Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Spirit Toleransi dari Ruang Publik, Mengetuk Nurani

26 Desember 2015   10:50 Diperbarui: 26 Desember 2015   11:52 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini kreasi seniman seni rupa di salah satu halte bus di Kota Semarang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Halte bus dan tempat publik, menjadi ruang bagi seniman untuk menuangkan idenya tentang isu yang bertemakan kerukunan umat beragama. Karya tersebut menjadi media kampanye mengenai isu keberagaman dan kerukunan di tengah masyarakat yang majemuk, dengan beragam latar belakang suku dan agama. Foto: print.kompas.com

Kamis (24/12/2015), umat Islam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Jumat (25/12/2015), umat Kristiani merayakan Natal. Waktu senantiasa mengajari kita untuk hidup rukun berdampingan, dalam kebhinekaan. Karena, sejak awal, negeri ini dibangun dengan kebersamaan, dengan keberagaman.

Untuk memahami kebersamaan, keragaman, dan kerukunan, kita sesungguhnya bisa belajar dari keseharian. Di banyak tempat, juga di berbagai kesempatan, kita punya peluang untuk mengembangkan kebersamaan, keragaman, dan kerukunan tersebut melalui sikap toleransi. Sebagai pengendara sepeda motor, misalnya, kita bisa toleran kepada para pejalan kaki, dengan berhenti di belakang marka penyeberang jalan. Mereka yang masih muda, misalnya, bisa toleran kepada para lansia, ibu hamil, dan penyandang disabilitas, dengan memberikan tempat duduk di kendaraan umum atau di ruang tunggu.

Toleransi dari Jalanan

Latihan bertoleransi dalam keseharian yang demikian, adalah proses bagi kita untuk melangkah ke toleransi yang lebih substansial. Dalam hal toleransi beragama, misalnya. Di ruang publik, para seniman seni rupa kerap mengingatkan kita dengan cara yang kreatif, melalui mural. Salah satu contohnya, seperti yang bisa kita lihat di salah satu halte bus di Kota Semarang, Jawa Tengah, di atas. Lima orang, dengan simbol keyakinan masing-masing, mengayuh sepeda panjang bersama-sama.

Secara simbolik, lukisan mural tersebut, tentu saja menggugah, dalam konteks kerukunan. Mereka yang kerap menggambar di ruang publik, seperti di dinding, di jembatan, dan di tiang-tiang di perkotaan, menamakan diri seniman jalanan, street artist. Lukisan mural tersebut, seringkali tidak bertahan lama. Petugas kebersihan kota akan menghapusnya, karena mural itu dianggap merusak keindahan kota. Meski demikian, message berbagai mural yang demikian, toh sudah sampai ke banyak pasang mata.

Di era digital kini, ada saja warga yang memotret mural, kemudian mem-publish-nya di sosial media. Jadi, meski wujud fisiknya sudah dihapus, toh kita masih bisa menemukannya di ranah maya. Dengan kata lain, warga yang menyebarkan mural dengan message kerukunan, berarti telah turut pula menebarkan spirit toleransi di antara kita. Sebagian mungkin tergugah. Sebagian lagi, mungkin tidak peduli. Tapi, itu bukan alasan bagi kita untuk berhenti menebarkan spirit kebersamaan, yang kita temukan di ruang-ruang publik.

Semua ini adalah proses. Karena, gugahan toleransi dari ruang publik ini, akan melengkapi berbagai semboyan toleransi yang disuarakan secara formal oleh mereka yang berwenang, dari ruang seminar, ruang kuliah, ruang konferensi, serta dari berbagai rumah ibadah. Meski suara toleransi dari ranah formal tersebut tidak sepenuhnya dipahami oleh orang banyak, tapi berbagai semboyan tersebut terus dikumandangkan. Bagaimanapun juga, itu sudah menjadi kewajiban rutin para juru tulis pidato sejumlah pejabat.

Mural ini berjudul Toleransi di Bawah Batu, karya seniman Eko Nugroho. Barangkali mural ini sudah dihapus oleh pihak berwenang. Totok Wijayanto, fotografer kompas.com, memotret mural di dinding kolong Tol Bintaro, Jakarta Selatan, tersebut, pada Selasa, (12/11/2013). Gambar mural ini merupakan bagian dari Jakarta Biennale ke-15, 9–30 November 2013, dengan tema Siasat. Saat ini, hingga 17 Januari 2016, sedang berlangsung Jakarta Biennale ke-16 di Gudang Sarinah, Jalan Pancoran Timur II No. 4, Jakarta Selatan. Tema tahun ini, Maju Kena Mundur Kena. Foto: kompas.com

Toleransi 10 dari 94 Kota  

Upaya untuk menebarkan spirit toleransi, selain bisa kita temukan di sejumlah lukisan mural di ruang publik, juga bisa kita cermati dari sejumlah kebijakan publik di berbagai wilayah di tanah air. Sebuah lembaga riset, Setara Institute, dari Agustus 2015 hingga Oktober 2015, mencoba menelusuri tingkat toleransi di 94 kota di tanah air. Ada empat variabel utama, yakni regulasi pemerintah, tindakan pemerintah, regulasi sosial, dan demografi agama, yang digunakan untuk mengukur tingkat toleransi beragama dari masing-masing kota yang bersangkutan.

Sebagai catatan, negeri kita memiliki 434 kabupaten dan kota. Riset tersebut menelusuri 94 kota. Sebagaimana dikemukakan Ismail Hasani, Direktur Riset Setara Institute, dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, pada Senin (16/11/2015), penelitian tersebut dilakukan dalam rangka memperingati Hari Toleransi Internasional, yang dirayakan setiap 16 November. Hasil riset tersebut menunjukkan, ada 10 dari 94 kota yang disusuri, yang memiliki nilai toleransi tinggi: Pematang Siantar, Salatiga, Singkawang, Manado, Tual, Sibolga, Ambon, Sorong, Pontianak, dan Palangkaraya.

Meski riset ini belum bisa diklaim sebagai gambaran toleransi tingkat nasional, tapi setidaknya, kita mendapatkan gambaran, bahwa ada sejumlah kota yang telah menunjukkan apresiasi yang memadai terhadap toleransi. Sudah sepatutnya, pemangku kepentingan serta masyarakat di 10 kota tersebut, kita apresiasi. Karena, mereka bukan hanya telah menunjukkan itikad yang positif untuk memelihara kerukunan antar umat beragama di wilayah setempat, tapi juga bisa menjadi inspirasi bagi kota lain.

Pihak berwenang, barangkali bisa menyikapi hasil riset tersebut, dalam konteks menebarkan kerukunan. Bisa jadi hasil riset itu didalami lebih jauh, untuk mendapatkan gambaran yang lebih detail. Mengingat keragaman di 10 kota tersebut, bukan tidak mungkin, langkah-langkah kerukunan yang sudah diimplementasikan di 10 kota itu bisa diadopsi untuk sejumlah kota lain. Bagaimanapun juga, kerukunan masyarakat di suatu wilayah, memegang peranan penting bagi kemajuan wilayah yang bersangkutan.

Masjid An-Namira dan Gereja GMIM Jemaat Lakban, dibangun dalam satu halaman, di Kampung Buyat Pante, Dusun 5, Desa Ratatotok Timur, Kecamatan Ratatok, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara. Tingkat toleransi kehidupan beragama di Kampung Buyat Pante ini, sungguh terjaga. Penelitian Litbang Harian Kompas, pada 9-11 Desember 2015, menunjukkan 88,2 persen dari 451 responden dari 12 kota besar di Indonesia, mengaku tidak berkeberatan jika ada tetangga yang berbeda agama mengadakan acara keagamaan di kediaman mereka. Foto: kompas.com dan print.kompas.com

Bersama Merawat Toleransi

Apa yang diwujudkan masyarakat di Kampung Buyat Pante di atas, menunjukkan kepada kita, bagaimana masyarakat setempat, yang jauh dari perkotaan, justru memiliki kepedulian yang tinggi untuk merawat sikap toleransi. Mereka telah sepakat untuk mendirikan dua rumah ibadah dari dua agama yang berbeda, dalam satu halaman tanpa pagar pembatas, bahkan nyaris berdempetan. Kedua bangunan tersebut didirikan sejak tahun 2004, dengan dana partisipasi masyarakat setempat, serta dibantu oleh PT Newmont Minahasa Raya, yang waktu itu mengoperasikan perusahaan tambang emas di sana.

Untuk sampai pada kesepakatan yang demikian, tentulah dibutuhkan kelapangan jiwa dari warga setempat. Kita tahu, toleransi bukanlah sesuatu yang tumbuh dengan sendirinya. Toleransi adalah bagian dari keteladanan, yang ditunjukkan para pemimpin, yang kemudian diteladani oleh warga. Dari sini, kita tentu paham, para perangkat desa di Kampung Buyat Pante di atas, telah berhasil mengelola segenap perbedaan yang ada. Mereka secara bersama merawat toleransi warga setempat, dengan tetap memelihara perbedaan.

Inilah barangkali yang disebut sebagai solidaritas antarwarga, salah satu bentuk kesetiakawanan sosial. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesetiakawanan sosial diartikan sebagai nilai-nilai dan semangat kepedulian sosial, untuk membantu orang lain yang membutuhkan, atas dasar empati dan kasih sayang. Dengan kata lain, toleransi yang telah dibangun di atas, sekaligus mencerminkan semangat tolong-menolong di kalangan mereka. Di sejumlah tempat, mungkin semangat tolong-menolong tersebut telah mulai terkikis.

Karena itulah, tidak ada alasan bagi kita untuk berhenti menebarkan spirit kebersamaan, yang kita temukan di ruang-ruang publik. Ini bagian dari kepedulian kepada sesama. Kita tahu, kepedulian tersebut bisa menjadi salah satu benteng pertahanan, untuk menangkis berbagai hal, yang berpotensi menggerus kebersamaan kita. Benteng pertahanan bernama toleransi ini sudah sepatutnya kita rawat. Momentum peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada Kamis (24/12/2015) yang berdekatan dengan perayaan Natal pada Jumat (25/12/2015), adalah peluang bagi kita untuk memperkokoh toleransi yang sudah ada.

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Jakarta, 26 Desember 2015

-------------------------------

Ratusan umat Kristiani menggenggam Kitab Injil, melangkah penuh senyum, dari pelataran Masjid Istiqlal menuju tempat peribadatan di Katedral. Hidup rukun itu mudah, bila ada keinginan untuk rukun.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/misa-natal-di-katedral-parkir-mobil-di-istiqlal-potret-toleransi-beragama_55202aa38133113b719de3c5

Natal tiba dan semangkok Soto Padang, alangkah nikmatnya. Tapi, Natal tahun ini, seluruh rasa berbalut duka. Ini Natal pertama, setelah Henry Siagian tiada. Ia sahabat yang senantiasa abadi dalam ingatan.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/spirit-natal-dari-balige-dalam-semangkok-soto-padang_552e01446ea83408198b4568

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun