Mari kita mulai dengan ketersediaan sapi di NTT. Menurut data Kementerian Perdagangan, stok sapi yang siap dijual di NTT, cukup. Srie Agustina, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, mengatakan kepada Tempo, pada Kamis (21/1/2016), saat ini NTT mempunyai stok sapi yang diperdagangkan sejumlah 55.250 ekor. Mengacu kepada hukum dagang, supply and demand, peternak dan pedagang sapi di NTT tidak dalam posisi terdesak harus menjual sapi. Artinya, mereka memiliki keleluasaan untuk memilih, kapan saat yang paling menguntungkan untuk menjual sapi.
Inilah yang terjadi kini. Pembeli sapi dari DKI Jakarta dan Jawa Barat, yang akan menggunakan KM Camara Nusantara I, yang dikoordinasikan oleh Kementerian Pertanian, hanya mampu membeli sekitar Rp 37-38 ribu per kilogram berat hidup. Di pihak lain, pedagang sapi dengan tujuan Kalimantan, berani membeli hingga Rp 41 ribu per kilogram berat hidup. Peternak dan pedagang sapi di NTT tentulah berhitung untung. Mereka ogah menjual sapi ke pembeli sapi dari DKI Jakarta dan Jawa Barat. Mereka menjualnya ke pedagang sapi dengan tujuan Kalimantan. Sebagai catatan, selama ini, 60 persen sapi NTT dijual ke Kalimantan dan 40 persen dijual ke Pulau Jawa.
Akibatnya, KM Camara Nusantara I kosong melompong hingga dua kali pelayaran. Di mata para peternak dan pedagang sapi NTT, keberadaan kapal angkut ternak tersebut, bukanlah infrastruktur laut yang mendatangkan keuntungan lebih. Kapal angkut ternak tersebut diciptakan pemerintah Joko Widodo untuk memenuhi kebutuhan daging sapi di Pulau Jawa. Bukan untuk para peternak dan pedagang sapi NTT. Sekali lagi, situasi-kondisi tersebut hendaknya menjadi pembelajaran bagi semua pihak yang berwenang dengan plan tol laut. Kapal yang bersubsidi dan ongkos yang lebih murah, tidak cukup untuk menjadikan konsep tol laut bernilai tambah bagi peternak dan pedagang sapi di NTT.
Konsumen Belum Terjangkau
Bagaimana dengan konsumen? Kebijakan tata niaga sapi pemerintahan Joko Widodo, jelas belum mampu menjangkau konsumen sebagaimana mestinya. Joko Widodo beserta jajarannya, belum mampu menyediakan daging sapi dengan harga yang wajar kepada konsumen. Padahal, pemerintah melalui Perum Bulog sudah mendatangkan sapi impor siap potong dari Australia. Pada September 2015 lalu, misalnya, ada 4 kali pengapalan sapi impor siap potong: pertama sebanyak 2.350 ekor, pengapalan kedua sebanyak 1.450 ekor, pengapalan ketiga sebanyak 1.100 ekor, dan pengapalan keempat sebanyak 2.200 ekor. Semua pengapalan dilakukan melalui pintu masuk Pelabuhan Tanjung Priok.
Pada Rabu (2/9/2015), Muladno, Direktur Jenderal Peternakan Kementan, menjanjikan, impor sapi selanjutnya akan dilakukan bertahap sesuai dengan kebutuhan. Dengan memperhatikan kondisi pasokan sapi potong dalam negeri. Entah bagaimana jajaran pemerintahan Joko Widodo memahami kebutuhan masyarakat akan daging sapi. Yang jelas, harga daging sapi terus membubung di pasaran. Harga itu kian meroket setelah diterapkannya kebijakan baru. Kepala Dinas Peternakan Jawa Barat, Doddy Firman Nugraha, mengatakan, pedagang sapi mulai menaikkan harga daging sapi, sebagai imbas dari pemberlakukan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 267 Tahun 2015 yang menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen. Salah satunya ditujukan pada transaksi perdagangan sapi impor.
Kepada Tempo, pada Kamis (21/1/2016), Doddy Firman Nugraha mengatakan, harga daging sapi yang semula Rp 110 ribu sampai Rp 120 ribu per kilogram, melonjak di atas Rp 130 ribu per kilogram. Bahkan, di sejumlah tempat, harga daging sapi tembus Rp 140 ribu per kilgoram. Bila dikorelasikan dengan kosong melompongnya KM Camara Nusantara I hingga dua kali pelayaran, kita tahu, alangkah tidak sensitifnya jajaran pemerintahan Joko Widodo terhadap gejolak harga daging sapi di pasaran. Padahal, lonjakan harga daging sapi, bukan baru pertama kali terjadi. Ini menjadi indikator, betapa minimnya antisipasi jajaran pemerintahan Joko Widodo dalam menangani hal tersebut.
Dalam konteks tol laut, seandainya, sekali lagi seandainya, KM Camara Nusantara I mengangkut 353 ekor sapi dari NTT dua kali sebulan, adakah dampaknya pada harga daging sapi di pasaran? Mari berhitung. Saat ini, kebutuhan sapi di Jabodetabek per hari 1.500 ekor. Dalam 15 hari, total kebutuhan sapi di Jabodetabek menjadi 22.500 ekor. Dengan demikian, 353 ekor sapi dari KM Camara Nusantara I per dua minggu tersebut, sangat minim dibandingkan kebutuhan. Sekali lagi, situasi-kondisi tersebut hendaknya menjadi pembelajaran bagi semua pihak yang berwenang dengan plan tol laut. Baik dalam konteks menghadapi peternak, pedagang sapi, juga dalam hal menyediakan daging sapi dengan harga yang wajar kepada konsumen.
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Jakarta, 23 Januari 2016