperlukan investasi sekitar Rp 3,2 triliun, untuk pengadaan sekitar 3.000 unit mesin pengemas, packing line.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun