Kapal angkut sapi KM Camara Nusantara 1 disubsidi pemerintah. Dua dari tiga kali pelayaran, kapal tersebut gagal mengangkut sapi. Sekitar Rp 1 miliar terbuang sia-sia. Pada Kamis (21/1/2016), di sejumlah tempat, harga daging sapi menembus Rp 140 ribu per kilgoram. Joko Widodo perlu mengevaluasi Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertanian, Pelni, dan Perum Bulog, agar tol laut bermanfaat bagi peternak sapi, pedagang sapi, dan konsumen. Foto: tempo.co
Kapal angkut sapi KM Camara Nusantara 1 ditujukan untuk memangkas biaya angkut sapi. Pemangkasannya drastis, dari Rp 1,5 juta ditekan menjadi hanya Rp 320.000 per ekor. Tapi, kenapa kapal sapi itu kosong melompong dari Nusa Tenggara Timur (NTT) ke Jakarta?
Ini momentum bagi semua pihak yang berkepentingan, untuk mencermati, why and how dengan tol laut. Sejak diresmikan Presiden Joko Widodo pada Selasa (10/11/2015) di Bangkalan, Madura, Jawa Timur, kapal angkut sapi KM Camara Nusantara I sudah melakukan tiga kali pelayaran dari NTT menuju sejumlah pelabuhan di Pulau Jawa: Surabaya, Semarang, Cirebon, dan Jakarta. Menurut Hari Setyobudi, Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kementerian Perhubungan, kepada Tempo pada Selasa (19/1/2016), kapal itu baru sekali berhasil mengangkut ternak, 353 ekor sapi dari NTT ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Jumat (11/12/2015). Pada dua pelayaran selanjutnya, kapal itu kembali dari NTT sampai Cirebon, Jawa Barat, tanpa mengangkut sapi alias kosong melompong.
Publik Rugi, Subsidi Sia-sia
Untuk operasional kapal ternak itu, hingga empat bulan mendatang, Kementerian Perhubungan telah menyiapkan subsidi Rp 8 miliar. Dana itu disalurkan melalui PT Pelni sebagai operator kapal ternak. Jadwal perjalanan kapal, dua kali dalam sebulan. Ternak yang akan diangkut, dalam hal ini sapi, dikoordinasikan oleh Kementerian Pertanian. Dengan kosong melompongnya dua kali pelayaran KM Camara Nusantara I, kita tahu, ada jutaan rupiah subsidi yang sudah terbuang sia-sia. Ini tentu tidak bisa kita biarkan. Penyelenggara negara sudah seharusnya bekerja dengan cermat, agar uang rakyat tidak terbuang percuma.
Apa yang dikemukakan Hari Setyobudi di atas, juga ditemukan tim Bincang-Bincang Agribisnis (BBA), yang mensurvei tentang penjualan sapi dari NTT ke Pulau Jawa. Hasil survei tersebut kemudian dipaparkan di Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Jl. Adisucipto, Penfui, Kupang, NTT. Dalam paparannya, Yeka Hendra Fatika, Direktur BBA yang sekaligus Ketua Pelaksana Harian Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI), mengemukakan, akibat kapal tersebut tidak mengangkut sapi, negara merugi sekitar Rp 1 miliar, terdiri atas biaya bahan bakar sekitar Rp 500 juta dan operasional anak buah kapal.
Kapal angkut ternak KM Camara Nusantara I adalah kapal angkut ternak yang pertama di Indonesia, dari 6 unit kapal sejenis yang akan disiapkan pemerintah Joko Widodo untuk mengangkut ternak dari dan ke sejumlah wilayah di tanah air. Antara lain, NTT, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Lampung. Dalam konteks tol laut, gagalnya KM Camara Nusantara I mengangkut ternak dalam dua kali pelayaran, hendaknya menjadi pembelajaran bagi semua pihak yang berwenang. Bagaimanapun juga, mata rantai perdagangan sapi di tiap wilayah, tidak bisa dengan serampangan digeneralisir. Perlu dikelola secara strategis.
Kerugian akibat KM Camara Nusantara I tersebut adalah kerugian publik, karena dana subsidi tersebut sesungguhnya adalah uang rakyat. Sebagai sebuah permulaan, kita tentu tidak bisa semena-mena mendiskreditkan program tol laut ini, khususnya dalam pengangkutan sapi. Justru, ini kesempatan bagi pihak Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertanian, Pelni, dan Perum Bulog untuk sama-sama memetakan kendala serta mencari solusi, agar keberadaan KM Camara Nusantara I menjadi infrastruktur laut yang efektif. Saling menyalahkan antar institusi dan kemudian menuding aparat di daerah, tentu tidak ada gunanya. Sikap negatif yang demikian, justru bisa membuat kerugian lebih besar.
Peternak Berhitung Untung
Dalam konteks tol laut, KM Camara Nusantara I menguntungkan siapa? Secara konseptual, pemerintahan Joko Widodo tentulah hendak menguntungkan banyak pihak, antara lain: peternak, pedagang sapi, dan konsumen sebagai end user daging sapi. Meski secara konseptual hal tersebut bisa dilakukan sekaligus, tapi kenyataan di lapangan membuktikan bahwa jajaran Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertanian, Pelni, dan Perum Bulog harus bekerja lebih keras lagi untuk menggapai capaian tersebut.
Mari kita mulai dengan ketersediaan sapi di NTT. Menurut data Kementerian Perdagangan, stok sapi yang siap dijual di NTT, cukup. Srie Agustina, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, mengatakan kepada Tempo, pada Kamis (21/1/2016), saat ini NTT mempunyai stok sapi yang diperdagangkan sejumlah 55.250 ekor. Mengacu kepada hukum dagang, supply and demand, peternak dan pedagang sapi di NTT tidak dalam posisi terdesak harus menjual sapi. Artinya, mereka memiliki keleluasaan untuk memilih, kapan saat yang paling menguntungkan untuk menjual sapi.
Inilah yang terjadi kini. Pembeli sapi dari DKI Jakarta dan Jawa Barat, yang akan menggunakan KM Camara Nusantara I, yang dikoordinasikan oleh Kementerian Pertanian, hanya mampu membeli sekitar Rp 37-38 ribu per kilogram berat hidup. Di pihak lain, pedagang sapi dengan tujuan Kalimantan, berani membeli hingga Rp 41 ribu per kilogram berat hidup. Peternak dan pedagang sapi di NTT tentulah berhitung untung. Mereka ogah menjual sapi ke pembeli sapi dari DKI Jakarta dan Jawa Barat. Mereka menjualnya ke pedagang sapi dengan tujuan Kalimantan. Sebagai catatan, selama ini, 60 persen sapi NTT dijual ke Kalimantan dan 40 persen dijual ke Pulau Jawa.
Akibatnya, KM Camara Nusantara I kosong melompong hingga dua kali pelayaran. Di mata para peternak dan pedagang sapi NTT, keberadaan kapal angkut ternak tersebut, bukanlah infrastruktur laut yang mendatangkan keuntungan lebih. Kapal angkut ternak tersebut diciptakan pemerintah Joko Widodo untuk memenuhi kebutuhan daging sapi di Pulau Jawa. Bukan untuk para peternak dan pedagang sapi NTT. Sekali lagi, situasi-kondisi tersebut hendaknya menjadi pembelajaran bagi semua pihak yang berwenang dengan plan tol laut. Kapal yang bersubsidi dan ongkos yang lebih murah, tidak cukup untuk menjadikan konsep tol laut bernilai tambah bagi peternak dan pedagang sapi di NTT.
Konsumen Belum Terjangkau
Bagaimana dengan konsumen? Kebijakan tata niaga sapi pemerintahan Joko Widodo, jelas belum mampu menjangkau konsumen sebagaimana mestinya. Joko Widodo beserta jajarannya, belum mampu menyediakan daging sapi dengan harga yang wajar kepada konsumen. Padahal, pemerintah melalui Perum Bulog sudah mendatangkan sapi impor siap potong dari Australia. Pada September 2015 lalu, misalnya, ada 4 kali pengapalan sapi impor siap potong: pertama sebanyak 2.350 ekor, pengapalan kedua sebanyak 1.450 ekor, pengapalan ketiga sebanyak 1.100 ekor, dan pengapalan keempat sebanyak 2.200 ekor. Semua pengapalan dilakukan melalui pintu masuk Pelabuhan Tanjung Priok.
Pada Rabu (2/9/2015), Muladno, Direktur Jenderal Peternakan Kementan, menjanjikan, impor sapi selanjutnya akan dilakukan bertahap sesuai dengan kebutuhan. Dengan memperhatikan kondisi pasokan sapi potong dalam negeri. Entah bagaimana jajaran pemerintahan Joko Widodo memahami kebutuhan masyarakat akan daging sapi. Yang jelas, harga daging sapi terus membubung di pasaran. Harga itu kian meroket setelah diterapkannya kebijakan baru. Kepala Dinas Peternakan Jawa Barat, Doddy Firman Nugraha, mengatakan, pedagang sapi mulai menaikkan harga daging sapi, sebagai imbas dari pemberlakukan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 267 Tahun 2015 yang menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen. Salah satunya ditujukan pada transaksi perdagangan sapi impor.
Kepada Tempo, pada Kamis (21/1/2016), Doddy Firman Nugraha mengatakan, harga daging sapi yang semula Rp 110 ribu sampai Rp 120 ribu per kilogram, melonjak di atas Rp 130 ribu per kilogram. Bahkan, di sejumlah tempat, harga daging sapi tembus Rp 140 ribu per kilgoram. Bila dikorelasikan dengan kosong melompongnya KM Camara Nusantara I hingga dua kali pelayaran, kita tahu, alangkah tidak sensitifnya jajaran pemerintahan Joko Widodo terhadap gejolak harga daging sapi di pasaran. Padahal, lonjakan harga daging sapi, bukan baru pertama kali terjadi. Ini menjadi indikator, betapa minimnya antisipasi jajaran pemerintahan Joko Widodo dalam menangani hal tersebut.
Dalam konteks tol laut, seandainya, sekali lagi seandainya, KM Camara Nusantara I mengangkut 353 ekor sapi dari NTT dua kali sebulan, adakah dampaknya pada harga daging sapi di pasaran? Mari berhitung. Saat ini, kebutuhan sapi di Jabodetabek per hari 1.500 ekor. Dalam 15 hari, total kebutuhan sapi di Jabodetabek menjadi 22.500 ekor. Dengan demikian, 353 ekor sapi dari KM Camara Nusantara I per dua minggu tersebut, sangat minim dibandingkan kebutuhan. Sekali lagi, situasi-kondisi tersebut hendaknya menjadi pembelajaran bagi semua pihak yang berwenang dengan plan tol laut. Baik dalam konteks menghadapi peternak, pedagang sapi, juga dalam hal menyediakan daging sapi dengan harga yang wajar kepada konsumen.
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Jakarta, 23 Januari 2016
----------------------------
Sapi betina, khususnya yang masih produktif, dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009, tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Tujuannya, agar populasi sapi di tanah air tetap terjaga.
Harga daging sapi melambung dari Rp 89.000 per kg menjadi Rp 140.000 per kg. Seharusnya, pedagang daging sapi berpesta-pora, karena menangguk untung besar. Kenapa mereka mogok berjualan?
Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus, Bareskrim Polri, menemukan surat dari Persatuan Pedagang Sapi Jabodetabek, yang isinya ajakan agar pedagang tak melepas sapi mereka untuk dipotong.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI